Share

Bab 5 | Janda Lebih Menggoda

"Ma, aku udah nyampe Bandara. Mama posisinya di mana?"

"Telat! Mama udah dijembut Chava," sahut Mala yang sengaja diloudspeaker Naka agar Nadya bisa mendengar.

Naka mengernyit bingung. "Chava?" ulangnya.

"Iyaaa, Chava. Masa lupa sama adek sendiri. Gimana sih kamu ini?!"

"Mama di Palembang?"

"Hm."

"Ngapain minta jemput aku, Mama?!" Naka mulai naik pitam, sedang Nadya di sampingnya tampak menahan tawa. "Malang ke Palembang jauh loh, Ma!"

"Loh, kamu di Malang?"

"Lih, kimi di Miling?" tiru Naka dengan nada mencibir.

Terdengar gelak tawa dari seberang. "Ya maap. Mama kira kamu tugas ke Palembang, makanya Mama nyusul, sekalian jenguk adekmu."

"Mama tahu nggak? Mama memangkas tiga puluh menit waktu kencanku!"

"Biarin!" balas Mala, meledek.

Naka mendengkus. "Ya udah, aku matiin ya?"

"Eh, eh, bentar!" tahan Mala.

"Apa lagi sih, Ma?!" decak Naka.

"Kasihin hape kamu yang lebih murah dari hape Mama itu ke Nadya," titah Mala. Dengan malas, Naka mengindahkan. Nadya menerima ponsel tersebut lalu menyapa ibu dari bosnya tanpa ditempelkan ke telinga. "Nad, Tante nitip anak Tante ya? Jewer aja ginjelnya kalau genit-genit ama cewek."

"Ya elah, Ma, aku genitnya cuma sama Nadya kali!"

Nadya melotot—memperingati.

Sayang, bosnya enggan peduli.

"Pokoknya kalau bosmu itu pecicilan di sana, viralin aja. Biar digebukkin orang-orang Malang."

Nadya tidak mampu membendung tawa gelinya.

"Ya udah, itu aja. Makasih, Nad."

"Sama-sama, Tan." Begitu panggilan terputus, Nadya mengembalikan benda pipih berlogo apel tergigit tersebut ke sang pemiliknya. Diterima Naka. "Tuh, denger 'kan apa kata ibunya Bapak!"

"Ck! Orangnya nggak tahu ini," abai Naka. "Sekarang kamu temenin saya ketemu Felice ya?"

"Gebetan baru?"

"Iya dong." Naka mengedipkan sebelah mata genit.

Dan Nadya cuma bisa mendesah pasrah.

***

Ada dua hal yang paling Nadya benci; menunggu dan ditinggalkan. Apalagi nungguin bosnya kencan. Ingin rasanya Nadya cosplay jadi cupang, biar nggak sakit mata saben hari lihat bosnya sayang-sayangan macem ABG yang lagi puber.

Nadya memutar mata, ia duduk di bangku seberang, mendengar ocehan Naka dan pacarnya.

"Jadi, kapan kamu kenalin aku ke orang tuamu?" tagih wanita berwajah bule dengan rambut pirang yang membuat Nadya serasa kebanting, karena kalah cantik. "Meskipun baru dua minggu kita pacaran, tapi aku udah klik sama kamu. Aku ngerasa kamu lebih bisa manjain aku."

Cih!

Nadya mendecih. Jelas bosnya berani keluar duit berapapun. Tu cewek nggak tahu aja kalau di belakangnya, diam-diam Genaka juga sering ngeluarin sesuatu demi kenikmatan. Nadya mendengkus geli, kepalanya menggeleng tak habis pikir. Serusak itulah bosnya. Kebetulan aja ketutup sama ketampanan dan kekayaan yang melimpah ruah.

"Nggak sekarang."

"Terus kapan?"

Naka mendesah, melirik Nadya yang dengan raut nengejek menyeruput jus alpukat favoritnya.

"Sayang!" seru Felice, sebal, ketika menyadari arah pandang Naka yang lagi-lagi tertuju ke arah Nadya. "Kamu kenapa sih madep sekretarismu terus? Emang aku kurang apa?"

"Kurang seksi! Jadi, kita putus aja," tukas Naka, lalu bangkit, dan menghampiri Nadya. Pria itu menarik tangan sekretarisnya, otomatis yang ditarik bangkit. Naka peluk pinggang Nadya dengan posesif. "Oh ya—" Menoleh ke Felice, "—sebenernya aku nemuin kamu karena mau bilang; aku mau nikah sama Nadya."

Setelah itu, tepat di depan mata Felice, Naka mencium bibir Nadya sekilas.

Iya, mencium!

Nadya melotot.

"Ayo, By!" ajak Naka, membawa sekretarisnya pergi dari hadapan Felice yang seketika termangu syok. Hingga langkah mereka tiba di parkiran kafe, Nadya dengan sekuat tenaga menyikut perut Naka, praktis pelukan pria itu terhela. Bibirnya mengaduh. "Barbar banget sih kamu!"

