“Theo.” ujarku, sambil sedikit berbisik.“Hei. Leora. Akhirnya kau menghubungiku, setelah dua hari handpphonenmu tidak aktif,” aku tersenyum.“Maaf, tapi aku menghubungimu karena aku kesepian. Justin sudah berangkat kerja 2 jam yang lalu, dan—.”“Aku mengerti. Aku bisa Leora, apa kau mau aku menjemputmu?" aku tersenyum lebar.“Aku akan mengirim alamat rumah Darren, aku akan mengganti pakaianku.”“Baiklah, aku juga akan bersiap.”“Bye.”Aku mematikan sambungan telepon, lalu aku segera mengganti bajuku dengan baju kaos dan celana pendek. Aku mencari-cari tas yang cocok, hingga aku memilih warna lime, warna yang sangat terang.Aku memasukan dompet dan handphoneku ke tas.Aku menatap diriku dalam pantulan cermin, aku mengikat rambutku dengan rapi. Lalu menambah pita berwarna kuning di rambutku. Aku mengaplikasikan lipstick berwarna peach, dan parfum.Mataku memilih high heels lalu aku mengambil heels berwarna lime seperti tas-ku.Aku segera keluar dari kamar. Theo akan sampai dengan cepat
Saat makan malam berakhir. Aku segera ke kamar untuk mengeluarkan sampah yang ada di kamar Darren. Saat aku ingin keluar dari kamar, Darren yang masuk ke kamar. Ia menatapku.“Kau ingin susu coklat atau putih?” tanyaku.Ia menggigit bibirnya. Aku memandangnya, mencoba mencerna alasan kenapa ia menggigit bibirnya. Aku membahas susu yang akan ia minum, bukan susu yang lain.“Coklat,” jawabnya, setelah berpikir.Aku mengangguk. Aku segera keluar dari kamarnya dengan sampah dan piring serta gelas kotor. Pelayan membantuku membawa semua sampah ini.Lalu aku segera membuatkan susu untuk Darren, sebelum dia mengomel dan mengataiku dengan kalimat yang menyakitkan.Aku membawa segelas susu ke kamar, lalu aku menutup pintu dan memandang Darren yang tengah tiduran sambil menatap langit-langit kamar. Sayangnya, disini tidak ada TV.“Ini susumu,” ujarku.Aku meletakan susu-nya di meja di sampingnya. Aku berjalan ke kamar mandi, aku perlu mandi, aku tidak sempat membersihkan diri tadi.“Kau mau kem
Aku terdiam memandang baterai handphoneku, jadi dia menyembunyikan di sela-sela antara kepala tempat tidur dan tempat tidur.“Hei. Kemarikan benda sialan itu,” ujarnya.“Aku tidak bisa tidak bermain handphone, please. Biarkan aku memegang handphone-ku, aku tidak akan menelpon Theo di depanmu.”Ia menggeleng.“Aku saja tidak pernah bermain handphone di depanmu,” ujarnya.“Wanita dan laki-laki itu berbeda, hampir 78% wanita itu tak bisa tidak bermain handphone,” ujarku, sambil memasang wajah memelas.Tapi, wajahnya tetap dingin, seakan tidak peduli, seakan tidak mau terjebak dengan wajahku yang memelas.“Maka jadilah 22% wanita yang tidak bermain handphone.”Ia mendekatiku.“Ada game favoritku di handphoneku, please.”Ia tetap menggeleng dengan tegas.“Berikan atau sekarang aku menidurimu lagi di tempat tidur itu.”Aku menatapnya, lalu menaruh baterai handphoneku di tangannya.“Bagus,” ujarnya. Seakan puas aku menuruti kemauannya. Ia kembali duduk di meja dengan baterai handphoneku di
Pattie memberikan aku rok, jadi aku bisa menggunakan baju kaos Darren dengan rok sebagai bawahan. Aku mengikat baju kaosnya, menjadi terlihat pendek.Beruntung Pattie bisa mengerti keadaanku, jika aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jadi dia lebih aktif mengajakku berbicara di bandingkan harus aku yang membuka topik.Rumah Pattie memiliki taman yang lebih luas dari rumah Darren. Aku berjalan kaki tanpa alas kaki di taman rumahnya. Suasana disini juga cukup sejuk, matahari tidak terlalu panas menembus kulitku.Berbeda dengan rumah Darren, aku hanya bisa menikmati taman rumah Darren setiap pagi dan Sore. Itu juga aku harus memastikan agar matahari tidak terlalu panas.Aku duduk di bangku taman dan menikmati angin yang berhembus ke arahku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah orang tua Theo, Ibunya pasti mengajakku memasak untuk makan malam, atau membuat cemilan favorit Theo.Dan saudara-saudara Theo pasti mengajakku untuk bermain, ntah itu PS, menonton film terbaru
Aku duduk di samping Darren. Darren mengabaikanku, dan dia memasukan makanan ke dalam mulutnya.“Leora, akhirnya kau datang,” ujar Pattie, masih dengan senyum lembutnya.“Maaf, mom. Aku ke kamar mandi sebentar tadi.”“Aku bertanya pada Darren tentang bulan madu, kalian bersungguh-sungguh tidak ingin bulan madu?” aku melirik Darren.“Tidak, mom. Aku sibuk, Leora juga sibuk dengan temannya.” ujar Darren.“Aktivitas kalian bisa di hentikan, kalian harus bulan madu, setidaknya jika kalian tak mau bulan madu. Berikan kami harapan jika kalian bisa memberikan seorang penerus keluarga ini.”Darren tersedak. Aku menggeser minumannya lebih dekat ke arahnya.“Bulan madu bahkan tak akan membuat hal itu terjadi. Aku sudah katakan, aku belum siap menikah, jadi kalian harus menerima resiko atas pernikahan yang tak aku inginkan,” Darren menatapku.Lalu ia bangkit dan meninggalkan meja makan. Aku menunduk dan mulai memakan sarapanku. Pattie hanya diam.“Mom,” aku berucap pelan.Ia menatapku dengan sen
“Untuk apa kau menatapku?” ia berucap.“Aku tidak menatapmu, aku menatap pemandangan yang ada di sampingmu.”“Oh. Jadi, kau masih haus?”“Tidak.”“Kalau begitu aku saja yang membeli minum.”Ia masuk ke dalam Drive Thru Mc. Donalds.Aku memalingkan wajahku. Walau Theo kadang menjengkelkan, tapi hanya Darren yang benar-benar menjengkelkan.“Kau yakin tidak mau?” tanya nya.“Tidak,” ketusku.“Aku ingin Mc. Flurry Oreo dua, Pepsi dua, dan French Fries yang besar satu,” aku meliriknya.Rakus juga dia. Tapi walau dia makan banyak, bentuk tubuhnya aku akui cukup atletis. Darren menjalankan mobilnya, ia membayar dan kami menunggu lagi.Darren memajukan mobilnya setelah mobil di depan kami pergi.“Pegang.”Ia memberikan aku dua Mc Flurry, lalu pepsi dan kentang gorengnya. Ia menutup kaca mobil dan menggerakan mobilnya.Ia mengambil satu Mc. Flurry dan memasukan sesendok ice cream ke mulutnya sambil menyupir.“Kau hanya menyuruhku memegang makanan mu ini?” tanyaku.“Kau kan tak mau membeli tadi