Se connecterDua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya.
"Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan. "Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel. Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. "Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaranya terdengar tegas, tapi ada getar kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Niko mendengus, sikapnya sedikit membatu. "Sudahlah, Bu. Shiren itu urusanku, aku yang tanggung jawab. Bukan urusan ibu. Dia harus pulang. Aku merasa kesepian di rumah." Tiba-tiba, Shiren terbangun, matanya yang sembab menyapu ruangan dan mendengar suara itu. "Loh, Bang Niko?" Suaranya pelan, penuh tanda tanya dan kebingungan. Niko segera berdiri, menyulut tegas, "Kemasi barangmu. Kita pulang pagi ini!" Kata-katanya menggantung di udara, membuat Shiren diam terpaku, seolah tak siap menerima keputusan mendadak itu. "Niko, Shiren belum bisa mengerjakan pekerjaan rumah nak. Kasihan dia, kamu jangan egois, biarin dia di sini paling tak satu bulan saja, kalau kamu kesepian kan bisa tinggal di sini," tawar Lastri lagi melunak. Di ambang pintu, Gusman masuk dan sudah mendengar ucapan mereka, dia ikut nimbrung. "Biarin saja bu, Niko juga pengen bersama istrinya. Shiren juga lahiran normal kan? Pasti cepat pulih, tak usah dimanja. Kamu saja dulu tak begitu kok," tukas Gusman duduk menghisap rokok, tak peduli ada bayi di sana. "Yah, jangan merokok di sini!" Lastri marah. "Sudah, bawa saja istrimu pulang." Titahnya pada Niko, Gusman keluar merokok. Lastri tak dapat berbuat banyak, ia juga gagal melarang Shiren dibawa Niko, hingga akhirnya menantu dan cucunya ikut pulang, Lastri memeluk sang cucu dan menciumnya begitu lama, jarak rumah Lastri dan Niko Sekitar 1 jam-an perjalanan, makanya Niko tak berminat jika tinggal di sana karena akan terasa jauh dari kantor ia bekerja. "Niko, apa kamu berencana mengaqiqahkan bayimu?" Lastri bertanya saat lelaki itu sudah berada di mobil. "Nggak perlu bu, aku maunya anak lelaki bukan perempuan, aku berangkat!" Lastri menggeleng, Shiren mencium punggung tangan Lastri. Di tempat berbeda, ada Dika dan Airin sedang menikmati sarapan di teras rumah, sate ayam yang barusan dibeli dekat persimpangan jalan oleh Dika, Airin sendiri tak pandai memasak. Sehingga mereka setiap hari harus keluar cari makanan untuk mengisi perut. Deru suara mobil memasuki pekarangan rumah Shiren dan Niko, Dika menatap mobilnya yang dipinjam sang adik. "Loh kok ada Shiren, Niko bawa Shiren pulang?" Tukas Dika terkejut, apalagi tak ada ibunya di sana. Andika berjalan menghampiri mereka, begitu pun Airin dengan bersusah payah membawa perut besarnya. "Jadi kamu jemput anak istrimu? Apa tak terlalu cepat Niko! kasihan Shiren baru dua mingguan siap melahirkan," Dika tak habis pikir jalan pikiran adiknya. "Nggak usah ikut campur bang, Shiren sudah kuat kok, buat apa lama-lama dia di rumah ibu, keenakan. Aku siapa yang ngurus?" Dika tampak ingin marah, tapi dia menahan amarahnya karena menganggap bukan ranah dia. "Biar aku bantuin bawa barangnya masuk, kamu gendong anakmu saja!" Titah Dika dianggukkan Niko. Mereka masuk ke dalam rumah itu, Shiren tercengang rumah seperti kapal pecah. Bahkan sudah berdebu seperti lama tak berpenghuni. "Bang, kenapa seperti ini rumah kita?" Suara Shiren tercekat. "Iya Niko, seharusnya kamu bersihkan dululah rumahmu sebelum menjemput mereka. Kotor begini tak bagus buat bayi," Niko tampak kesal menggaruk kepala tak gatal. "Aku bawa bayi ini ke rumah Bang Dika dulu, kamu bersihkan rumah ini sampai benar-benar bersih," titah Niko pada istrinya. Dika tampak ingin marah, tapi Niko segera meminta dia diam. Shiren tak bisa membantah, ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan, sementara suaminya sudah masuk ke dalam rumah Dika bersama Airin. "Shiren!" suara itu tiba-tiba menghentikannya. "Bang Dika, ada apa?" Dika mendekat. "Aku bawa orang untuk bersihkan rumahmu. Kamu istirahat saja di rumahku, tenang, semua biaya aku tanggung!" ujarnya tegas. Shiren menatap wanita paruh baya itu beserta anak perempuannya dengan rasa terkejut. "Tapi, apa tidak merepotkan? Aku merasa tidak enak, nanti