Share

Isakan pilu

Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.

Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini.

  Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini. 

Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu. 

Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. 

  Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat ini.

 Tragedi ke empat, dia harus menerima penyiksaan yang sangat brutal dari mantan suami yang tega membuangnya begitu saja enam bulan yang lalu. Menyisakan bekas luka menyedihkan di beberapa titik tubuhnya hingga saat ini. Penyiksaan yang pada akhirnya, membuat ia melahirkan putranya dengan cara sesar.

Tragedi ke lima, ia harus menggigit jarinya sendiri ketika mantan suaminya, merebut paksa putranya akibat ia mengabaikan permintaan rujuk mantan suaminya. 

  Sungguh, ia tak pernah mengharapkan tragedi ini menimpanya dalam kurun waktu satu tahun ini. Entah kebahagiaan macam apa yang tengah tuhan persiapkan untuknya, hingga ia mendapati ujian yang begitu berat dan enggan ia terima. Hanya saja, semua telah berlalu, kan?

Tragedi demi tragedi yang ia lalui, demikian telah mengoyak jiwanya yang murni. Menyisakan raga tanpa jiwa. Menenggelamkan jiwa ke dalam dimensi yang hanya ia dan tuhan yang tahu. 

 Seorang wanita paruh baya datang menghampirinya dengan nampan berisikan segelas teh jahe. 

 Seminggu ini, putrinya itu selalu murung dan menghabiskan sebagian waktunya dengan menangis. Tubuhnya kian kurus dan wajahnya menirus. Sebagai ibu, bagaimana mungkin wanita itu tak prihatin atas keadaan putrinya saat ini?

"Dhini..... ayo minum dulu, ibu buatkan teh jahe untuk menghangatkan tubuhmu".

Dengan sabar dan telaten, Masitah mengurus putrinya seperti anak kecil. 

  Ada perih yang menggeluti hatinya saat menyaksikan kehancuran putrinya karna kesejahteraan hidup keluarga mereka. Masitah diam-diam meneriaki dirinya sendiri, ibu macam dirinya? Bahkan demi kemewahan yang ia dapatkan ketika masih di kampung, ia dapatkan dengan cara mengorbankan kebahagiaan putrinya. 

Diam-diam, air mata wanita paruh baya itu menetes begitu saja. 

  "Maafkan ibu, Dhini." Andhini yang menyadari hal itu, mendongak menatap ibunya yang duduk di sampingnya. 

  Air matanya juga ikut menetes seiring dengan luka yang demikian pedih ia rasakan.

  Percayalah, berpisah dengan bayi yang baru di lahirkan bukanlah hal yang mudah untuk di jalani, terlebih usia Dhini masih sangat muda. Definisi dari jahannam dunia, Dhini telah merasakannya. Panasnya tak nyata, namun hati sudah lebur seiring dengan penderitaan dan tragedi yang tak pernah henti. 

 "Tak perlu meminta maaf, Bu. Di sini, aku tak menyalahkan siapapun. Dari awal, harusnya aku sadar bahwa takdirku sudah seperti ini". Dhini berujar lirih. 

"Malam-malam aku melaluinya dengan menenun benang luka. Sudahlah bu..... Nanti..... mas Akmal pasti akan sadar bahwa apa yang di lakukan nya ini sudah sangat melewati batas dan salah. Aku tak lebih dari sekedar mantan istri yang harus tau diri bahwa, menjadi ketidak pantasan bila aku kembali menjalin pernikahan dengan mas Akmal. Aku telah memikirkannya dengan matang. Haidar tak akan kekurangan sesuatu apapun di tangan mas Akmal. Setidaknya, aku bisa melihatnya dari jauh suatu hari nanti". 

"Dhin.... tidak bisakah kau memikirkan kembali tawaran Akmal untuk menjadi istri keduanya? Dengan begitu, Akmal pasti akan menyerahkan Haidar padamu. Hanya itu satu-satunya pilihan yang Akmal tawarkan. Kau.... kau sangat mencintai Akmal, ibu tau itu. Jadi? Mengapa tak mencoba bernegosiasi pada dirimu dan takdir? Meski nanti istri Akmal Yang akan sakit, tapi perlahan, nanti dia juga pasti akan mengerti. Suatu saat, wanita itu juga pasti akan bisa melihat ketulusan yang kau miliki.".

Lirih Masitah dengan getaran yang cukup mengguncang seluruh tubuhnya.

"Aku mau, Bu.... aku mencintainya... aku mencintai mas Akmal. Tapi aku tak bisa menyakiti kembali nyonya Sanjaya itu, Bu. Aku memahami kesakitan nya saat mas Akmal mengkhianatinya. Aku tak mau menyakitinya kembali. Aku tak mau menghancurkan pernikahan mas Akmal dengan istrinya, aku tak mau menjadi sasaran amukan mas Akmal lagi, bu".

Dhini menggeleng tegas dan beberapa kali air matanya menetes. Bayangan wajah Arini yang demikian murka kembali berkelebat dalam otak Dhini.

"Lalu, harus dengan cara apa kita perlu mengambil kembali Haidar?".

"Aku tak tau Bu. Mulai besok, aku akan cari kerja dan tak mau bergantung kembali pada mas Akmal. Bila perlu, kita buka usaha kecil-kecilan saja dulu. Biarkan aku menikmati kesakitan ku seorang diri hingga waktu mampu membasuh lukaku. Haidar putraku, bila besar nanti, tentu ia akan mencari ku sebagai ibunya, itupun bila mas Akmal memberi tau Haidar. Biar.... biar tangan tuhan saja yang membalasnya, Bu".

Dengan hati lapang, Dhini akan berusaha berdamai dengan takdir. senyum pedih ia sunggingkan di bibir pucatnya.Masitah terkadang heran, terbuat dari apa hati putrinya ini?

"Kau menyerah? Kau lebih mementingkan perasaan hati istri Akmal di bandingkan putramu?"

Masitah makin tak mengerti dengan jalan pikiran putrinya ini.

"Ya. Dari awal, aku telah menyakiti hati wanita itu, bu. Sebagai wanita, aku tentu tau bagaimana rasanya meski aku tak berada di posisinya. Aku tak akan kehilangan Haidar. Aku yang mengandungnya selama tujuh bulan, kami telah berbagi nutrisi di raga yang sama. Haidar..... akan tetap hidup di sini".

Dengan pedih dan suara terisak pilu, Dhini mencengkeram dadanya. Memejamkan mata dengan sangat dalam demi menumpahkan emosinya.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?".

"Kita akan mulai hidup yang baru. Aku memiliki tabungan yang cukup untuk membuka usaha. Adikku, sebaiknya pindah sekolah ke kota ini saja, Bu. Di sana..... tak ada yang bisa kita lakukan selain bercocok tanam".

"Ya... apapun yang putri ibu ingin.... ibu akan membantu mewujudkan. Asalkan putri ibu yang cantik ini, kuat".

Ada kelegaan luar biasa seketika. Kini.... Dhini telah kembali menemukan semangatnya. Haidar.....Bayi itulah yang mampu mendongkrak semangat yang nyaris padam dalam diri Dhini.

Hatinya kian kuat di tempa keadaan yang memang sungguh sangat menyulitkan.

Tanpa mereka sadari, seorang pria bertubuh tegap suruhan Akmal, menguping pembicaraan mereka. Pria itu, siap untuk melaporkan hasil kerjanya hari ini.

Entah mengapa, ada rasa tak tega yang tiba-tiba menggelayuti hati pria itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status