MasukLastri menggeleng mencoba meminta Niko untuk meminta maaf pada istrinya, tapi bukan Niko namanya jika merendahkan diri dengan meminta maaf, Dika juga mengepal erat tangannya terasa kesal, jika bukan ada ayah dan ibunya di sana. Sudah pasti ia melayangkan sebuah pukulan terhadap Niko yang dianggap mengesalkan.
"Shiren, baik aku akan talak kamu sekarang juga." Gusman menghela napas kasar. "Cepetan Niko, banyak sekali drama perempuan ini. Waktuku habis sia-sia berada di sini," Ucap mertua lelaki Shiren tampak malas. Niko menatap Shiren dengan mata penuh amarah yang membara, suaranya menggelegar menembus hening ruangan. "Shiren Amirah, saya talak Anda dengan talak satu. Sekarang Anda bukan istri saya lagi!" ucapnya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Tubuh Shiren seketika membeku, matanya melebar menahan sakit yang tiba-tiba menyayat hati. Bibirnya bergetar, tapi tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Rasa malu dan kecewa merayapi seluruh dirinya, seperti angin dingin yang menusuk tulang. Di balik wajah yang kini pucat, air mata mengancam tumpah, namun ia menahan diri, menundukkan kepala tanpa suara. Sekeliling mereka hening, hanya terngiang gema kata-kata Niko yang menusuk batin Shiren, meninggalkan kehampaan yang pekat di antara mereka. "Niko, tarik kata-katamu itu nak," teriak Lastri tampak tak terima. Niko hanya diam dengan senyum sinis ke arah Shiren yang tampak sudah tegar. "Sudahlah bu, Shiren tak pantas mendapatkan suami bejad seperti Niko. Aku memang kakaknya, tapi tak mendukung perangai buruknya terhadap Shiren, biarkan Shiren menemukan kebahagiaannya di luar sana tanpa lelaki pecundang ini." Tekan Dika membuat Niko merasa emosi. "Diam! aku tahu, abang pasti senang melihat rumah tanggaku hancurkan? Ya kini rumah tanggaku sudah hancur, tapi! lihat saja ke depannya, akan aku dapatkan wanita tiga kali lebih hebat dari pada istri abang. Jadi, jangan sok kesenangan sekarang!" Dika menggeleng. "Apa maksud kamu? Selama ini merasa tersaingi sama abangmu sendiri, begitu?" Niko terdiam tapi masih senyum sinisnya. Shiren berjalan menuju kamar menuju sang bayi masih terlelap tidur tanpa merasa terganggu sedikit pun oleh suara ribut barusan. "Nak, sudah saatnya kita pergi. Di sini bukan tempat kita lagi," Shiren bergegas memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper, tak lupa semua perlengkapan Nadhira ia masukkan meski tak seberapa banyak. Lastri masuk ke dalam kamar menantunya dengan rasa sedih, ia mendekati Shiren lalu memegang pergelangan tangannya. "Nak, ibu mohon jangan pergi! jangan berpisah dengan Niko, ibu akan menasehatinya agar berubah lebih baik lagi, ibu mohon nak!" Sebenarnya Shiren tak tega melihat tatapan tulus wanita itu, tapi apa daya. Dia hanya mantan menantu sekarang. "Maafkan aku ibu, percayalah. Aku sudah anggap ibu sebagai ibuku sendiri, Nadhira cucu ibu sampai kapanpun, ibu bebas bertemu dengannya, tapi untuk kembali bersama bang Niko. Aku tak sanggup, maafkan aku." Lastri terdiam, menyapu air matanya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. "Baiklah,.ibu juga tak berhak memaksamu, tapi kabarilah dimana pun kamu akan tinggal, ibu akan selalu merindui kamu dan cucu ibu." Shiren mengangguk, ia melanjutkan memasukkan barang lainnya. Ia juga meraih ponsel. "Ini ibu ada sedikit uang, buat kamu nanti!" Lastri menyelipkan beberapa lembar uang merah, Shiren sempat menolak tapi wanita paruh baya itu terus memaksa. "Terima saja