Share

Bab 7. Terabaikan

Author: Phina1901
last update Huling Na-update: 2023-08-11 10:49:35

"Berhenti Maira!" 

Langkah Maira terhenti, tubuhnya terasa gemetar saat suara Alfin menggelegar menerobos masuk gendang telinganya. Dia berbalik dan melihat sesosok pria jangkung telah menyembul dari balik pintu. Sesaat pandangan mereka saling bertemu. Tak sanggup lagi menatap manik suaminya lebih lama, Maira segera menundukkan kepalanya.

"Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Suara yang begitu dingin menembus indera pendengaran Maira. 

Wanita berwajah kalem itu menggeleng pelan, "nggak ada, Mas. Aku hanya tak sengaja menyenggol pot bunga itu saat lewat." jelasnya sambil menunjuk sebuah pot bunga yang tampak sedikit berantakan. Alfin mengikuti arah telunjuk Maira, kemudian menatap kembali istrinya dengan tatapan penuh intimidasi. Sorot mata tak bersahabat terus menghujam, seolah mampu membaca kebohongan Maira. Pria itu tak lekas menjawab. Matanya memicing penuh selidik.

"Jangan bohong! Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Lagi, pertanyaan penuh intimidasi dia layangkan pada sang Istri. Namun Maira tetap menggeleng, membuat Alfin menghela nafasnya dengan kasar.

"Paling juga mau ngintip kita, Mas." Tiba-tiba Tania keluar dan ikut menimpali, memojokkan Maira. Wanita itu  bergelayut manja pada lengan Alfin. Membuat hati Maira semakin panas. 

Maira segera membuang pandangannya, seperti ada tangan tak kasat mata tengah meremas jantung hatinya. Nyeri! Sungguh ironis, seorang istri sah seolah menjadi tersangka dalam rumah tangganya sendiri. 

"Masuk ke kamarmu! Dan jangan pernah berani mengganggu kami! Satu lagi, tutup mulutmu jangan sampai ada keluarga yang tahu Tania tinggal disini." Tegas Alfin seraya kembali masuk ke kamar. Lalu terdengar suara anak kunci sedang diputar. Pintu itu dikunci dari dalam.

Maira menatap nanar daun pintu itu. Alfin benar-benar telah menghancurkan hatinya. Puas memandangi pintu dengan hati yang terkoyak. Maira segera kembali ke kamarnya, kamar yang dua tahun terakhir menjadi tempatnya mengukir kenangan indah bersama sang suami. Tubuhnya luruh ke lantai, seolah tidak pernah kering, bulir bening kembali bergulir dengan deras membasahi pipi wanita cantik itu. 

"Dosa apa aku Tuhan … kenapa hidupku jadi berantakan? Mimpiku telah pupus karena menerima perjodohan ini, dan kini apakah rumah tanggaku juga akan hancur?" Di tengah isak tangisnya, ratapan pilu keluar dari bibirnya yang tampak bergetar.   

********

Kumandang adzan subuh terdengar menggema, Maira terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Kelopak mata yang membengkak, menjadi saksi betapa pilu keadaannya saat ini. Dengan tertatih, wanita berparas kalem itu lekas bangkit dan berdiri.

Menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dan melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Di tengah hamparan sajadah yang dibentangkan, wanita berparas kalem itu menengadahkan tangannya. Bulir bening kembali mengalir deras di tengah doa-doanya. Berkeluh kesah, mengadu pada Sang Pencipta. Memohon dan merayu agar jalan hidupnya lekas diberikan kemudahan.

Setelah puas bermunajat, gegas Maira kembali merapikan peralatan ibadahnya. Dan segera beranjak ke dapur untuk memasak. Hal yang sudah menjadi rutinitas wanita itu semenjak menikah dengan Alfin.