"Bapak ngapain coba bilang kayak gitu?" protes Nadya, tidak terima.

"Malah tadi saya mau bilang kalau kamu lagi hamil anak saya," kata Naka, memegangi perut yang barusan kena sikut. Nadya melotot—lagi. "Udah dong, jangan galak-galak sama saya. Lagian, di dalam kamus percintaan saya; pacaran tidak boleh lebih dari dua minggu. Kalau perempuan itu bertahan sama saya selama lebih dari dua minggu, konsekuensinya dia harus jadi istri saya." Jeda, ia sejajari wajah Nadya, lalu menghampiri telinga perempuan itu dan berbisik, "Dan berlaku juga buat perempuan yang selalu nemenin saya."

"Maksudnya saya?" pekik Nadya.

Bibir Naka melengkungkan senyum nakal. "Yes."

Nadya membulatkan mata, kepalanya menggeleng panik. "Ogah! Amit-amit!"

Naka tertawa ketika Nadya melangkah menjauh sambil merapalkan doa. Setelahnya, ia susul sekretarisnya itu. "Di luar sana emang banyak cewek cantik dan seksi yang jago muasin saya di ranjang, tapi.cewek galak dan jijik sama saya cuma kamu, Nad. Dan nggak tahu kenapa, itu justru bikin saya tertarik."

***

Akhirnya mereka tiba di Jakarta.

Tapiiii ... Nadya kembali dibuat sakit kepala oleh bos sintingnya itu. Naka tidak main-main meminta Nadya tinggal di apartemennya. Sebab sesampainya di kosan, Budhe Ratih alias pemilik kosan, menyambutnya dengan senyum ceria seraya berkata, "Kamu tu beruntung banget lho, Nad, punya calon suami tajir kayak Pak Naka."

"Maksudnya, Budhe?"

"Ihh, pura-pura nggak tahu deh!" cebik Budhe Ratih.

Nadya makin bingung karena emang betulan nggak tahu.

"Kemaren orang-orang suruhannya Pak Naka ambil barang-barangmu. Katanya, kamu mau nikah ya sama bosmu itu?" Penjelasan Budhe Ratih diakhiri dengan tanya. Nadya sudah menyiapkan mantra untuk mengutuk Naka. "Selamat ya. Tapi omong-omong, kamu nggak main ilmu hitam, 'kan?"

"Makasih, Budhe. Permisi," pungkas Nadya, pamit.

Genaka Diwangkara, playboy kelas buaya yang akhir-akhir ini membuat hidup Nadya makin nggak keruan. Selain kerjaan yang tambah-tambah, ni buaya atu juga mulai mengusik ketenangan hidup Nadya Aurora. Padahal Nadya sengaja hidup sederhana agar tidak lagi dikait-kaitkan dengan kakeknya yang bergelut di bidang politik, juga ayahnya yang kini menjabat sebagai gubernur. Nadya ingin lepas dari bayang-bayang nama Adiwangsa.

Sekelompok orang-orang jahat yang sialnya sedarah dengannya.

Nadya benci takdir.

Kenapa dia harus digariskan sebagai bagian dari Adiwangsa?

Membuang napas dengan gusar, kakinya diayun meninggalkan area kosan. Perempuan itu meluncur menuju apartemen bosnya. Tapi baru sampai depan gang, netra hazelnya menemukan Naka berdiri tegap di sana dengan sebelah tangan disembunyikan ke saku celana.

"Gimana? Udah siap?"

"Mau Bapak tuh apa sih?!" sembur Nadya, jengkel.

"Kamu—" Satu tangan Naka yang nganggur menunjuk Nadya, "—tinggal di apartemen saya. Simpel, 'kan?"

"Pak, saya ini cuma sekretaris. Nggak seharusnya Bapak berlebihan kayak gini."

"Oh, enggak," elak Naka, menggelengkan kepala. Tangan yang semula menunjuk Nadya, turut dimasukkan ke saku sebelah. "Saya minta kamu tinggal di apartemen saya, biar kamu nggak perlu bayar uang kosan."

"Terus saya bayar tumpangan apartemen Bapak dengan apa? Jadi budak Bapak selamanya?"

"Kalau kamu nggak keberatan, why not?" timpal Naka, enteng.

Nadya mendengkus. "Sayangnya saya keberatan."

"Ya udah, kalau gitu anggap aja tumpangan dari saya sebagai bentuk apresiasi."

"Tapi saya nggak percaya sama Bapak!" tandas Nadya, ketus.

"Ya, ya, ya." Naka manggut-manggut, sama sekali nggak tersinggung.

"Sekarang saya mau ambil barang-barang saya!"

"Barang yang sudah masuk ke apartemen saya, tidak bisa diambil lagi."

Nadya melotot. Ni buaya satu emang minta diviralin!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status