nak, ibu yakin kamu tak cukup diberi uang sama Niko selama ini kan?" Shiren terdiam lalu mengangguk, hanya mahar berupa cincin emaslah barang berharga saat ini, uang pun tak seberapa banyak. "Terima kasih bu, aku pamit." Dengan erat ia mengikat gendongan ke badan dan meletakkan Nadhira dengan hati-hati, ia akan pergi menggunakan sepeda motor miliknya saat masih sedari gadis. "Bagaimana bisa kamu pergi menggendarai motor Shiren?" Dika mendekati terasa tak tega. "Insyaallah aku akan selalu dilindungi Allah bang, aku pamit." Niko tampak pongah duduk di teras dengan menggoyangkan kaki. "Tunggu surat dari pengadilan, aku akan segera mengurusnya!" teriak Niko hanya dianggukkan Shiren, air mata Lastri kembali tumpah. Dika mencoba menenangkan sang ibu dengan membawanya ke rumah. "Ibu kenapa bang? Apa yang terjadi barusan!" Airin istrinya tampak penasaran, karena tubuhnya belum pulih, ia undurkan niatnya untuk mengecek apa yang terjadi. "Ada masalah antara Niko dan Istrinya, mereka telah berpisah secara agama." Deggg Airin cukup terkejut mendengarnya, orang tuanya pun yang ada di sana demikian juga. "Kenapa?" "Nanti saja aku ceritakan." Dika membawa ibunya masuk ke dalam kamar tamu. *** Di dalam sebuah rumah besar, ada Karina beserta Deni dan anak sambungnya Sisil sedang menikmati makan malam, Karina tampak bahagia dan penuh tawa saat bersama keluarganya itu. Tak sedikit pun terbesit dalam pikirannya akan kehidupan Shiren sang anak kandung seperti apa. Sisil yang juga sudah dewasa juga sepenuhnya mendapatkan kasih sayang dari ibu sambung. Sebenarnya tak adil bagi Shiren yang ditinggalkan sedari kecil, tapi harta dan cinta membutakan Karina dan menutup rasa kasih sayang itu pada sang anak. "Bagaimana dengan liburannya? Apa minggu depan jadi dipercepat?" Tanya Deni pada Karina. "Jadi dong, nggak sabar rasanya ke sana Pa. Kamu bagaimana Sisil, apa jadi ikut?" Tawar Karin. "Eh enggak kayaknya Ma, aku liburan sama teman-teman saja, sudah ada jadwal." Keduanya mengangguk, seorang asisten rumah tangga datang dengan langkah cepat. "Maaf Bu, Pak, ada tamu. Katanya Shiren anak bu Karina." Semua cukup terkejut kedatangan wanita itu, mereka bergegas ke depan. Di ruang tamu, Shiren sudah duduk di sofa dengan memangku bayi kecilnya. "Ada apa kamu kemari Shiren? Bawa banyak barang lagi!" Tatapan Karina tampak tak suka. "Bu, maafkan aku sudah mengganggu kalian. Izinkan aku dan bayiku tinggal di sini sementara waktu, a-aku sudah pisah dengan Bang Niko," Suara Shiren terdengar lirih. Karina dan Deni cukup terkejut mendengarnya. "Apa? Pisah, kenapa? Kamu itu tak becus ya jadi istri!" Hati perempuan itu terasa tertusuk atas ucapan ibunya. "Bu, aku selama ini telah sabar dihina dan dicaci maki bang Niko, tapi aku tak bisa bersabar setelah tahu kelakuan bejadnya. Ia selingkuh dengan beberapa wanita di luar sana, bahkan tidur juga," suara Shiren tercekat diakhir kata, Kening Karina berkerut. "Itu urusanmu, tapi ini rumah saya. Jadi kamu dan bayi itu tak diizinkan tinggal di sini," Sambung Deni cepat. Shiren terkesiap, Karina juga terkejut. "Pa, apa tak bisa izinkan beberapa hari saja? Kasihan," Karina tampak takut berucap. "Nggak bisa, disini bukan tempat penampungan. Silahkan pergi, meski kamu anak sambungku, tapi aku tak peduli, ibumu saja tak sayang bukan sama kamu!" Karina terdiam, Shiren mencari pembelaan ibunya. "Bu, izinkan aku disini. Semalam saja, kasihan anakku dibawa keluar terkena angin malam." Karina melipat tangan