Share

Bab. 3 Tawanan

Fjola tersedak oleh cairan yang dipaksa masuk ke mulutnya. Matanya sampai berair. Meski begitu, orang yang mencekokinya menahan lehernya supaya tetap mendongak. Setelah menelan habis ramuan itu, ia menyumpah. "Berengsek! Apa yang kau berikan padaku?"

"Dengarkan aku!" Sang pemuda mulai hilang kesabaran. "Kau sekarat saat kubawa kemari. Aku berusaha menyembuhkanmu dengan anugerah yang kumiliki. Tetapi, itu saja tak cukup. Jadi, jika kau masih ingin hidup, minum ramuan itu." Setelah bicara seperti itu, pemuda itu bangkit. Ia duduk menghadap api. Ia menggosok-gosok telapak tangannya.

Fjola yang berhasil memproses ucapan pemuda itu pun tersentak. "Anugerah? Apa maksudmu?"

Fjola tak mendapat jawaban. Sebagai ganti, ia malah dapat melihat profil sang pemuda lebih jelas. Kulitnya yang pucat seolah bersinar diterpa cahaya api. Rambutnya yang gelap terjalin indah. Matanya yang hijau berkilat-kilat, berserobok dengan mata Fjola. Dagunya kokoh, begitupun dengan bahunya yang telanjang. Tubuhnya ramping namun berotot. Pemuda itu amatlah rupawan. Ada kesan lembut dari sosoknya, namun ada juga kesan mengancam. Jantung Fjola berdetak lebih kencang ketika pemuda itu kembali menghampirinya, menyentuhkan jemarinya yang lentik ke pipi. Matanya yang tajam menatap Fjola dalam-dalam hingga rona terpancar dari pipi gadis itu.

Mendapat perlakuan begitu membuat Fjola gugup. Ia menepis tangan sang pemuda yang menyentuhnya. "Hentikan!"

Pemuda itu mendecih. "Aku perlu memeriksamu."

Fjola memalingkan wajahnya. "Aku baik-baik saja."

Pemuda itu mendesah. "Ya sudah kalau begitu." Ia lantas menunjuk jubah yang menjadi alas tidur Fjola. "Omong-omong kalau kau sudah merasa baikan, bisakah jubah itu untukku? Rasanya aku sedikit kedinginan."

Fjola kemudian bangkit. Kepalanya masih pening tetapi tidak separah tadi.

Pemuda itu menyahut jubah bekas diduduki sang gadis, lantas mengenakannya. Ia mengaitkan talinya ke tubuh. "Sebenarnya aku juga mau mengambil kemeja yang kupinjamkan padamu. Tetapi, kurasa kau tak akan mau menyerahkannya sekarang juga mengingat ...." Pemuda itu tak mampu menyeselesaikan kalimatnya. Ia mendapat pelototan dari Fjola. "Ya sudahlah."

"Kau yang mengganti bajuku?"

"Tidak, pelayanku."

Fjola mengernyit.

"Tentu saja aku yang menggantinya. Siapa lagi?"

Malu segera dirasakan gadis itu. Ia lantas bertanya dengan ragu, "Kau tidak .... Maksudku, kau hanya mengganti bajuku, kan? Kau tidak ... tidak ...." Dia tak dapat menyelesaikan pertanyaanya. Ia salah tingkah.

"Tidak apa?" Alis panjang pemuda itu mengerut.

Fjola berdeham lantas melanjutkan, "Tidak menyentuhku."

Pemuda itu mendecakkan lidah. Ia mengibaskan tangannya tak acuh. "Tentu saja aku menyentuhmu."

Fjola terkesiap. Ia merapatkan kerah kemejanya. "Kau! Berani-beraninya kau menyentuhku!"

Kening pemuda itu tambah mengerut. "Kalau aku tidak menyentuhmu, bagaimana aku bisa mengganti pakaianmu? Kau ini aneh sekali."

"A-apa?" Fjola tergagap. Rupanya, arti menyentuh yang mereka pahami berbeda. Seketika ia malu. "Ma-maksudku, kau tidak menyentuh ... menyentuh dalam arti yang itu. Kau paham maksudku, kan?"

Pemuda itu menggaruk dahinya dengan bingung. Kemudian, ia paham. "Oh, maksudmu apakah kita berhubungan selayaknya pasangan?"

Fjola mengangguk cepat.

"Ya ampun, sulit sekali memahami perkataan manusia," gerutu pemuda itu. Ia melanjutkan, "Tidak. Kaumku melarang berhubungan dengan siapa pun sebelum kami saling menginginkannya. Apa kau ingin kita berhubungan?"

