LOGINSuasana ruang makan keluarga Zhang mendadak kaku. Tak ada satu pun yang bicara, bahkan bunyi sendok pun lenyap setelah kata ‘wasiat’ keluar dari bibir Madam Zhang.”
Mei Lin memandang sekeliling dengan tatapan bingung, mencoba mencari tanda-tanda kalau itu cuma lelucon keluarga kaya yang aneh. Akan tetapi, ekspresi semua orang terlalu serius. "Ehm … maaf," ucap Mei Lin ragu, suaranya pelan, tetapi terdengar jelas. "Tadi Nyonya bilang … wasiat? Maksudnya wasiat yang kayak … 'harta warisan'? Karena kalau itu, aku bisa bantu baca, kok, aku suka drama keluarga." "Bukan tentang harta, Mei Lin," potong Madam Zhang lembut, tetapi tajam. "Ini tentang janji lama antara dua keluarga." Janji lama? Mei Lin memandang ibunya dengan dahi berkerut. "Bu, kita pernah janji apa ke mereka? Jangan bilang dulu utang--" "Astaga, bukan!" Lin Xiu Lan cepat menepuk tangan putrinya. "Dulu nenekmu dan ibu Madam Zhang membuat perjanjian kecil, kalau anak atau cucu mereka seumuran, akan dijodohkan." Mei Lin memaksa tersenyum. "Itu pasti gurauan, kan?" "Sayangnya, dalam dokumen wasiat, janji itu tidak tertulis sebagai gurauan." Suara bariton itu terdengar dari ujung meja. Zhang Yichen meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap langsung ke arah Mei Lin. Tatapan itu … dingin, tetapi juga entah kenapa, dalam. Mei Lin membeku. "Tunggu … maksudnya … ini bukan bercanda?" "Bukan!" Zhang Yichen bersandar di kursinya, nada suaranya datar, profesional, seperti sedang bicara soal laporan keuangan, bukan masa depan hidup seseorang. "Wasiat nenek menyatakan, untuk menjaga hubungan dua keluarga, pernikahan simbolis harus dilaksanakan antara cucu keluarga Zhang dan cucu keluarga Lin," lanjutnya. "Dan kebetulan," tambah Madam Zhang dengan senyum lembut, "kau satu-satunya cucu keluarga Lin yang belum menikah." Mei Lin menatap ibunya dengan ekspresi antara syok dan ingin kabur. "Bu ... mereka bercanda, kan?" Ibunya hanya menatap ke bawah, tersenyum kikuk. "Nak … kau tahu sendiri, nenekmu orangnya keras kepala bahkan setelah meninggal." "Keras kepala?" Mei Lin hampir menjerit. "Dia bahkan dari alam sana masih bisa mengatur pernikahanku?" "Mei Lin!" tegur ibunya pelan, menatapnya seolah meminta diam. Zhang Yichen menatap Mei Lin tanpa ekspresi. "Jika kau tidak setuju, aku juga tidak akan memaksa. Tapi keluargaku berharap kita menghormati wasiat terakhir itu." Mei Lin menatap pria itu lama. Ia tahu harusnya marah, menolak, atau kabur sekalian. Akan tetapi, matanya malah terpaku pada wajah Zhang Yichen. Dingin, tetapi memikat seperti pahatan marmer hidup. "Jadi …" kata Mei Lin pelan, mencoba menetralkan nada suaranya. "Kalau aku setuju … kau bakal jadi suamiku?" Zhang Yichen mengerjap pelan. "Secara hukum, ya." "Dan kalau aku menolak?" "Kau akan membuat dua keluarga besar kehilangan kehormatan." Mei Lin membuka mulutnya, menutupnya lagi. Lalu dengan nada lirih ia bergumam, “Antara kehilangan kehormatan keluarga atau kehilangan kebebasan pribadi … kenapa dua-duanya terdengar seperti akhir dunia?" Madam Zhang tertawa kecil, lembut, tetapi penuh makna. "Kau lucu, Mei Lin. Nenekmu juga suka bicara seperti itu." Zhang Yichen menatap Mei Lin sekilas, lalu berdiri. "Baiklah. Aku tidak ingin menekan siapa pun. Tapi kalau memang ini keputusan keluarga, kita bisa membicarakan tanggalnya nanti." "Tanggalnya?" Mei Lin langsung refleks berdiri. "Kau serius banget, sih! Aku bahkan belum sempat stalking I*******m-mu!" Semua orang di meja terdiam sejenak. Sedangkan ibu Mei Lin menutup wajah, malu setengah mati. "Anakku memang suka bicara tanpa filter." Zhang Yichen menatap Mei