Share

Bab 5

Auteur: Ghazea apiza
last update Dernière mise à jour: 2025-11-06 16:12:11

Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya.

"Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa.

"Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya.

"Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal.

"Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Niko mengambil handuknya.

"Aku akan mandi dan berangkat kerja, tak perlu masak, nanti aku sarapan di kantor saja." Shiren hanya diam, Niko tampak terburu-buru ke kamar mandi.

"Kenapa aku jadi ragu?" Shiren menatap celana suaminya, tak ada di sana karena wanita itu berniat ingin memeriksa handpone.

"Kenapa dia selalu bawa handponenya kemana pun ya?! bahkan ke kamar mandi sekali pun." Gumamnya lalu beralih mengambil sang anak yang menangis.

***

Dika dan Airin telah sampai ke rumah mereka membawa bayi merah yang mereka nantikan selama sembilan bulan belakangan, ada Lastri dan Gusman juga.

"Assalamu'alaikum.." Shiren menatap mereka dengan rasa bahagia.

"Walaikumsalam..Masuk nak!" jawab Lastri ramah, Gusman mencebikkan bibir.

"Wah, alhamdulillah ya kak Airin sudah keluar rumah sakit dengan bayinya. Mansyaallah, tampan sekali." Airin hanya diam menyunggingkan senyum.

"Makasih Ren, dimana Niko?" Shiren menjelaskan jika suaminya ke rumah temannya. Suasana di sana cukup menghangatkan, ramai, juga penuh kebahagiaan. Apalagi keluarga Airin juga tampak lengkap datang, apalagi orang tuanya akan menginap di sana selama dua minggu untuk membantu mengurus bayi Dika dan Airin.

"Beruntung sekali kak Airin, dikelilingi orang-orang yang begitu peduli padanya, tak ada yang tak suka dan membencinya. Berbeda dengan aku, tapi sudahlah. Bersyukur saja pasti ada pelangi sehabis hujan," Gumam Shiren membanthin, bahkan bayi kecil dipangkuannya nyaris diacuhkan dan tampak tak dianggap keberadaannya sama sekali di sana, semua hanya sibuk pada bayi lelaki itu.

"Bu, semuanya. Saya pamit pulang dulu!" Shiren merasa tak nyaman.

"Loh, kenapa Ren? Kamu mau nidurin Anakmu!" Ujar Lastri.

"Eh enggak bu, hanya saja masih ada pekerjaan yang harus saya urus." Lastri hanya mengangguk, perempuan itu kini telah pulang. Hatinya pilu, perasaannya terasa sepi.

Shiren duduk menyendiri di samping jendela kamar, menatap luar dan membayangkan akan hari indah. Merindukan ibu yang sudah lama melupakannya dan sosok nenek yang telah lama dipanggil sang ilahi.

"Andaikan nenek dan ayah masih ada, pasti mereka sangat senang melihat kamu Nadhira! kata nenek, ayah dulu sangat sayang kepadaku. Andaikan dia masih ada!" Lirihnya. Sebuah ketukan pintu terdengar, rupanya Niko suaminya telah pulang ke rumah, memang hari ini dia berlibur kerja karna cuti tanggal merah.

"Dek, abang ke rumah bang Dika dulu, liat baby boy. Kamu ikut?" Tawarnya, Shiren menggeleng.

"Enggak bang, barusan aku ke sana. Oh ya, kapan kita cari kado buat anak bang Dika?" Niko tampak berfikir, karena Dika juga baik sama mereka, saat Nadhira lahir. Ia memberikan beberapa lembar uang untuk pegangan Shiren.

"Kapan-kapan saja, lagian mereka juga baru pulang." Shiren mengangguk, Niko menaruh handpone dan mengisi daya ponselnya di samping meja televisi.

Mata Shiren menatap handpone yang tergeletak di atas sana, seketika jiwa keponya muncul ingin melihat apa saja isi handpone sang suami, Shiren ingat sebuah angka yang pernah ia temukan di meja nakasnya. Barangkali dia beruntung jika itu adalah kode fassword handpone Niko, dengan debaran jantung di dada dia mencoba menekan angka-angka itu.

"Yes, berhasil." Semangatnya kembali keluar, tapi degub jantungnya berpacu seolah merasa takut akan melihat privasi sang suami.

"Astagfirullah..." Mata Shiren terbelalak, tangannya mengatup mulut terkejut  menangkap sebuah aplikasi dan percakapan suaminya dengan beberapa wanita malam atau disebut LC.

"Ya Allah, astagfiriullah...Ya Allah." Begitu syoknya ia, sampai kakinya merasa bergetar untuk berdiri, tangannya juga tak kalah bergetar dengan hebat.