Langkahnya terhenti sesaat, dia melihat suaminya juga tengah keluar dari dalam kamar tamu. Bagai ditikam belati berkali-kali, hatinya begitu sakit tak terkira. Pria itu tampak berantakan, bertelanjang dada dan rambut yang acak-acakkan. Hati Maira kian menjerit, membayangkan sesuatu yang telah dilakukan oleh suaminya bersama wanita mur4han itu. Maira memejamkan matanya sesaat. Menghalau pikiran buruk yang tengah menguasai seluruh jiwa dan raganya. 

Mengabaikan Maira yang masih tertegun menatapnya. Alfin segera melangkah mendekat, "masakin udang asam manis buat sarapan, Tania ingin makan itu. Aku yakin masakanmu akan cocok dengan lidahnya." Alfin segera berlalu setelah selesai menyampaikan keinginannya. Mengabaikan perasaan Maira yang tengah hancur.

Lagi, wanita itu menjadi prioritas Alfin. Bahkan dia tidak lagi menghargai keberadaan Maira sebagai istrinya yang sah. Maira hanya dianggap sebagai pembantu yang harus melayaninya. Ah, tidak. Bukan hanya melayani suaminya, tapi juga melayani calon istri suaminya. Menyakitkan!

**********

"Makan yang banyak, Mas, biar kamu semangat kerjanya," Tania mengambilkan nasi lengkap dengan lauk udang asam manis untuk Alfin. Wanita itu semakin gencar mendekati Alfin. Tidak sedikit pun dia memberikan celah untuk Maira dekat dengan pria pujaannya itu.

"Makasih, ya, perhatiannya. Kamu benar-benar membuat hidupku kembali bersemangat." Alfin menggenggam tangan Tania dengan mesra. Mengabaikan keberadaan Maira yang tengah menatap nanar padanya. Tania benar-benar berhasil membuat Alfin berpaling dari Maira.

Pagi ini meja makan ramai dengan celotehan Tania bersama Alfin. Sedangkan Maira, dia layaknya makhluk tak kasat mata. Tidak terlihat!

"Yaudah, aku berangkat dulu, ya." Mendengar Alfin yang akan berangkat kerja, Maira gegas berdiri untuk membawakan tas kerja suaminya, namun Tania segera ikut berdiri dan merebutnya. 

"Biar aku saja," katanya, "kamu beresin ini meja makan! Yang bersih, awas kalau nggak bersih," titahnya laksana seorang nyonya di rumah itu. Padahal kenyataannya, Maira lah nyonya di rumah itu, dan dia hanya seorang tamu, tamu yang tak diundang lebih tepatnya.

"Aku hanya mau mengantar suamiku yang akan berangkat kerja, Mbak. Aku istrinya, aku lebih berhak daripada kamu," ucap Maira membela diri.

Alfin berdecak, "udah deh, Mai. Jangan cari gara-gara terus sama Tania. Dia juga calon istriku," tegas Alfin membela Tania. Maira diam menggigit bibir bawahnya, lagi-lagi dia harus mengalah, keberadaannya benar-benar sudah tak dianggap oleh Sang Suami.

"Ya sudah kamu berangkat aja, Mas. Nanti keburu siang kalau meladeni dia." Tania segera menarik tangan Alfin dan melirik sinis pada Maira. Tanpa memberikan tangannya untuk dicium oleh Maira, Alfin segera berlalu dengan Tania berjalan di sampingnya. 

Sedangkan Maira, wanita berparas kalem itu hanya bisa memandang punggung suaminya dengan tatapan nanar. 

**********

Maira meringis ketika merasakan area perut bawahnya terasa kram. Takut terjadi apa-apa pada janinnya, tanpa berpikir panjang dia memutuskan untuk segera pergi ke rumah sakit.

"Bertahan, ya, Sayang," lirihnya sambil mengusap perutnya yang masih rata, "kamu pasti kuat."