Lin sekali lagi, kali ini dengan senyum sangat tipis, nyaris tidak terlihat. "Tak perlu repot stalking. Aku tidak punya I*******m." "Tentu saja." Mei Lin mendesah panjang. "Pria sesempurna kau pasti terlalu sibuk untuk sosial media." Dan di momen itu, untuk pertama kalinya, Zhang Yichen benar-benar menatap Mei Lin lama. Ada sesuatu di matanya, bukan hanya kebekuan, tetapi juga rasa ingin tahu yang samar. "Kau benar-benar berbeda,” kata Zhang Yichen, pelan. "Maksudmu?" "Aku tidak tahu … tapi aku rasa … hidupku akan sedikit lebih berisik mulai sekarang." Mei Lin menatap pria itu bingung. "Eh? Berisik? Ini belum mulai aja udah dibilang berisik?!" Sayangnya Zhang Yichen sudah berjalan pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah tenang dan wajah dingin. Mei Lin hanya bisa berdiri di sana, menatap punggung pria itu dengan campuran kagum dan frustasi. "Dia tampan, kaya, tapi nyebelin banget," gumamnya pelan. "Ya Tuhan, jangan bilang aku benar-benar bakal nikah sama dia …." Sementara itu, di luar ruangan, Zhang Yichen berhenti sejenak dan menatap ke arah langit biru di luar jendela. Untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, senyum tipis itu muncul lagi di bibirnya.Minggu pagi di kota Haicheng terpantau cerah. Untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh jadwal kantor dan rapat gila-gilaan, Mei Lin akhirnya bisa tidur tanpa alarm.Namun ternyata ... Ting! Ting!Suara notifikasi.Tangannya meraba mencari keberadaan ponselnya. Matanya setengah terbuka saat melihat satu nama yang tertera. "Ibu? Ada apa, sih?" gerutunya. "Hari ini makan siang di rumah keluarga Zhang. Ingat ya, ditunggu!" Isi pesannya. Mei Lin menggeliat sambil menguap dengan kedua mata yang ia coba buka 100%."Oh, tidak! Liburanku berubah jadi pertemuan politik."Mei Lin bergegas bangun dan memberitahu Zhang Yichen agar turut bersiap. ---Beberapa jam kemudian, mobil hitam Zhang Yichen berhenti di depan rumah utama keluarga Zhang. Nampak pula mobil milik ibu Mei Lin. Mei Lin yang mengenakan dress pastel sederhana tampak anggun, tetapi wajahnya jelas tegang."Kenapa kau kelihatan seperti mau ikut ujian nasional?" tanya Zhang Yichen dengan dahi berkerut. "Karena orang tuaku dan
Pagi itu Mei Lin dan Zhang Yichen berangkat ke kantor bersama. Agar karyawan tidak curiga, Mei Lin memilih turun di tikungan jalan. "Kau yakin?" tanya Zhang Yichen. Mei Lin menatap suaminya. "Sejujurnya, sih, malas. Aku udah cantik, udah rapi, dan wangi harus kembali berkeringat karena jalan kaki!""Kalau begitu tidak usah turun. Kita lan--""Eh, tidak, tidak!" Mei Lin mengibaskan tangan cepat. "Aku turun saja! Aku tidak mau ada rumor aneh di kantor!"Mei Lin bersiap membuka pintu. Sebelum turun, ia memastikan jika tidak ada karyawan Zhang Grup di sekitar. "Oke, aman!" cicitnya yakin. Mei Lin turun, mobil Zhang Yichen pun melanjutkan perjalanan. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang, pasrah.Sepuluh menit. Mei Lin sudah tiba di lobi dan bergegas menuju lantai 31.Keluar dari lift, Mei Lin disuguhkan dengan aktivitas seperti biasanya. Ada yang baru datang, ada yang membersihkan meja kerja, dan suara printer yang seolah-olah memberi ketukan semangat. "Selamat pagi dunia! Pasti