"Bang Niko, begini kelakuanmu di belakangku?" Suaranya nyaris hilang. Airmatanya telah luruh.

"Pantesan selama beberapa bulan saat aku hamil ia tak sudi menyentuhku," Kini Shiren menangis, memeluk lututnya dan menatap handpone sang suami.

Shiren duduk terpaku di sudut kamar, tubuhnya gemetar menahan sesak yang tiba-tiba mencekam dada. Bayangan suaminya, Niko, yang selama ini ia percayai, kini berubah menjadi bayangan kelabu yang menusuk hati. Ia memegang erat bayinya yang mulai mengantuk. Air matanya jatuh perlahan, menetes di atas kain yang membelit tubuhnya, membasahi setiap serat harapan yang dulu pernah ia rajut dengan penuh keyakinan.

Suara pesan singkat yang tak sengaja terbaca di ponselnya terus berulang dalam pikirannya: janji temu dengan LC, kata-kata yang tak pernah ia bayangkan akan melekat pada suaminya. Rasa sakit dan pengkhianatan itu membakar setiap sudut hatinya, membuatnya ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya merunduk.

"Dek, kamu kenapa?" Tiba-tiba suara itu menyadarkan kesedihannya, Niko telah berdiri di ambang pintu kamar.

Shiren menghapus air matanya, lalu meletakkan bayinya perlahan ke atas kasur. Ia berjalan perlahan membawa suaminya ke ruang tamu.

"Ini handponenya, aku sudah tahu perangaimu bang!" Niko terkejut melihat handponenya meyala menampilkan pesan-pesan itu.

"Apa-apaan kamu melihat isi ponselku," ucapnya dengan merebut cepat dari tangan Shiren.

"Jadi selama ini kamu sering menyewa wanita-wanita penghibur itu? Menjijikkan!" tukasnya dengan raut wajah marah.

"Apaan sih kamu dek, jangan ngacok!" Niko berusaha berkilah.

"Sudahlah bang, aku sudah baca semua pesan itu. Foto kamu dengan wanita itu, tega sekali kamu bang! pantes saja selama beberapa bulan kemarin kamu tak pernah menyentuhku!" tekan Shiren membuat Niko terdiam.

"Kenapa bang? Yang terakhir itu, saat kak Airin melahirkan, kamu juga ke sana bukan? Sikap kamu sudah berubah, tapi rupanya semua hanya kedok untuk menutup sikap busukmu itu,, aku benci kamu!"

Plakkk....tamparan itu mendarat di pipi manis wanita itu, Shiren tampak terkejut.

"Berani kamu tampar aku? Baiklah, keputusanku sudah bulat, tak ada yang perlu kita pertahankan lagi, ceraikan aku!" suara Shiren tampak tegas dan yakin.

"Heh, jangan sok belagak kamu. Memangnya kamu bisa apa tanpa aku? Makan apa kamu diluar sana, asal kamu tahu ya. Aku mencari pelampiasan di luar sana karena kamu saat hamil sangat menjijikkan, tubuhmu, bentuk perutmu, aku mual. Makanya cari wanita seksi dan cantik," senyum Niko tampak mengejek.

"Jahat kamu!" pekik Shiren.

"Aku hamil juga demi memberikan kamu gelar sebagai seorang ayah, bentuk tubuhku berubah demi akan melahirkan anakmu, tega sekali kamu begitu? Kau yang menjijikkan bang, bukan aku. Laki-laki hidung belang," Pekik Shiren lagi tak tahan akan amarahnya, suara pertengkaran mereka rupanya terdengar ke rumah Dika.

"Niko, Shiren, ada apa ini?" Tiba-tiba Lastri datang, dia tak sendiri, ada Gusman juga Dika di sana yang juga ikut penasaran.

"Ibu..." Niko terkejut, Shiren menumpahkan tangisnya dan mendekati Lastri.

"Shiren, jangan gila. Jangan sampai kamu bocorkan permasalahan ini pada keluargaku," Niko berusaha membujuk istrinya. Lastri dan lainnya tampak kebingungan.

"Ada apa ini? Apa yang kamu lakukan Niko!" Dika mendekat.

"Jangan ikut campur, pergi kalian. Aku mau urus urusanku dengan Shiren," Usir Niko marah setengah panik, semua saling memandang.

"Aku mau kita cerai!" Semuanya terkejut saat Shiren mengatakan akan hal itu.

"Dasar menantu tak tahu diri, cerai ya cerai. Jangan sok belagak begitu, Niko. Ayah memang tak tahu urusan kalian, tapi ayah setuju kamu ceraikan wanita tak berguna ini." Cerocos Gusman, Lastri melotot pada suaminya yang kian membuat suasana semakin panas.