di dada. "Maaf Shiren, ibu tak bisa bantu. Suami ibu tak mengizinkan, silahkan pergi. Masih banyak bukan hotel atau penginapan diluar sana," hati Shiren merasa sakit mendengar ucapan tega dari ibu kandungnya. "Bagus sayang, aku suka kamu yang selalu nurut!" puji Deni mendapat lirikan tajam Sisil. "Sudah sana, mau apalagi. Kamu bukan siapa-siapa disini." Usir Sisil tanpa rasa kasihan. "Ibu kejam, aku ini anakmu. Baiklah, aku akan pergi, percuma rupanya datang kemari berharap masih ada rasa belas kasihan ibu, ternyata aku salah. Ibu masih sama, semoga ibu dan keluarga ibu selalu bahagia, aku janji takkan pernah menemui ibu lagi dan berharap apapun." Shiren kembali membawa kopernya keluar, Karina sebenarnya tak tega. tapi dia takut sama Deni. "Jangan sombong kamu, awas saja jika menemui ibumu lagi." Sambung Deni dengan senyum menyeringai. "Maafkan ibu Shiren," tukas Karina mendapat senyuman sinis Shiren. Untungnya Nadhira terlelap di dalam gendongan kain hangat yang Shiren kenakan, ia menjauh membawa motor satu-satunya yang selalu membawa ia kemana pun pergi, meski motor itu sudah cukup jelek. Tapi masih layak dan sehat buat dipakai. "Harus kemana aku sekarang? Menginap di hotel rasanya tak sanggup, memang ada uang. Tapi hari masih panjang." Perutnya tiba-tiba berbunyi, Shiren ingat ia belum mengisi perut, apalagi kondisi sedang menyusui membuat ia harus menjaga asupan makanan. "Maafkan ibu ya nak, sekarang makan dulu." Shiren berhenti ke sebuah rumah makan sederhana, sembari menyeret koper, dia terus mencari kursi kosong. Tatapan orang membuat sedikit tak nyaman, apalagi sembari menggendong bayinya dan membawa tas. "Mau makan dengan lauk apa kak?" seorang pelayan datang. "Nasi dengan ayam goreng saja, sayurnya dibanyakin," perempuan itu mengangguk, seorang ibu yang ada di seberangnya menatap Shiren dan sedikit menggeser kursi. "Mau kemana malam gini bawa koper dan barang cukup banyak?" Timpalnya ramah, Shiren sedikit gugup. "Mau cari tempat menginap sementara buk, saya tak ada tempat tinggal lagi," perempuan setengah baya itu cukup terkejut. "Kasihan sekali mana bawa bayi lagi, tak jauh dari masjid rumah saya, kalau mau mampir saja menginap sampai dapat tempat baru, nanti saya bantu cari kontrakan atau kost-an." Shiren merasa terharu, ternyata masih ada orang baik di luaran sana dan itu pun orang lain yang tak ia kenali sama sekali. "Alhamdulillah, tapi apa tak merepotkan bu? Aku ini bukan siapa-siapa dan kita tak saling kenal bukan," Wanita itu tersenyum. "Menolong tak harus kepada keluarga atau suadara, kita semua sama hamba Allah. Aku iklhas dan percaya kepadamu, ayo habiskan makanannya, nanti ikut aku!" Rasa takut sedikit pun tak kepikiran dipikiran Shiren, apakah orang yang ada di hadapannya benar-benar baik atau bukan, yang pasti ia percayakan semua kepada yang diatas dan asal anaknya bisa segera beristirahat dari sejuknya angin malam. Sepuluh menit telah berlalu, benar saja. Wanita asing itu membawa Shiren dan bayinya pulang ke sebuah rumah sederhana. Di sana dia tak tinggal sendirian, ada suaminya juga dua orang anak yang masih kecil. "Silahkan masuk, Shiren!" Shiren mengangguk, barang-barangnya pun dibawa masuk oleh wanita itu. "Bang, ini wanita yang aku ceritakan. Dia sedang kesusahan, jadi aku bawa buat nginap malam ini, nggak apa kan?" Pria tegap itu menganggup dengan ramah. "Tentu boleh dong, bawa dia ke kamar sebelah. Pasti dia capek," "Terima kasih banyak Pak, bu sudah izinkan saya