bagaimana kalau Bang Niko tahu?" suara Shiren terdengar ragu. "Urusan Niko, urusanku. Ayo ikut aku," sahut wanita itu. Shiren menurut tanpa banyak pikir, hatinya lega masih ada yang peduli selain ibu mertuanya. Niko asyik memainkan ponsel, membiarkan anak mereka sendirian di atas karpet. Shiren segera mendekat dan menemani buah hatinya. "Loh, kenapa malah ke sini? Bukankah kamu sudah bersihkan rumahnya?" tanyanya penuh tanya. "Abangmu ini sudah membayar orang buat bersihkan rumahmu sekaligus memasak buat kalian, kamu tak perlu meminta istrimu bekerja." lelaki itu menatap kakaknya sinis. "Aku tak mau berhutang padamu, nggak ada yang minta mencarikan orang," "Tenang saja, aku tak meminta diganti." Niko diam lalu melanjutkan bermain handponenya. Shiren sesekali menatap diam suaminya, fikirannya melayang entah kemana. *** Hari telah berlalu begitu cepat, nama bayi perempuan Shiren belum dikasih nama oleh sang ayahnya, wanita itu mendekati suaminya yang sedang asyik bermain handpone. "Apakah abang belum temukan nama yang cocok buat anak kita?" Niko meletakkan handpone yang sedang ada notifikasinya. "Nama? Aku belum sempat kepikiran cari namanya, kamu saja!" Shiren menggeleng. "Baiklah, aku akan kasih namanya Nadhira Danastri. Artinya, perempuan memiliki wajah cahaya dan cantik, bagaimana?" Niko mengangguk tampak tak peduli. "Terserah," Shiren menghembuskan nafas kasar, lalu berkata. "Aku izinkan kamu jika mau meninggalkanku bang!" Seketika Niko menatap istrinya, lalu terlihat wajah cemasnya seketika. "Kamu sakit? Buat apa aku meninggalkanmu," Shiren masih menatap mata suaminya dengan tegas. "Kamu terlihat tak bahagia bersamaku, kamu juga memperlakukanku kurang baik. Jika memang abang tak mencintaiku lagi, lepaskan aku bang! aku iklhas," Ujarnya membuat Niko tercengang, kata-kata itu membuat hatinya terasa tersentuh. "Bukan itu dek, a-abang minta maaf. Tapi semenjak kamu hamil, rasanya abang malas saja didekatmu, tapi sekarang kamu sudah lahiran. Abang janji akan merubah semuanya, kamu mau ya kasih kesempatan?" Niko terlihat lembut, Shiren menatap matanya mencari kejujuran. "Please, abang akan berubah. Demi anak kita!" Shiren mengangguk kecil meski ia ragu, Niko menyunggingkan senyum. Cahaya pagi menyelinap lewat celah tirai kamar kecil mereka, menerangi wajah Shiren yang sedang duduk di sofa dengan segelas teh hangat di tangan. Niko, yang biasanya pulang larut dan sering terlihat lelah serta dingin, kini tiba lebih awal dengan senyum yang lebih tulus. Matanya yang dulu sering menyimpan keraguan kini memancarkan kehangatan saat menatap Shiren. “Sayang, aku akan coba lebih banyak di rumah mulai sekarang,” katanya pelan, suara beratnya membawa harapan baru. Shiren menatap suaminya dengan hati yang melonjak bahagia, seakan beban selama ini perlahan mencair. Ia merasakan kedamaian yang sudah lama hilang, tapi di balik itu, ada bisikan kecil di hatinya yang bertanya-tanya apakah perubahan ini benar-benar tulus atau hanya sementara. Niko membuka lengan bajunya, memperlihatkan tangan yang lebih lembut dari biasanya, dan tanpa diminta, membelai rambut Shiren dengan lembut. Senyum itu makin lebar, namun matanya sesekali menyapu ruangan seolah mencari sesuatu yang tak terlihat. Shiren menghela napas, mencoba menepis keraguannya, memilih untuk menikmati momen hangat ini sebelum bayangan masa lalu kembali menyusup. Perubahan sikap Niko membawa angin segar dalam rumah mereka, namun kejanggalan kecil itu menancapkan benih waspada dalam hati Shiren, membuatnya bertanya-tanya mengapa hatinya merasa sesuatu yang disembunyikan Niko sang suami. Tangis Nadhira yang telah genap berusia satu bulan membuyarkan lamunan Shiren, ia mengambil bayi mungilnya dan memberikan Asi yang begitu deras. Tringgg... "Dek, aku akan menyusul bang Dika ke rumah sakit, Airin melahirkan." Tukasnya menatap pesan. "Airin melahirkan? Apa aku boleh ikut?" "Tapi mana mungkin Nadhira boleh masuk ke sana dek, dia bayi mungil dan masih rentan. Sedangkan kamu belum selesai masa nifas, tak baik rasanya keluar malam-malam atau sekedar boncengan naik motor," Hati Shiren merasa hangat setiap mendengar alasan dari sebuah perhatian suaminya. "Baiklah, titip