Langit Haicheng mulai gelap. Lampu-lampu kota memantul di jendela besar rumah Zhang Yichen. Suara mesin mobil berhenti di garasi, dan beberapa detik kemudian ... "Aku pulang!"Teriakan ceria itu menggema sebelum pintu rumah benar-benar terbuka. Mei Lin muncul dengan rambut sedikit acak, membawa dua tas belanja di tangan, wajah penuh semangat yang sangat tidak cocok dengan ekspresi suaminya yang baru pulang kerja.Zhang Yichen berdiri di bibir pintu, jas masih rapi, dasi belum sempat dilepas. Pria itu sempat berpikir jika Mei Lin meminta izin pulang lebih awal dan minta diantar sopir untuk pulang ke asrama. Nyatanya ... "Kenapa kau tampak seperti baru menaklukkan dunia?""Karena aku beli bahan masakan untuk makan malam!"Mei Lin tersenyum lebar. Bahkan gigi putihnya yang berjejer rapi mampu menyilaukan mata. "Kau … masak?""Tentu saja!""Apakah aku harus memanggil ambulans dulu?""Zhang Yichen! Aku ini bukan ancaman nasional, tahu!"---Dapur rumah kini penuh aroma yang ... sulit d
Pagi di lantai 31 terasa lebih sibuk dari biasanya. Karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, semua fokus. Kecuali satu orang yang masih berjuang hidup dengan printer."Astaga, kenapa ini kertasnya nyangkut terus?! Aku cuma mau cetak jadwal meeting, bukan bikin drama!"Mei Lin berjongkok di depan mesin printer seperti sedang menghadapi monster kuno.Sementara di ruangan kaca besar tak jauh dari situ, Zhang Yichen memperhatikan diam-diam dari balik kaca bening kantornya.Ekspresinya tetap datar, tetapi dagunya sedikit bertumpu di tangan.Chen, berdiri di sampingnya dengan raut muka antara kasihan dan bingung."Tuan Zhang … apa saya perlu bantu Nona Mei?""Tidak perlu. Biarkan dia beradaptasi.""Tapi dia sudah … menatap printer itu selama sepuluh menit.""Artinya dia berusaha.""Atau hampir menyerah," gumam Chen pelan.Tak lama, printer berbunyi klik!Dan ... BLAM!Tumpukan kertas menyembur keluar, berserakan ke lantai seperti hujan salju putih."YA AMPUN! AKU MENANG! Tapi … kenapa
Hari Rabu pagi di Zhang Group. Kantor masih sibuk seperti biasa. Karyawan berlarian dengan berkas, printer meraung, dan Mei Lin ... masih kebingungan karena panggilan mendadak ke lantai 31. "Tuan Zhang ingin kau ke ruangannya sekarang," kata asisten Han Wei. "Hah? Aku'kan di marketing? Aku bahkan belum selesai input data!" "Perintah langsung." "Dia nggak bilang aku bikin kesalahan, kan?" "Tidak, tapi nada suaranya ... serius." "Oh Tuhan, aku mau dipecat tiga hari setelah magang." --- Sesampainya di lantai 31, lantai paling dingin dan mencekam di seluruh gedung. Mei Lin melangkah dengan hati-hati. Ruang kerja Zhang Yichen luas, bersih, dan terlalu sunyi. Pria itu duduk di balik meja besar dengan setelan hitam sempurna, wajah fokus pada layar laptop. "Tuan Zhang?" panggil Mei Lin pelan. "Masuk!" "Aku … dipanggil?" "Duduk!" Mei Lin duduk perlahan, menatap pria itu dengan gugup. Setiap detik terasa seperti wawancara masuk neraka. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya
Hari kedua magang.Divisi marketing, lantai 30.Mei Lin sudah duduk manis dan bersiap menunggu arahan. Ia bersumpah, tidak ada hal yang lebih menegangkan dari bekerja di perusahaan suaminya sendiri, kecuali harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan 300 karyawan lain."Oke, Mei Lin. Kau cuma karyawan magang. Kau bukan istrinya. Jangan manggil dia 'Sayang'. Jangan manggil dia 'Suami'. Jangan tatap terlalu lama. Jangan ...,”"Nona Mei?""YA?! Eh, maksudku, ya, Pak!"Pria yang berdiri di hadapannya bukan Zhang Yichen, melainkan Han Wei --manajer muda divisi marketing, 27 tahun, berwajah ramah dan senyum menular."Kau tegang banget, ya. Santai aja, ini cuma kerja, bukan audisi Miss Universe," katanya sambil tertawa kecil.Mei Lin menatapnya, masih kikuk. "Maaf, aku cuma ... ehm ... grogi. Ini pertama kalinya aku magang di perusahaan besar.""Kalau begitu, anggap saja ini latihan. Aku pembimbing magangmu mulai hari ini.""Kau yang akan membimbingku?""Ya, kenapa?""Nggak, nggak apa-ap