menginap di sini. Maafkan merepotkan, maaf juga nanti jika kalian terganggu dengan suara tangisan bayi saya." Ujar Shiren merasa tak enak. "Santai saja Shiren, kami juga ngerti kok. Anak kami dua, jadi tak masalah." Shiren tersenyum, dia memasuki sebuah kamar sederhana dengan penuh syukur, Nadhira pun dia kasih Asi sebelum bayi mungil itu ditidurkan. Bagaimana pun kerasnya hidup, Shiren tetap bersyukur karena masih ada yang baik padanya.Airin sedang duduk santai di sofa ruang keluarga, tangannya memegang secangkir teh hangat sambil menonton acara favorit di televisi. Suasana tenang itu tiba-tiba pecah ketika pintu depan diketuk dengan keras. Dengan ragu, Airin berdiri dan membuka pintu, di depan matanya berdiri dua petugas kepolisian dengan ekspresi serius. "Apakah Ibu Airin?" tanya salah satu petugas dengan suara tegas namun sopan. Jantung Airin berdegup kencang, ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. "Ya, saya Airin. Ada apa, Pak?" Petugas itu mengeluarkan surat panggilan dan membacakan, "Kami datang berdasarkan laporan dari Shiren Amirah terkait dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Ibu." Airin terdiam sejenak, wajahnya berubah pucat. Dalam benaknya berputar cepat, mencoba mengingat apakah yang harus dia lakukan. Matanya membelalak, mulutnya kering. Rasa takut dan kebingungan menyelimuti dirinya. "Dugaan... pencemaran nama baik?" suaranya bergetar, tak percaya. "Ini pasti salah paham." Petugas itu meng
Video itu diputar ulang berkali-kali, wajah Airin yang kemarinnya penuh kesombongan kini terlihat pucat pasi. Di layar, suaranya tampak lantang dan tegas takkan mau mengembalikan nama baik Shiren dan yakin perempuan itu akan hancur atas berita hoaks yang dia sebarkan. "Aku bodoh sekali kenapa bisa terperangkap atas jebakan Shiren dan lelaki itu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba menahan rasa malu yang membuncah.Di sisi lain, komentar netizen membanjiri unggahan Arshaka. Hujatan dan cercaan mengalir deras, Airin disebut sebagai perempuan licik yang tega menghancurkan reputasi orang lain demi kepentingan pribadi. Beberapa bahkan mengungkapkan kebencian mendalam, mengutuk Airin tanpa ampun.Shiren yang menonton video itu dengan tangan gemetar, tak mampu menyembunyikan kelegaan yang mengalir di hatinya. Hatinya yang dulu penuh luka kini mulai memancarkan ketegaran baru. Ia tahu, meski luka itu masih menganga, kebenaran akhirnya terbuka ke permukaan. Namun, di balik itu semua, t
Andika berdiri di tengah ruang tamu yang remang, matanya membara menatap layar ponsel yang menampilkan unggahan viral itu. Wajahnya memerah, napasnya memburu seolah hendak meledak. "Kenapa kamu lakukan ini, Airin?!" suaranya pecah, penuh amarah yang sulit ditahan. Tangan Andika mengepal kuat hingga urat-urat di lehernya tampak menegang. Airin, yang duduk di sudut ruangan, menunduk dengan bibir gemetar, tak mampu menatap suaminya. Tatapan tajam Andika menusuk hatinya, namun wanita itu tetap diam, seolah menunggu ledakan berikutnya."A-aku minta maaf bang, semua aku lakukan hanya untuk membalas Shiren," Andika menggeleng."Kamu benci Shiren dan hendak ingin menjatuhkannya tapi malah menjelekkan suamimu sendiri begitu?!" Teriak Dika membuat semua terdiam, kilatan emosi yang membara dan tak pernah dia luapkan sebelumnya membuat orang sekitar merasa takut. Lastri yang ada di sana juga terlihat tak mampu berbicara."Aku tak bermaksud bang, semua terjadi begitu saja!" Airin tampak menegang.
