Fjola tersedak oleh cairan yang dipaksa masuk ke mulutnya. Matanya sampai berair. Meski begitu, orang yang mencekokinya menahan lehernya supaya tetap mendongak. Setelah menelan habis ramuan itu, ia menyumpah. "Berengsek! Apa yang kau berikan padaku?"
"Dengarkan aku!" Sang pemuda mulai hilang kesabaran. "Kau sekarat saat kubawa kemari. Aku berusaha menyembuhkanmu dengan anugerah yang kumiliki. Tetapi, itu saja tak cukup. Jadi, jika kau masih ingin hidup, minum ramuan itu." Setelah bicara seperti itu, pemuda itu bangkit. Ia duduk menghadap api. Ia menggosok-gosok telapak tangannya.
Fjola yang berhasil memproses ucapan pemuda itu pun tersentak. "Anugerah? Apa maksudmu?"
Fjola tak mendapat jawaban. Sebagai ganti, ia malah dapat melihat profil sang pemuda lebih jelas. Kulitnya yang pucat seolah bersinar diterpa cahaya api. Rambutnya yang gelap terjalin indah. Matanya yang hijau berkilat-kilat, berserobok dengan mata Fjola. Dagunya kokoh, begitupun dengan bahunya yang telanjang. Tubuhnya ramping namun berotot. Pemuda itu amatlah rupawan. Ada kesan lembut dari sosoknya, namun ada juga kesan mengancam. Jantung Fjola berdetak lebih kencang ketika pemuda itu kembali menghampirinya, menyentuhkan jemarinya yang lentik ke pipi. Matanya yang tajam menatap Fjola dalam-dalam hingga rona terpancar dari pipi gadis itu.
Mendapat perlakuan begitu membuat Fjola gugup. Ia menepis tangan sang pemuda yang menyentuhnya. "Hentikan!"
Pemuda itu mendecih. "Aku perlu memeriksamu."
Fjola memalingkan wajahnya. "Aku baik-baik saja."
Pemuda itu mendesah. "Ya sudah kalau begitu." Ia lantas menunjuk jubah yang menjadi alas tidur Fjola. "Omong-omong kalau kau sudah merasa baikan, bisakah jubah itu untukku? Rasanya aku sedikit kedinginan."
Fjola kemudian bangkit. Kepalanya masih pening tetapi tidak separah tadi.
Pemuda itu menyahut jubah bekas diduduki sang gadis, lantas mengenakannya. Ia mengaitkan talinya ke tubuh. "Sebenarnya aku juga mau mengambil kemeja yang kupinjamkan padamu. Tetapi, kurasa kau tak akan mau menyerahkannya sekarang juga mengingat ...." Pemuda itu tak mampu menyeselesaikan kalimatnya. Ia mendapat pelototan dari Fjola. "Ya sudahlah."
"Kau yang mengganti bajuku?"
"Tidak, pelayanku."
Fjola mengernyit.
"Tentu saja aku yang menggantinya. Siapa lagi?"
Malu segera dirasakan gadis itu. Ia lantas bertanya dengan ragu, "Kau tidak .... Maksudku, kau hanya mengganti bajuku, kan? Kau tidak ... tidak ...." Dia tak dapat menyelesaikan pertanyaanya. Ia salah tingkah.
"Tidak apa?" Alis panjang pemuda itu mengerut.
Fjola berdeham lantas melanjutkan, "Tidak menyentuhku."
Pemuda itu mendecakkan lidah. Ia mengibaskan tangannya tak acuh. "Tentu saja aku menyentuhmu."
Fjola terkesiap. Ia merapatkan kerah kemejanya. "Kau! Berani-beraninya kau menyentuhku!"
Kening pemuda itu tambah mengerut. "Kalau aku tidak menyentuhmu, bagaimana aku bisa mengganti pakaianmu? Kau ini aneh sekali."
"A-apa?" Fjola tergagap. Rupanya, arti menyentuh yang mereka pahami berbeda. Seketika ia malu. "Ma-maksudku, kau tidak menyentuh ... menyentuh dalam arti yang itu. Kau paham maksudku, kan?"
Pemuda itu menggaruk dahinya dengan bingung. Kemudian, ia paham. "Oh, maksudmu apakah kita berhubungan selayaknya pasangan?"
Fjola mengangguk cepat.
"Ya ampun, sulit sekali memahami perkataan manusia," gerutu pemuda itu. Ia melanjutkan, "Tidak. Kaumku melarang berhubungan dengan siapa pun sebelum kami saling menginginkannya. Apa kau ingin kita berhubungan?"
"Tidak!" Fjola segera menggeleng. Wajahnya memerah.
"Lagi pula, aku tidak boleh berhubungan sembarangan. Aku harus meminta izin pemimpinku jika ada wanita yang ingin kujadikan pasangan. Pernikahan bangsaku tidak semudah pernikahan bangsamu tahu. Jadi, kalau kau memang ingin meraba tubuhku yang sexy ini, tidak bisa sekarang. Ada prosesinya. Lagi pula, pemimpinku tidak akan mengizinkanku menikah dengan manusia. Kalau pun ada manusia yang menginginkan kami, biasanya mereka dianggap budak. Aku tak keberatan kau menjadi budakku. Tapi sebelum itu aku harus menemui pemimpinku untuk mengklaimmu."
"Tidak. Aku tidak ingin berhubungan denganmu, atau merabamu, atau menjadi budakmu. Tidak."
Pemuda itu cemberut. "Apa kau yakin?" Ia menaruh kedua tangannya di pinggang, membuat dadanya yang bidang terekpos.
"Hentikan!" Fjola mengalihkan pandangannya. Ia kesal karena dirinya merasa kikuk saat memandang pemuda itu. "Aku sudah memiliki calon suami."
