“Tapi ini rahasia, Emma. Kalau kau sampai membocorkan cerita ini sebelum waktunya, nasibku di sini akan tamat secara tragis.” Suara Laura amat lirih, memastikan hanya sosok di seberang sana yang bisa mendengarnya, sang Sahabat yang sudah berkawan dengannya sejak belasan tahun silam.
“Kau sedang mengerjaiku ‘kan, Laura? Karena tidak mungkin kau menikah diam-diam dengan seorang aktor, apalagi Rink Harrington.”
Laura terkekeh. “Tunggu saja! Nanti beritanya pasti keluar, kalau semua persiapannya sudah selesai. Saat itu kau akan tahu apakah aku mengerjaimu atau tidak.”
Pembicaraan lewat telepon itu berakhir dengan ekspresi puas di wajah Laura. Bukan puas karena inti cerita yang ia bagikan kepada sahabatnya, melainkan puas karena ia sudah berbagi rahasia dengan salah satu orang terpenting dalam hidupnya.
Laura adalah anak kedua dari keluarga Winslet. Ayahnya adalah petani yang ulet, sementara ibunya adalah sosok wanita yang memiliki sudut pandang terbuka. Keduanya sering berbeda pendapat mengenai masa depan Laura dan anak pertama mereka, Jason.
Saat Laura memutuskan untuk berkarier di ibu kota, ayah dan ibunya bersitegang selama seminggu dan berakhir dengan Ibu Laura yang mengantarkan putrinya ke stasiun kereta seorang diri. Ayah Laura masih belum bisa melepaskan anak bungsunya merantau ke kota asing, sulit untuk percaya bahwa kuas-kuas make-up bisa menjadikan nasib seseorang terjamin.
Karena berada di tengah keluarga yang sering beradu argumentasi itulah alasan Laura lebih memilih Emma untuk dijadikan tempat bercerita. Ia belum siap memberitahu orang tuanya tentang pernikahannya dengan Rink. Apalagi pernikahan itu hanya bersifat sementara.
Laura baru saja meletakkan ponsel, ketika sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal masuk ke aplikasi perpesanan. Dengan kening berkerut, ia membacanya.
[Laura, bersiaplah. Jam 3 sore akan ada pemotretan. Simpanlah nomorku. William]
Laura mematung. ‘Pemotretan? Aku?’
Ia butuh waktu beberapa menit untuk mencerna pesan William, sampai kemudian matanya menangkap jam dinding sudah menunjukkan pukul 14.10. Dengan tergesa-gesa, ia membuka koper makeup-nya dan mulai berpikir akan mengaplikasikan riasan apa untuk wajahnya sendiri.
Apartemennya dalam kondisi sepi. Ia sempat melihat Rink keluar dengan mengenakan setelan kasual dan jaket denim beberapa jam lalu, sebelum makan siang.
Merasa ada sedikit kebebasan dan karena ruangannya terlalu sunyi, Laura pun memutar musik dari playlist-nya.
Ia baru saja memasang salah satu bulu mata, ketika terdengar suara pintu dibuka dari luar. Rink bersama William muncul dan kompak berhenti di seberang Laura, memperhatikan wanita yang hampir merampungkan riasannya.
“Well, untungnya kau seorang MUA, jadi kita bisa menghemat waktu.” Suara William-lah yang pertama kali memecahkan kesunyian.
Laura mempercepat gerakan tangannya, sehingga kurang dari lima menit kemudian ia telah selesai dengan alat-alat makeup-nya. “Beri aku waktu tiga menit untuk ganti outfit,” ujarnya sambil menerima paper bag berukuran besar dari William.
***
Wajah Laura terang-terangan menampakkan antusiasnya selama proses pemotretan. Bahkan sikap sinis dari makeup artist utama tidak menghilangkan senyum ceria di wajahnya. Ia dengan lincah mengikuti setiap instruksi dari fotografer.
Berbanding terbalik dari Laura, Rink justru tampak agak tertekan. Pria itu bahkan sampai menahan napas, saat tangan Laura mendarat di pipinya. Baginya, pemotretan kali ini benar-benar sesi paling merepotkan.
Rink, walaupun citranya dikenal sebagai pribadi yang ramah dan humoris, tapi para staf dan kru tahu bahwa ia sangat menghindari kontak fisik dengan makhluk berjenis perempuan. Tak sembarangan orang bisa menyentuhnya, kecuali periasnya sendiri. Ia tidak suka berpegangan tangan, apalagi berpelukan. Ia hanya akan berjabat tangan di acara-acara resmi saja.
Itulah kenapa sesi pemotretan bersama Laura, membuatnya cukup kesulitan. Setiap kali fotografer meminta mereka berdekatan, setiap kali itu pula Rink berjengit menghindar sehingga membuat para staf menghela napas. Namun, Laura yang berusaha keras profesional selalu bisa menghilangkan jarak di antara mereka. Dan itu membuat Rink kesal setengah mati.
