Celin melirik sekilas ke arah Abizar yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu tetap dengan wajah dinginnya, seperti biasa. Mata tajamnya mengawasi sekeliling, seakan siap menghadapi ancaman kapan saja. Celine mendengus pelan. Bagaimana mungkin pria itu tidak pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan padanya setelan apa yang pernah mereka berdua lakukan.
"Kamu tidak capek jadi patung manusia terus?" Celine menyandarkan tubuhnya ke sofa, tangan memutar gelas jus jeruk yang hampir tandas. Abizar menoleh singkat, lalu kembali fokus ke layar ponselnya. "Tugas saya bukan untuk menghibur Anda, Nona Celin." Celin menegakkan tubuhnya, menyeringai jahil. "Oh? Jadi kalau aku yang menghiburmu, kau tak keberatan?" Nada suaranya sedikit menggoda. Abizar menghela napas pelan, tetap tidak terpancing. "Tergantung, Tapi saya pastikan tak ada yang menarik dari Nona." Celin tertawa kecil, lalu bangkit dan berjalan ke arah pria itu, berdiri cukup dekat hingga bisa merasakan hembusan nafas Abizar. "Kalau aku tiba-tiba ingin kabur dan bersenang-senang di luar, apa kamu akan mengejarku?" Abizar menatap Celine, kali ini lebih lama. "Ya." Jawaban singkat itu seharusnya cukup untuk menghentikan Celine, tapi justru semakin membuatnya tertarik. Ia semakin menantang, "Bagaimana kalau aku minta kamu menemaniku bersenang-senang?" "Tergantung tujuan 'bersenang-senang' Anda apa?" "Malam ini aku ingin keluar. Kamu ikut atau aku harus kabur diam-diam?" Abizar tidak langsung menjawab. Matanya mengamati Celine dengan tajam. Setelah beberapa detik hening, pria itu akhirnya berkata, "Selama Tuan Darwin tak ada saya lah yang mengawasi anda." Celine tersenyum lebar mendengarnya. "Bagus. Siap-siap, kita akan pergi." Namun malam harinya situasi menjadi semakin rumit ketika Celin mulai bertingkah lebih berani. Ia sengaja menggoda pria lain di hadapan Abizar, berharap ada reaksi. Sayangnya, pria itu tetap dingin. "Serius, Abizar? Kamu tidak cemburu sama sekali?" Celin bertanya dengan nada frustrasi saat mereka berada di sebuah pesta keluarga. "Anda berhak berteman dengan siapa pun, Nona Celin." "Kamu ini kekasihku dan aku tak terima penolakanmu!" Merasa tak terima, Celine akhirnya mengambil tindakan lebih berani. Ia mendekati Abizar, berdiri tepat di hadapannya dan meraih dasi pria itu dengan tangan kecilnya. "Kalau aku lebih dekat seperti ini, kamu masih bisa tetap dingin?" bisiknya nakal, menarik dasinya perlahan hingga wajah mereka semakin dekat. Abizar tetap diam, tapi Celin bisa melihat rahangnya mengencang. Itu pertanda bahwa ia mulai terpengaruh. Dengan penuh percaya diri, Celin sedikit berjinjit, hampir menyentuhkan bibirnya ke pipi Abizar sebelum pria itu akhirnya menarik diri. "Nona, jangan memaksakan sesuatu yang tidak mungkin," ucapnya pelan, tetapi ada ketegangan dalam suaranya. Celin menyeringai. "Aku suka tantangan! I dont care, you're mine." Abizar menghela napas panjang dan berbalik pergi, meninggalkan Celin yang tersenyum puas. Celin memandang punggung Abizar yang semakin menjauh, tetapi kali ini ia tidak ingin membiarkan pria itu pergi begitu saja. Dengan cepat, ia mengejarnya dan menarik lengan Abizar hingga pria itu terhenti. "Kenapa selalu lari dariku?" "Saya tidak lari, Nona Celin. Saya hanya menjaga batasan." Celin menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Batasan? Kamu yakin batas itu masih ada setelah semua yang kita lakukan?" Abizar diam, tak menjawab. Celin mengambil langkah nekat, mendekat hingga jarak mereka nyaris tak bersisa. Ia menatap mata Abizar dengan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah. Kamu bisa terus menolakku, tapi aku tidak akan berhenti," bisiknya lembut. Abizar meneguk ludah, terlihat sedikit gelisah meski sikapnya tetap biasa. Namun, sebelum pria itu bisa menolak, suara langkah kaki mendekat, membuat keduanya refleks menoleh.Celine duduk gelisah di ruang tamu, menunggu kedatangan Darwin. Jantungnya berdegup kencang, tak tahu apa yang akan dibicarakan kakaknya. Beberapa menit kemudian, suara mobil berhenti di depan rumah, membuatnya spontan berdiri. Pintu terbuka, dan Darwin masuk dengan langkah tegap. Tatapannya tajam, ekspresinya sulit ditebak. "Duduk," perintahnya singkat. Celine menurut, menunggu dengan napas tertahan. Darwin menatapnya lekat. "Apa hubunganmu dengan Abizar?" Celine terkejut dengan pertanyaan langsung itu. "H-Hubungan apa?" Darwin mendengus. "Jangan bohong, Celine. Aku tahu ada sesuatu di antara kalian." Celine mengerutkan kening, merasa heran dengan pertanyaan kakaknya. "Kan Kakak yang menyuruhku mengambil proyek kerja sama dengan