"Shiren, kamu tenangkan dulu dirimu. Sekarang jelaskan pada ibu, apa yang terjadi?" Shiren mencoba tenang, menghirup udara dengan boros dan membuangnya dengan perlahan.

"Bang Niko bermain bersama banyak wanita diluaran sana bu, dia dia sering menyewa wanita malam buat kesenangannya!" ucap Shiren seketika membuat Lastri amat syok, Gusman meneguk ludah kasar, Dika juga ikut syok.

"Bohong bu, bohong yah, dia bohong." Sergah Niko mendekati orangtuanya.

"Kalau kalian tak percaya, periksa saja handponenya. Barang bukti masih ada!" Niko segera menyembunyikan handpone ke dalam saku, tapi Dika berusaha merebutnya, dua orang lelaki itu saling berebutan bak anak kecil.

"Cepat kasih aku handponemu, Niko!"

"Nggak, jangan ikut campur. Ini ponselku, jangan seenaknya," Dika terdiam, Shiren mengangguk lemah.

"Kalau memang bang Niko tak mau menunjukkan bukti itu tak apa kok, saya tak perlu memperlihatkan buktinya pada ibu, ayah dan abang Dika. Sekarang terserah kalian mau percaya atau nggak, tapi Shiren tetap akan memilih berpisah!" Suara wanita itu nyaris bergetar.

"Shiren, apa tak bisa dipikirkan lagi. Kasihan anak kalian jika sampai orang tuanya bercerai, tolong dengarkan ibu, ibu yakin Niko bakalan berubah nak," Lastri tampak memohon.

"Bu, sudah tak perlu, aku juga tak masalah kok. Memang dia bisa apa tanpa aku?" Sekali lagi Niko meremehkan Shiren.

"Shiren pasti bertekuk lutut lagi kok setelah tahu kerasnya hidup di luaran sana, jadi rumah ini akan selalu terbuka buat dia. Asal tak mengungkit masalah ini lagi." Timpal Niko terlihat pongah.

"Tak sudi aku bertekut lutut sama kamu bang, aku sudah bertekad akan memilih berpisah, aku tak rela hidup dengan lelaki tak punya iman sepertimu!" ketus Shiren, Niko tersenyum mengejek.

"Yakin? Kamu itu hanya sebatang kara, memang ada sih ibumu. Tapi dia sudah membuangmu bak sebuah sampah bukan? Lalu mau kemana kamu mengadu? Kerja? Kerja apa! kamu punya bayi Shiren, mengapa tak mengalah saja, aku siap memaafkanmu atas fitnah keji ini!" Cerocos Niko tampaknya percaya diri.

"Sudah cukup selama ini aku bertahan atas sikap sombongmu itu bang, kamu selalu meremehkan aku, memandang sebelah mata kepadaku. Sekarang tak ada yang perlu aku pertahanin lagi, talak aku sekarang juga!" Suasana di rumah itu semakin menegang.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pesona Istri yang Diremehkan   Bab 5

    Mentari telah bersinar terang, dalam keadaan gelisah semalam akhirnya Shiren bisa memejamkan mata meski waktu pajar telah dekat. Pikiran entah melayang kemana karena suaminya tak kunjung pulang. Juga anaknya sering terbangun dan meminum Asi telah membuat matanya enggan terpejam. Tepat saat pukul 07 pagi, ketukan pintu terdengar, Shiren membukanya penuh semangat dan tanda tanya."Bang Niko! semalam kemana?" Niko masuk dan duduk ke atas sofa."Semalam motorku mogok, cari bengkel dan semuanya hampir tertutup. Aku terus mencarinya hingga aku memutuskan untuk menginap saja di tempat teman yang tak jauh saat itu, handpone ku juga lowbat!" ucapnya lancar, Shiren masih belum puas jawaban suaminya."Lalu apa motormu sudah bagus? Semalam aku khawatir sekali, sampai hubungi bang Dika, katanya kamu tak ke rumah sakit!" Niko menggaruk kepala tak gatal."Maafkan aku sayang, aku tak sempat ke sana. Ini saja untung ketemu bengkel buka cepat, jadi aku bisa langsung pulang setelahnya," Shiren diam, Nik