“Aku mau langsung pulang,” kata Rink, begitu pemotretan berakhir.
William yang sangat memahami karakter Rink, hanya mengangguk dan menelepon sopir supaya segera menyiapkan mobil. “Istirahatlah, kalian berdua.” ucap William saat mengantar Rink dan Laura ke lift.
Ketika akhirnya mereka berdua berada di dalam mobil, Laura dan Rink langsung sibuk dengan ponsel masing-masing. Jika Rink membuka folder musik yang sedang ia tulis, maka Laura langsung menelepon Emma untuk meluapkan suka citanya.
“Coba tebak, Emma, apa yang baru saja kulakukan! … bukan, itu masih belum benar seratus persen. Aku bukan cuma dapat job pertama, tapi … aku baru saja melakukan pemotretan luar biasa dengan─”
Laura tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena Rink sudah lebih dulu merenggut ponsel di tangannya dan mengakhiri panggilan.
“Hei! Apa sih yang kau lakukan? Kembalikan ponselku!” Laura yang matanya hanya tertuju pada ponsel di genggaman Rink, tak memerhatikan ekspresi si Bintang. Ia marah karena menurutnya Rink sudah bersikap sangat kasar. “Kembalikan ponselku!” ulang Laura dengan nada suara lebih tinggi.
Akan tetapi, alih-alih mengembalikan ponsel ke tangan Laura, Rink malah melemparkannya asal-asalan ke kursi lain.
“Kau kenapa, sih?” Laura menampakkan kekesalannya sembari menjangkau ponsel di kursi dekat Rink.
“Berisik!” hardik Rink dengan rahang mengeras.
“Sorry?”
“Jangan bertingkah seperti ini nyata! Jangan terlalu nyaman!”
Tubuh Laura seketika membeku. “Apa maksudmu?”
Rink memberi tatapan menusuk tepat ke bola mata Laura. “Kau terlalu larut dalam skenario. Jangan lupa, ini semua hanya kesepakatan! Kau cuma bagian dari damage control timku.”
Laura membalas tatapan Rink dengan pikiran kosong. Hanya matanya yang memberikan reaksi atas kata-kata pedas yang baru saja didengarnya. Matanya mulai basah, bukan karena sedih tapi kesal.
“Dan kau pikir aku lupa? Aku cuma senang, karena hidupku akhirnya terasa … penuh sesuatu. Tapi kau selalu saja─”
“Jangan bawa perasaan ke panggung. Itu yang membahayakan,” dengus Rink tanpa belas kasih sedikit pun.
Dagu Laura sontak terangkat. “Kalau kau takut aku jatuh cinta, tenang saja. Aku tahu tempatku. Tapi kau juga seharusnya tahu bagaimana memperlakukan orang.”
Dahi Rink berkerut. Lalu ia mendekatkan wajahnya dan bicara dengan penuh penekanan. “Aku memperlakukanmu sebagaimana kau seharusnya; seorang aktris figuran, kontrak enam bulan. Tidak lebih!”
Laura memalingkan wajah, menahan tangis yang mendesak naik. “Kalau kau benar-benar ingin orang percaya kalau kau menikah karena cinta, setidaknya perlakukan aku dengan respek.”
Rink terdiam. Tak ada lagi yang bicara di dalam mobil yang melesat kembali ke apartemen. Seolah-olah kabut tebal di antara mereka, tidak akan bisa ditembus oleh kata-kata.
***
Di lantai ruang tamu, Laura berlutut untuk mengecek isi koper kecilnya; peralatan makeup, charger ponsel, dan sebotol parfum berwarna dusty pink yang tadi pagi baru ia terima dari Velmora Bloom.Lalu ia meraih sebuah hoodie putih yang ukurannya cukup besar. Matanya melirik nakal ke arah sofa, di mana pria dengan wajah rupawan terlihat sedang menenggelamkan diri ke dalam dokumen yang berisikan tulisan-tulisan skrip. Diam-diam Laura memasukkan hoodie tersebut ke dalam koper.Sementara itu, Rink tampak tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Wajahnya yang tenang menunduk memandangi skripnya. Entah benar-benar membaca atau tidak, sebab sejak setengah jam yang lalu ia terus menatap halaman yang sama.Rink baru memalingkan mata dari bundelan di tangannya, ketika Laura berseru, “Ok, semuanya sudah masuk. Tidak ada yang terlupa.” Kata-kata itu sebanrnya lebih Laura tujukan untuk dirinya sendiri.Akan tetapi, Rink tergelitik untuk bersuara juga. “Jadi, kau benar-benar pergi?” celetu
Kabar itu datang saat senja hampir pudar, empat hari setelah malam gala Velmora diadakan. Laura baru saja duduk santai setelah seharian bekerja di lokasi syuting Rink.Sebagai perias pribadi suaminya, ia harus siap sedia ketika perias utama berhalangan atau terlambat hadir.Laura menikmati secangkir teh hangat di depan televisi, dengan buku catatan di pangkuannya. Ia sedang menggali ide untuk konten media sosialnya.Sementara Rink langsung memacu ototnya di ruang gym.Lalu datanglah pesan itu di ponsel Laura. Dari nomor tak dikenal. Laura membacanya dengan saksama.[Halo, ini Grace dari Velmora Bloom. Kami tertarik bekerja sama dengan Anda untuk kampanye parfum terbaru kami. Bolehkah kami menelepon untuk menjelaskan detailnya?]Dahi Laura sedikit mengerut. ‘Velmora? Bukankah itu perusahaan induk dari brand perhiasan yang menjadikan Rink sebagai brand ambassador utama mereka?’Karena penasaran, Laura tak membuang waktu untuk segera membalas pesan tersebut dan mengizinkan si pengirim un