"Tidak!" Fjola segera menggeleng. Wajahnya memerah.

"Lagi pula, aku tidak boleh berhubungan sembarangan. Aku harus meminta izin pemimpinku jika ada wanita yang ingin kujadikan pasangan. Pernikahan bangsaku tidak semudah pernikahan bangsamu tahu. Jadi, kalau kau memang ingin meraba tubuhku yang sexy ini, tidak bisa sekarang. Ada prosesinya. Lagi pula, pemimpinku tidak akan mengizinkanku menikah dengan manusia. Kalau pun ada manusia yang menginginkan kami, biasanya mereka dianggap budak. Aku tak keberatan kau menjadi budakku. Tapi sebelum itu aku harus menemui pemimpinku untuk mengklaimmu."

"Tidak. Aku tidak ingin berhubungan denganmu, atau merabamu, atau menjadi budakmu. Tidak."

Pemuda itu cemberut. "Apa kau yakin?" Ia menaruh kedua tangannya di pinggang, membuat dadanya yang bidang terekpos.

"Hentikan!" Fjola mengalihkan pandangannya. Ia kesal karena dirinya merasa kikuk saat memandang pemuda itu. "Aku sudah memiliki calon suami."

Pemuda itu mengedikkan bahu. "Ya sudah."

"Omong-omong, apa maksudnya dengan kaummu?" tanya Fjola kemudian.

Lagi-lagi, pemuda itu tak menjawab. Ia malah berbalik, mengambil busur yang diletakkan di dekat perapian. Ia lantas menyandang busur itu dan menoleh. "Aku akan mencari makan. Kau tunggulah di sini. Jaga apinya tetap menyala. Jika ada sesuatu yang gawat panggil namaku."

"Tunggu!" cegah Fjola sebelum pemuda itu pergi. "Aku tak tahu namamu. Dan, bagaimana mungkin kau dapat mendengarku kalau kau pergi jauh?"

"Arnor. Panggil aku dengan nama itu. Namun, jangan panggil aku sambil mendesah. Oke?" katanya jahil. Sebelum Fjola sempat memprotes, sembari menunjuk telinganya, ia melanjutkan, "Aku punya pendengaran yang sensitif, tahu!"

Fjola membelalak ketika melihat ada yang aneh dengan sesuatu di balik rambut pemuda itu. Setelah diamati lebih teliti lagi, ia sadar bahwa telinga pemuda itu runcing ke atas. "Kau pe-peri?"

"Kelihatannya begitu." Arnor lantas keluar dari gua. Langkahnya begitu ringan sampai-sampai tak ada jejak yang terbentuk di gundukan es. Salju yang mengamuk hampir-hampir tak mengganggunya.

Mulut Fjola menganga. Pantas saja Arnor mati-matian menyelamatkannya. Sebab, para peri tidak mau mangsanya mati. Mereka akan membawa korbannya ke negeri para peri hidup-hidup, lalu menyerahkannya kepada pemimpin mereka untuk dijadikan budak. Dan, jika mereka melarikan diri, mereka akan disiksa sampai mati. Ia pernah membaca bagaimana perlakuan mereka terhadap bangsa manusia dulu di buku sejarah dunia tengah.

Mereka juga angkuh. Namun, Fjola baru tahu bahwa mereka ternyata narsis. Atau, hanya Arnor saja yang memiliki sifat itu? Dari omongan sang peri tadi, tersirat bahwa para peri memandang manusia dengan rendah. Setahu Fjola, mereka juga kejam. Nyatanya, ibu Barrant, ratu Negeri Veggur yang dipuja rakyatnya, yang menciptakan tembok perisai, mati di tangan para peri. Seketika, bulu kuduk Fjola meremang. Ia harus pergi dari gua itu. Ia mesti melarikan diri.

Lebih baik, ia mati daripada menjadi budak para peri. Apalagi budak Arnor. Meski tampan, ia tak tahan berdekatan dengan peri itu. Ia ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan Arnor terhadapnya.

Tidak. Dia tak akan membiarkan dirinya menjadi budak. Ia harus kembali ke Negeri Veggur. Raja Erik, Lilija, dan Margaret menunggu pembalasannya.

Gadis itu bangkit. Tangannya mendekap tubuh erat-erat. Giginya bergemeletuk menahan angin dingin yang menerpa. Tungkainya dipaksa melangkah. Ia menyongsong badai salju di luar gua.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puziyuuri
Perinya narsisi cuy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status