Hari yang melelahkan. Sampai saat ini Rudi belum juga bisa aku hubungi. Biarlah aku pulang saja. Badan terasa mau rontok semua. Lidia benar-benar balas dendam padaku. Aku harus memutar otak mencari cara untuk mendapatkannya kembali. Ya, satu-satunya cara yaitu membuat dia jatuh cinta lagi padaku. Baru setahun yang lalu kami berpisah. Pasti masih ada rasa yang tersisa untukku. Wanita itu dulu sangat tergila-gila dan patuh padaku. Dengan kecepatan tingg kujalankan mobilku. Agar segera sampai di rumah dan beristirahat. Saat sampai di rumah aku melihat Rena dengan kebiasaannya tiduran di depan televisi. Sudah muak aku melihatnya. Apalagi setelah mendapatinya berselingkuh dengan laki-laki lain lewat panggilan video. Kalau tak ingat rumah ini atas namanya, sudah kuusir dia sejak kemarin. "Sudah pulang, Mas?" Rena perlahan mendekatiku yang baru saja masuk dan melewatinya "Sudah dong mas, jangan diamkan aku terus kayak gini. Aku kangen sama kamu, Mas" Tanpa rasa menyesal akan perbuatannya
Pagi ini tidak ada sarapan, pakaianku kembali kusetrika sendiri, semua kukerjakan sendiri. Menurut yayasan penyalur ART, Widia tidak nyaman bekerja disini karena perlakuan istriku. Memang sejak awal Rena tidak suka dengan Widia. Hari ini adalah batas waktu yang diberikan Pak Sami untukku mendapatkan kontrak kerja dengan Darasifa. Apa yang harus aku katakan kalau aku tidak berhasil. Aku pasti akan di pecat. Sial sekali aku ini. Terancam dipecat dengan hutang yang menumpuk. Semoga Pak Sami masih mau memberiku tambahan waktu. Perjalanan menuju kantor hari ini lancar. Sesampainya di kantor aku langsung menuju kantin untuk makan. Sejak semalam aku tidak makan. Punya istri tidak berguna. Hanya ingin enaknya saja. "Tumben sarapan di kantin lagi, Pak Yusuf." Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan teman-teman kantor. Nasi uduk dan gorengan sudah cukup untuk sarapan pagi ini. Aku harus lebih berhemat sekarang. Biarlah Rena mengurus perutnya sendiri. Aku sudah enggan memikirkan wanita itu.
"Kerja nggak becus kalian semua! "Pak Sami terlihat sangat marah hingga menggebrak meja di depanmya. Semua yang ada di ruang meeting ini diam tertunduk. Termasuk Aku. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku pasrah. Semua kepala divisi hadir dalam meeting bulanan ini. Termasuk aku dari divisi operational lapangan. "Yusuf. Apa saja kerjamu? Setiap hari ke lapangan. Tapi tidak satupun iklan kita yang jalan," teriak Pak Sami seraya melotot padaku. Habislah sudah diriku. Satu-persatu setiap divisi menerima protes pedas dari Pak Sami atas kerja mereka satu bulan ini. "Kalian tau? omzet kita bulan ini turun tiga puluh persen. Kalau tidak segera di benahi, bisa-bisa bulan depan kita mengalami kerugian." Jelasnya dengan nada tinggi penuh emosi. Setelah mengevaluasi kerja setiap divisi, meetingpun berakhir. Tiba-tiba Pak Sami menghampiriku. "Yusuf, setelah meeting ini, kamu ke ruangan saya!" perintahnya. "Baik, Pak." Aku mengangguk. Tamatlah riwayatku. Dengan membuang nafas kasar, aku
"Perempuan murahan kamu Rena. Keluar kalian dari sini!!" teriakku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang sudah memuncak. Kedua tanganku mengepal. Rasanya kemarahanku sudah keubun-ubun. Dua manusia laknat itu kelabakan mencari pakaian mereka yang berceceran di lantai. Wajah Rena yang sebelummya nampak menggoda, kini berubah menjadi sangat ketakutan ketika melihatku. Aku yang muak melihat pemandangan itu langsung menuju ke ruang tamu. Laki-laki gemuk berkulit hitam yang bersama Rena tadi nampak sangat marah menghampiriku. "Hai laki-laki nggak berguna, Keluar kamu dari sini!" bentaknya. Hey bisa-bisanya dia mengusirku dari rumahku sendiri. "Kurang ajar, kalian yang seharusnya pergi dari rumahku!" sahutku setengah berteriak. "Jangan mimpi kamu! Rumah ini sudah jadi milikku sekarang. Kamu lupa? kalau rumah ini sudah digadaikan oleh istrimu?" Jelas pria gemuk itu. Sementara Rena masih meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Astaga Renaaa!! Jadi rumah inipun sudah jatuh ke tangan laki