  • Pesona Istri yang Diremehkan   Bab 4

    Dua minggu berlalu sejak kelahiran anak Shiren dan Niko, usia bayi mereka kini baru sekitar dua minggu lebih tiga hari. Pagi-pagi sekali, Niko sudah tiba di rumah ibunya, mengemudikan mobil milik Dika. Lastri yang sedang sibuk memasak, menghentikan gerakannya, matanya mengerjap penuh tanda tanya."Loh, Niko? Kupikir itu Dika," gumam Lastri pelan sambil meninggalkan sendok di atas kompor. Ia melangkah menghampiri, raut wajahnya penuh keheranan."Niko, ada apa? Tumben kamu bawa mobil kakakmu." Di sudut kamar, Shiren terlihat masih terlelap. Wajahnya kusut, kantung mata tampak berat setelah semalam harus menghadapi bayi yang rewel.Niko menarik napas santai, tanpa terburu-buru menjawab, "Aku mau ajak istri dan anakku pulang, Bu. Rumah di sana berantakan, dan tak ada yang ngurus." Lastri terkejut, matanya membelalak, mulutnya tak bisa menyembunyikan rasa terkejut."Niko, kamu keterlaluan! Istrimu baru saja melahirkan, belum sebulan. Kamu sudah suruh dia ini itu? Aku nggak izinkan," suaran

  • Pesona Istri yang Diremehkan   Bab 3

    Shiren terengah-engah saat didorong masuk ke ruang bidan yang remang-remang. Keringat membasahi dahinya, sementara tangan yang gemetar erat menggenggam kain perca yang diberikan oleh bidan. "Ibu, kontraksinya sudah sangat kuat, bayi akan segera lahir," kata bidan dengan suara tenang namun penuh urgensi. Mata Shiren melebar, campuran antara takut dan harap. Napasnya tersengal, sesekali terdengar erangan kesakitan yang tak bisa ia tahan. Suara detak jantung bayi di monitor kecil yang dipasang di perutnya seolah menjadi satu-satunya harapan di tengah kekacauan ini.Di luar, suara langkah cepat dan bisik-bisik panik terdengar samar, menambah ketegangan yang memenuhi ruangan kecil itu. Shiren menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan diri, walau jantungnya berdebar tak menentu. Bidan itu memegang tangannya dengan lembut, "Ibu, tenang. Kita akan lalui ini bersama." Namun dalam benak Shiren, beribu tanya berputar—apakah ia benar siap menyambut kehidupan baru yang sebentar lagi hadir ke d

  • Pesona Istri yang Diremehkan   Bab 2

    Sehabis subuh Shiren keluar rumah hendak ke rumah bu RT, sarapan buat suaminya sudah ia persiapkan, dia juga sarapan sedikit untuk mengisi tenaga nanti. Kedatangannya tentu telah ditunggu dengan senyum sumringah penuh harapan oleh tuan rumah."Ayo masuk! anak saya sudah bangun,""Assalamu'alaikum!" Lirihnya."Walaikumsalam, di sini saja ya." Shiren mengangguk, dia membaca bismillah agar apa yang dikerjakannya berjalan dengan lancar. Tangannya sedikit kaku karena sudah lama tak merias. Dengan modal handpone ia terus mempelajari bagaimana make up kekinian agar tak ketinggalan zaman."Kapan dedeknya lahir dek Shiren!" ditengah merias, Ratna melayangkan pertanyaan agar suasana tak terasa canggung."Kalau kata bidan sih HPlnya semingguan lagi Bu, tapi bisa lebih cepat juga bisa lebih lambat." Bu Ratna mengangguk-angguk."Pasti perlengkapan bayinya sudah lengkap ya! apalagi ini anak pertama, pasti Niko sangat senang menanti kehadirannya." Tukasnya lagi, senyum Shiren memudar. Ingin ia katak

  • Pesona Istri yang Diremehkan   Bab 1

    Shiren tersenyum setelah menutup isi bekal buat suaminya, pagi tadi Niko tak sempat menunggu istrinya masak karena harus secepatnya ke kantor sebuah Instansi pemerintahan dan sudah sebagai Pegawai Negeri Sipil."Pasti dia menyukai makanan kesukaannya." Lirih wanita yang tengah hamil besar itu.Kakinya terus mengayun menuju motornya, dia mengendarai dengan hati-hati agar selamat sampai tujuan.Hanya butuh 20 menitan ia sampai di parkiran, sebenarnya Niko bisa saja pulang tiap istirahat untuk makan siang, tapi dia beralasan sayang bensinnya dan memilih bawa bekal jika lauk yang ada tampak enak."Serius bro tadi istri lo?" Terdapat sekumpulan tiga orang pria duduk berbincang."Iyalah, kenapa? Cantikkan!" Niko mengangguk perlahan."Beruntung amat loh, secara anak kalian sudah dua orang. Tapi badan istri lo masih bagus dan terawat, apalagi dia juga bekerja. Beda banget sama yang di rumah!" keluh Niko membuat Shiren terpaku di belakang mereka."Istri lo maksudnya?""Siapa lagi, sudah tak ad

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status