Niko tiba di rumah dengan langkah yang berat. Begitu pintu kamar diketuk, ia segera membanting sandal ke pojok ruangan, suara dentangnya mengisi keheningan malam. Dadanya naik turun cepat, wajahnya merah padam karena marah. "Akkhhh... brengsek! Gimana bisa dia tolak aku begitu saja!" geramnya sambil menjatuhkan kursi hingga terjungkal. Suara benturan barang di kamarnya tak luput dari perhatian Airin yang sedang melintas di halaman selesai dari warung, disusul Dika yang penasaran. "Dengar nggak sih? Ada apa di rumah Niko?" tanya Airin dengan alis berkerut. Tanpa pikir panjang, Dika menyusul masuk, menemui Niko yang masih gusar. "Niko! Kamu kenapa, sih? Kok ribut banget malam-malam?" tanya Dika sambil mengusap bahunya. Niko menghela napas panjang, matanya yang semula marah kini terlihat lelah."Nggak usah ikut campur, sudah bang sana pulang!" usirnya, Dika menggeleng. Lelaki itu pulang dengan kesal tapi Airin tetap berdiam diri di tempat, matanya celingukan melihat sang suami apakah
"Apa! Shiren menjadi pemenang lomba? Berarti namanya naik dong?" Niko mengangguk, masih tak percaya Airin mengambil handpone dan melihat sendiri buktinya di tok tok."Benar, nggak mungkin aku bisa kalah sama cewek kampungan itu. Enggak bisa!" lirihnya terdengar Niko."Kamu nggak suka?" Airin mengangguk."Ya iyalah, secara tingkat pendidikan kami berbeda, aku diatasnya. Masa bisa kalah, tambah lagi pasti ibumu bertambah kagum sama dia, ah sebal!" pekik Airin kesal."Cepat kasih alamatnya, besok aku mau kesana langsung." Timpal Niko, Airin tampak malas akhirnya memberikan alamat Shiren.Setelah kepergian Niko, wanita itu tampak bermondar mandir dengan hati terasa tak tenang, dia masih merasa tak menyangka dan percaya akan kalah jauh dari Shiren yang dianggapnya tak bisa apa-apa selain menjadi ibu rumah tangga."Enggak enggak, aku harus bisa menjatuhkan Shiren. Bagaimana caranya?" Airin terus berpikir hingga akhirnya dia mendapatkan sebuah ide.*** Keesokan paginya, Shire
Shiren berdiri di antara kerumunan peserta yang menunggu dengan napas tertahan. Matanya sesekali menatap ke arah panggung, dimana Pengumuman lomba makeup pengantin akan segera disampaikan. Detak jantungnya berdetak lebih cepat, campuran antara gugup dan harap yang membuncah di dada. Tangan kirinya meremas-remas kain gaun sederhana yang dikenakannya, berusaha menenangkan diri meski seluruh tubuhnya terasa tegang.Suara pembawa acara mulai terdengar, mengumumkan satu per satu nama pemenang dengan sorak sorai dari penonton yang bersorak. Shiren menelan ludah ketika nama-nama lain disebut, hampir putus asa. Namun, saat kata “Pemenang utama atas nama... Shiren Amirah!” mengalun di udara, seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik. Matanya membelalak, bibirnya menganga tanpa suara.Raut wajahnya berubah dari tegang menjadi tak percaya, lalu perlahan berubah menjadi senyum lebar yang sulit ia tahan. Air mata haru mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya. Perlahan, Shire