salam sama mereka, semoga Airin melahirkan dengan mudah." Niko mengangguk dengan senyum, lalu mencium bayi mereka sebelum berangkat. "Alhamdulillah, aku senang lihat perubahan suamiku. Rasanya hidupku kembali berwarna, tetapi mengapa masih ada rasa mengganjal ya di hati ini?!" *** Sedangkan di sebuah rumah sakit, Airin sudah memasuki ruangan operasi. Di sana ada Dika dan kedua orangtuanya. "Dika, kenapa harus operasi? Kata dokter Airin bisa melahirkan normal dan sudah permbukaan 6 kan?" Lastri tampak kesal sekaligus khawatir. "Bu, aku sudah bicarakan itu semua padanya. Tapi Airin tetap keras mau operasi secar, dia takut melahirkan normal apalagi dijahit dibagian itu!" "Sudahlah bu, biarin. Lagian mereka bayar kok, pasti obat-obatan yang bagus dikasih dokter dan Airin pasti cepat pulih." Sambung Gusman, perbandingan terbalik pada Shiren, Gusman justru lebih suka dan sayang pada menantunya Airin. Waktu terus berjalan, persalinan cesar Airin telah berjalan lancar, bayi lelaki itu lahir dengan sehat dan sempurna. Dika, begitu terharunya melihat sang buah hati yang ia tunggu lahir ke dunia ini. "Dimana Niko? apa dia tak kemari?" Tanya Lastri pada Dika. "Entahlah bu, aku sudah kabari dia. Tapi pesannya hanya dibaca saja." Lastri mengangguk, hingga keluarga Airin datang. Niko juga tak terlihat, saat larut malam, ponsel Dika berbunyi. Tertera nama Shiren adik iparnya. "Assalamu'alaikuk Shiren?" Tuturnya dengan ramah. "Walaikumsalam, maaf ganggu bang. Apa bayinya sudah lahir? Maaf tak bisa datang," "Ya tak apa Shiren, alhamdulillah anak kami sudah lahir lewat secar dengan kondisi sehat dan sempurna." Terdengar suara lega di seberang sana. ("Oh ya bang, boleh bicara sama bang Nikonya? Dari tadi aku hubungi tak aktif, mau tanya saja. Apakah ia akan pulang malam ini atau menginap di rumah sakit!") Dika tertegun, tampak bingung juga. "Niko? Dia tak ada di sini, memangnya suamimu tak di rumah?" hening sebentar hingga akhirnya Shiren angkat bicara. "Tapi tadi dia izin mau ke rumah sakit bang, sudah sekitar tiga jam-an lewat! apa dia tak ke sana atau sudah pulangkah? Jangan-jangan dia lagi dijalan pulang ya?!" Suara wanita itu terdengar gugup. "Beneran deh Shiren, Niko belum ada kemari. Memang tadi ada abang kirimkan pesan, tapi tak ada balasan." Shiren merasa syok sudah, jantungnya berdebar kencang tatkala merasa ada sesuatu hal buruk yang disembunyikan Niko, kebohongan ini terasa begitu sakit baginya karena sudah mau menaruh rasa percaya pada sang suami yang berniat berubah. "Astagfirullah bang Niko, kemana kamu pergi selama beberapa jam ini? Kenapaa membohongiku?"Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya."Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa."Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya."Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal."Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Nik
Dua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya."Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan."Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel.Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut."Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaran
Shiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan. "Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini.Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke d
Sehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah."Ayo masuk! anak saya sudah bangun,""Assalamu'alaikum!" Lirihnya."Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman."Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung."Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk."Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katak
Shiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil."Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu.Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan.Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak."Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang."Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan."Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka."Istri lo maksudnya?""Siapa lagi, sudah tak ad