Pemuda itu mengedikkan bahu. "Ya sudah."
"Omong-omong, apa maksudnya dengan kaummu?" tanya Fjola kemudian.
Lagi-lagi, pemuda itu tak menjawab. Ia malah berbalik, mengambil busur yang diletakkan di dekat perapian. Ia lantas menyandang busur itu dan menoleh. "Aku akan mencari makan. Kau tunggulah di sini. Jaga apinya tetap menyala. Jika ada sesuatu yang gawat panggil namaku."
"Tunggu!" cegah Fjola sebelum pemuda itu pergi. "Aku tak tahu namamu. Dan, bagaimana mungkin kau dapat mendengarku kalau kau pergi jauh?"
"Arnor. Panggil aku dengan nama itu. Namun, jangan panggil aku sambil mendesah. Oke?" katanya jahil. Sebelum Fjola sempat memprotes, sembari menunjuk telinganya, ia melanjutkan, "Aku punya pendengaran yang sensitif, tahu!"
Fjola membelalak ketika melihat ada yang aneh dengan sesuatu di balik rambut pemuda itu. Setelah diamati lebih teliti lagi, ia sadar bahwa telinga pemuda itu runcing ke atas. "Kau pe-peri?"
"Kelihatannya begitu." Arnor lantas keluar dari gua. Langkahnya begitu ringan sampai-sampai tak ada jejak yang terbentuk di gundukan es. Salju yang mengamuk hampir-hampir tak mengganggunya.
Mulut Fjola menganga. Pantas saja Arnor mati-matian menyelamatkannya. Sebab, para peri tidak mau mangsanya mati. Mereka akan membawa korbannya ke negeri para peri hidup-hidup, lalu menyerahkannya kepada pemimpin mereka untuk dijadikan budak. Dan, jika mereka melarikan diri, mereka akan disiksa sampai mati. Ia pernah membaca bagaimana perlakuan mereka terhadap bangsa manusia dulu di buku sejarah dunia tengah.
Mereka juga angkuh. Namun, Fjola baru tahu bahwa mereka ternyata narsis. Atau, hanya Arnor saja yang memiliki sifat itu? Dari omongan sang peri tadi, tersirat bahwa para peri memandang manusia dengan rendah. Setahu Fjola, mereka juga kejam. Nyatanya, ibu Barrant, ratu Negeri Veggur yang dipuja rakyatnya, yang menciptakan tembok perisai, mati di tangan para peri. Seketika, bulu kuduk Fjola meremang. Ia harus pergi dari gua itu. Ia mesti melarikan diri.
Lebih baik, ia mati daripada menjadi budak para peri. Apalagi budak Arnor. Meski tampan, ia tak tahan berdekatan dengan peri itu. Ia ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan Arnor terhadapnya.
Tidak. Dia tak akan membiarkan dirinya menjadi budak. Ia harus kembali ke Negeri Veggur. Raja Erik, Lilija, dan Margaret menunggu pembalasannya.
Gadis itu bangkit. Tangannya mendekap tubuh erat-erat. Giginya bergemeletuk menahan angin dingin yang menerpa. Tungkainya dipaksa melangkah. Ia menyongsong badai salju di luar gua.
***
Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh. Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat. Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya y
Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.Fjola memutar bola matanya. Dengan
FannarOrang bilang, mereka adalah legenda. Walaupun tak ada yang pernah melihat mereka. Beberapa orang mengaku ditolong oleh mereka. Beberapa lagi mengaku keluarganya dibunuh oleh mereka. Mereka bukanlah hantu. Sebab, tak ada hantu yang dapat membawa gandum kepada masyarakat miskin, tak ada hantu yang mencuri harta para bangsawan, atau membunuhi petinggi yang zalim. Mereka bagai malaikat yang diam-diam dikirim Tuhan untuk menolong manusia yang pupus harapan.Namun bagi para bangsawan, mereka adalah perampok keji, begal, dan pencuri. Mereka sering menjarah barang dagangan para bangsawan kikir. Tak heran, mereka menjadi momok bagi bangsawan yang semena-mena.Bagi petinggi negeri, mereka merupakan musuh, perusak hirarki, dan pemberontak. Setiap prajurit diperintahkan untuk mengeksekusi mereka. Akan tetapi, baik masyarakat, para bangsawan, maupun para prajurit dan petinggi negeri tak tahu siapa mereka sebenarnya dan berapa anggota mereka. Orang-orang menyebut mereka Garda. Selama ini,
Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin
Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Apakah peri tak pernah tidur? Fjola membatin. Sebab, ketika malam sudah larut, ia masih mendengar gerakan dari dalam gua. Ia sendiri tak bisa tidur. Bagaimana ia dapat memejamkan mata sementara peri yang bersamanya masih usil. Entah sedang mengerjakan apa, Fjola tak mau tahu. Ia juga tak dapat melihat karena sekarang ia tengah berbaring miring menghadap dinding gua. Ia hanya melihat bayangan Arnor yang menari-nari di dinding gua. Kemeja dan celananya yang basah disampirkan di dekat api. Untung jaket pemburu yang dikenkannya panjang. Jadi, dapat menutupi lutut Fjola yang telanjang. Sepatu bot ikut dijemur di dekat api.Gadis itu gelisah. Alas tidur yang keras tak mengganggunya, tetapi suara gesekan dua benda terdengar berisik di keheningan malam. Fjola jadi penasaran dengan kegiatan yang dilakukan oleh Arnor. Ia ingin mengintip. Namun, posisinya tidak memungkinkan dirinya mengintip. Bahkan untuk sekadar bergerak pun ia tak sanggup. Ia tak mau Arnor mengetahui bahwa dirinya belum terlel