Memesan taksi online untuk mengantarkan ke rumah sakit, Maira segera bersiap diri. Keluar dari kamar. Berjalan menyusuri luasnya rumah yang menjadi hadiah pernikahannya bersama Alfin. Ya, rumah itu adalah hadiah dari Papa mertuanya saat dirinya menikah. 

Suasana rumah terasa sepi setelah Alfin berangkat bekerja, Tania juga tak terlihat batang hidungnya. Namun Maira sudah tidak mempedulikan itu. Hatinya benar-benar sudah kebal sejak saat ini. Fokusnya saat ini adalah keselamatan janin dalam kandungannya. 

*******

"Apakah janin saya baik-baik saja, Dok?" Dokter yang ditanya mengangguk mantap dan tersenyum ramah.

"Sepertinya dia syok merasakan ibunya bersedih terus menerus," gurau Dokter Rendi yang sedang menangani Maira. Tidak sembarang bicara, dokter itu jelas mengetahui masalah yang tengah menimpa Maira. Mana ada seorang suami yang tega membiarkan istrinya terbaring di rumah sakit sendirian, hal itu sudah cukup untuk menarik kesimpulan, bahwa suami Maira bukankah orang yang baik. Begitu pikir Dokter Rendi.

Maira tak kuasa mengelak, karena yang dikatakan Dokter Rendi adalah sebuah kebenaran. Akhir-akhir ini pikirannya begitu kacau. Diam-diam dia suka menangis sendirian.

"Apakah Ibu benar-benar menyayangi calon buah hati Ibu?" Maira tersentak mendengar pertanyaan Dokter Rendi. Netranya tampak terbuka lebih lebar.Apa maksud pertanyaan dokter itu? 

Dokter di depannya segera duduk tegak, dan menatap Maira dengan serius. Mendadak suasana menjadi tegang.

"Apa maksud Dokter bertanya seperti itu? Jelas saya sangat menyayangi calon buah hati saya," tegas Maira. Dokter Rendi terlihat mengangguk-angguk. Kedua tangannya bertumpu di meja.

"Baiklah, jika memang Bu Maira sangat menyayanginya, sebaiknya mulai sekarang Ibu harus benar-benar bisa mengendalikan kondisi emosional Ibu. Sebab kondisi psikis yang seorang Ibu yang sedang mengandung sangat mempengaruhi tumbuh kembang janin itu kelak. Tidak hanya saat berada dalam kandungan, Bu. Tapi juga akan terbawa sampai dia dewasa kelak. sebagai contoh, bayi yang lahir dari seorang Ibu yang memiliki kondisi psikis kurang sehat, maka dia akan tumbuh menjadi seorang anak yang emosional atau bisa juga tumbuh menjadi anak yang pemurung, mudah terserang penyakit dan masih banyak lagi akibatnya. Saya harap Ibu paham dengan masalah ini." jelas Dokter Rendi. 

Maira terhenyak, batinnya terus bergejolak, bayang-bayang suaminya tengah bercumbu bersama Tania kembali menari-nari dalam benaknya, seketika dadanya terasa sesak seperti dihimpit dua buah batu yang besar.

"apa itu artinya aku harus mundur dari ikatan pernikahan toxic ini?" gumam Maira dalam hati.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Royahinu Fuadiyahnew
lho. awalnya kan maira tegas, bhkan alfin sja stgah takut. kenapa stlah ada tania karaktrnya jd lembek gtu?
goodnovel comment avatar
Mega Saripah
cerita ni bikin geram..tidak ada perlawanan dri c maira...kenapa x bgitau mentuanya saja
goodnovel comment avatar
Wiro Bento
mending mundur dari pada tersiksa
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 200. Penyesalan Daniel

    Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 199. Pertemuan

    “Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 198. Bertemu Kembali

    Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab. 197. Perjuangan Adrian

    Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 196. Apakah Sudah Saatnya Berdamai?

    Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la

  • Pesona Istri yang Dicampakkan   Bab 195. Lelah

    Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status