Celine mengusap wajahnya dengan frustasi. Berurusan dengan Abizar Yazed? Itu sama saja dengan melemparkan dirinya ke dalam mulut harimau. Pria itu terlalu licik, terlalu penuh tipu daya, dan yang lebih buruk—terlalu menggoda. "Baiklah, cukup bicara soal itu. Aku harus pergi sebelum Darwin benar-benar pulang dan mengira aku ikut campur terlalu jauh dalam urusan kalian," ujar Ayana yang pergi meninggalkan mereka kembali ke kamarnya, ekspresinya serius. "Dan Abizar, jangan berbuat macam-macam. Aku serius." Abizar hanya mengangkat alis, senyum jahilnya tak berkurang sedikit pun. "Aku? Berbuat macam-macam? Oh, Nyonya Darwin, kau benar-benar salah menil—" "Ya, ya, simpan akting tak berdosamu itu untuk orang lain!" potong Ayana sebelum pergi ke kamarnya. "Celine, jangan biarkan dia menggodamu lagi!" Celine menghempaskan diri ke sofa dengan napas panjang. Percakapan barusan dengan Ayana masih t
Celine menghela napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil setelah kejadian barusan. Abizar benar-benar membuatnya kehilangan kendali, dan sekarang, dengan Ayana duduk di depannya sambil bertanya dengan nada serius, ia harus kembali ke realita. "Celine? Kau mendengar pertanyaanku, kan?" Ayana menyipitkan mata, memandangnya penuh selidik. "Kau baik-baik saja?" Celine buru-buru mengangguk. "Tentu saja. Aku hanya... sedikit kaget. Maksudku, Kak Darwin baru pulang besok, kan? Jadi kenapa kau panik begitu?" Ayana melipat tangan di dada. "Karena aku tahu kau dan Abizar tidak bisa dibiarkan berduaan terlalu lama. Buktinya tadi, aku hampir kebobolan!" Abizar yang duduk di seberang meja hanya terkekeh santai, menyilangkan kaki dengan ekspresi tak berdosa. "Kau terlalu khawatir, Nyonya. Aku hanya ingin memastikan Celin baik-baik saja. Tidak lebih, tidak kurang." "Tentu saja Celin pasti baik-baik saja," gumam Ayana, me
"Kalau kau belum ingat juga, aku akan menunjukkan sesuatu yang pasti akan membantumu mengingatnya," bisik Abizar, jari-jarinya usil mengelus paha Celine. Celine menepis tangan Abizar, tapi hanya sedikit. "Jangan macam-macam! Aku curiga kau menyimpan sesuatu... sesuatu yang sangat pribadi milikku?" Suaranya sedikit gemetar, campuran rasa malu dan gairah. Abizar terkekeh rendah, suaranya berat dan sensual. "Ada di mobilku. Dan aku yakin, melihatnya akan membuatmu mengingat semuanya dengan sangat jelas." Ia sengaja menggeser tubuhnya, membuat tubuhnya bersentuhan dengan Celine. Celine mendesah pelan, tubuhnya menegang. "Yaaak! Kau ini! Bicaramu... mesum sekali!" Ia mencoba mendorong Abizar, tapi gerakannya justru membuat tubuh mereka semakin erat bersentuhan. "Menyingkirlah! Sangat sesak... dan panas..." Gerakannya tak terkendali, membuat Abizar semakin tegang. Abizar menahan napas, suaranya serak menahan gairah. "Jangan banyak bergerak, Celine... kau membuatku... sangat tegang..
Satu jam lebih Abizar menunggu Celine yang belum juga turun. Matanya, tajam dan tak berkedip, menatap lantai atas. Tanpa basa-basi, ia berjalan menaiki tangga dengan langkah tegap dan pasti. Bob dan Will, yang berdiri tak jauh darinya, ingin melarang, namun sebelum mereka sempat bersuara, Abizar berkata dengan suara berat dan lantang, menghentikan mereka seketika. "Satu langkah, nyawa kalian akan melayang." Abizar melangkah dengan santai, namun elegan, menuju kamar Celine. Namun langkahnya terhenti ketika Ayana berdiri di ujung tangga, menghalangi jalannya. "Abizar Yazed! Kamu tidak boleh masuk ke kamar Celine! Nanti aku adukan ke Darwin!" Ayana berkata dengan mata melotot dan tangan di pinggang, sebuah pose yang bagi Abizar terlihat lucu. Tanpa ragu, Abizar mengeluarkan kotak perhiasan—sebuah kotak beludru merah tua berisi sebentuk berlian The Constellation, s
Celine mengepalkan tangannya, jantungnya berdebar—bukan karena takut, tapi karena excited yang tercampur sedikit panik. "Cih! Mana berani dia kesini menjemputku," gumamnya, suaranya terdengar seperti tawa halus yang diredam. Celine keluar kamar, aura keanggunannya tak terbantahkan, meski dipadu dengan ekspresi slight sassy. Ia mencari Will, bodyguard-nya yang lebih mirip model iklan parfum. "Will, cepatlah kesini. Aku membutuhkanmu," teriak Celine. Will, yang tengah bergosip—mendapatkan gosip terbaru tentang hubungan asmara kepala koki dan tukang kebun—langsung berlari kecil, kemeja putihnya sedikit kusut. "Nona Celine! Ada apa, Nona?" tanyanya, napasnya sedikit tersengal. "Hey, kau. Siapkan jas termahalmu—yang aku belikan, ingat?—temani aku bertemu Abizar malam ini."