Bab 22. Pekerjaan Baru Yusuf Sudah satu minggu aku berada di kost-kostan ini. Selama itu pula aku berusaha mencari pekerjaan lewat online. Tapi belum ada hasilnya. Sedangkan uang simpananku hampir menipis. Beginilah nasib hidup sebantang kara, tidak ada tempat untuk pulang. Sejak remaja kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku berjuang sendiri hingga bisa bekerja di beberapa perusahaan yang bonafid. Namun roda kehidupan itu terus berputar. Aku yang lupa diri dan tidak pernah bersyukur ketika sedang berada di atas. Pada akhirnya kini kembali berada di bawah. Saat ini Aku kembali mulai dari nol. Mencoba untuk kembali bangkit. Walau tanpa seseorang yang mendukung dan mendampingiku saat ini. Tidak seperti dulu, ketika baru pertama meniti karier selalu ada Lidia yang menyemangatiku. Pagi ini kuputuskan untuk berjalan-jalan di halaman kost yang lumayan luas. Banyak pepohonan dan tanaman penyejuk mata. Pemandangan hamparan rumput yang luas membuat suasana hati menjadi le
Bab 23. Pertemuan Mengejutkan Lidia Sebenarnya aku tak tega melihat Mas Yusuf memohon-mohon padaku. Betapa jahatnya aku. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Hamba hanya manusia biasa yang kadang lupa dan tak bisa menahan perasaan yang terlalu dalam. Aku hanya ingin Mas Yusuf menyadari kekhilafannya dulu. Dan bisa berubah menjadi lebih baik di kemudian hari. Ya. Mungkin dengan cara ini, laki-laki itu bisa jera akan perbuatan yang telah dilakukannya. Agar dia tahu betapa sombong dan serakahnya dia dulu. Mendapatkan seorang istri seperti Rena sebagai penggantiku dulu, ternyata justru menjadikanmu lebih menderita dan terpuruk karena ulahnya. Betapa penghianatannya dulu telah membuat hati seseoang hancur berkeping-keping. Namun semua itu menjadi suatu pembelajaran untukku. Menjadikan aku sebagai wanita yang kini lebih kuat. Bagaimana nasib mantan suamiku itu sekarang? Apa benar dia dipecat karena tidak berhasil menjadikan aku sebagai brand ambassador produk perusahaannya? Semoga kamu b
Astaga! Kenapa aku harus ketemu Lidia di sini? "Lidia, Nak Yusuf ini kost di rumah ini. Orangnya baik. Kalau Andre nggak ada, dia yang antar Mama ke mana-mana." Haduh! Kenapa Tante Anne bilang seperti itu? Lidia pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa punya waktu untuk mengantar Tante Anne bepergian. Lidia pasti curiga kalau aku sudah tidak kerja lagi. Apalagi kalau dia tahu kalau aku ini sekarang hanya seorang supir. Mau ditaruh di mana mukaku ini.Tuh kan Lidia sampai ternganga mendengar ucapan tante Anne tadi. Pastilah dia bingung. Ah, kasian mantan istriku itu. Ternyata dia masih saja memikirkanku. "Memangnya Mama sudah pergi ke mana aja sejak pulang ke rumah?" Ya ampuuun, suara Lidia kenapa jadi makin merdu begini? Hati ini sungguh bergetar mendengarnya. "Mama nengok perusahaan-perusahaan, ke toko emas dan belanja. Pokoknya senang-senanglah. Sebenarnya kangen mau ngantor lagi. Tapi nggak boleh sama Andre". Tante Anne terus bercerita. Sementara aku terus mencuri pandang pada
Andre Laki-laki itu beberapa kali pernah hampir menyakiti Llidia. Kenapa Mama sampai bisa memperkerjakan dia sebagai supirnya? "Ayo kita masuk dulu, Ndre!" ajak Lidia. Kalau saja Lidia tidak menarik dan mengajakku untuk segera masuk. Sudah kujadikan perkedel laki-laki itu. Entah kenapa sejak bertemu dengan Lidia, aku selalu saja takut kehilangan wanitaku itu. Aku mengenalnya sejak awal ia berobat di rumah Jeng Putri. Lidia pada saat itu sangat kurus dan pucat. Namun aku melihatnya sebagai wanita yang kuat dan sangat penyabar. Kekagumanku padanya membuatku semakin ingin memilikinya. Lidia sangat telaten menemani dan membantu mama ketika mereka sama-sama berada di rumah perawatan Jeng Putri. Karena itulah kenapa Mama sangat menyayanginya. "Ada apa ini? Loh, Lidia kenapa nggak jadi pulang?" Tiba-tiba mama muncul dari dalam dan terkejut melihat Lidia kembali masuk. "Mama, kenapa sampai bisa memperkerjakan laki-laki kurang ajar itu?" teriakku. "Kurang ajar gimana? Memangnya apa ya