Napas Laura seakan-akan telah berhenti sejak detik pertama kakinya menginjak red carpet. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan akan berjalan menuju grand ballroom dalam perhelatan suatu acara yang prestisius dan di bawah sinar flash kamera yang terarah padanya.Di antara hiruk pikuk tamu VIP dan awak media, Laura berdiri dengan napas yang berat. Ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak celingukan dan tertawa girang setiap melihat wajah-wajah bintang papan atas yang juga menjadi tamu undangan di sana.“Giliranmu, Laura,” bisik pria yang dikenalkan William sebagai asistennya. “Berposelah di sana! Tiga menit saja.”Sesuai arahan, Laura melangkah ke sudut photowall bertuliskan “Velmora Gala Night 2025”, berdiri dengan pose yang sempat diajarkan oleh Rink, dan tersenyum dengan cara yang sudah ditentukan sejak awal. Ia harus mati-matian menahan serangan para fotografer yang kembali menghujaninya dengan kilatan kamera.Ia baru bernapas lega, ketika asisten William memberikan anggukan sama
Laura tak tahu apakah tubuh kekar William yang seketika membuat apartemen Rink sempit, ataukah karena manajer satu itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan perbuatannya, tapi yang pasti Laura selalu merasa sesak setiap kali William muncul.Baginya, William tak ada bedanya dengan gadis yang hendak menyongsong masa datang bulan; emosi dan sikapnya tidak bisa ditebak, tapi seringnya memandang Laura seolah-olah wanita 28 tahun itu adalah kecoa yang sangat mengganggu.Seperti sekarang, Laura berusaha untuk tetap fokus di bawah tatapan penuh tuntutan William. Sementara Rink duduk bersilang kaki, tampak tenang sekaligus serius seperti biasanya.“Acaranya dimulai jam tujuh. Seperti yang sudah tertulis di berkas yang kuanggap sudah kau pelajari, Velmora Jewels adalah sponsor utama Rink yang sudah berinvestasi sejak dia memulai kariernya di dunia entertainment. Jadi, no room for mistakes, mengerti?” Meski terasa menyebalkan diperlakukan seperti orang bodoh, Laura tetap mengangguk patuh. Kala
Setelah bendera putih berkibar di antara Laura dan Rink, suasana apartemen 2025 menjadi lebih hidup dengan adanya suara televisi. Laura sudah berani menyalakannya, meskipun dengan volume yang hanya bisa didengar olehnya saja.Sejak foto mereka dirilis tadi pagi, Laura terus menyimak program TV yang menayangkan gosip-gosip seputar selebriti. Berpindah dari satu channel ke channel lain, hanya untuk memastikan bahwa tak ada sesuatu hal yang tengah memojokkan Rink.Laura menduga Nexus Entertainment ikut campur tangan untuk menetralisir komentar miring yang ramai membanjiri unggahan di akun resmi Rink Harrington.Di Televisi, Rink digambarkan sebagai pria manis yang penuh kejutan. Tak satu pun dari program gosip itu yang membahas tentang kontrasnya ekspresi Laura dan Rink.Laura sedang mendengarkan pembawa acara gosip yang membahas tentang teka-teki kisah asmara Rink, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.Dan ia membeku begitu membaca nama si Penelepon.Ibu Laura memang belum sempat meng
Malam itu, Laura dan Rink makan malam di waktu dan tempat yang berbeda. Rink duduk di meja makan di bawah lampu yang hangat, sementara Laura menyantap pastanya di balkon sambil menatap langit gelap serta mendengarkan suara jauh klakson kota.Untuk pertama kalinya sejak menandatangani kontrak pernikahan, Laura merasa bahwa hidupnya kini akan berada seperti di penjara. Ia berulang kali mengingat isi perjanjian. Dan semakin mengingatnya, dadanya semakin terasa sesak.Sikap saling diam itu berlangsung selama dua hari. Selama dua hari itu pula Laura dan Rink seolah-olah saling menghindari berada di satu ruangan yang sama.Dengan kesibukannya sebagai seorang bintang yang sedang berada di puncak masa kejayaan, Rink terkesan sama sekali tidak terganggu dengan situasi dingin di antara mereka. Ia dengan mudah menyibukkan diri di dalam kamar kerjanya.Sementara itu, Laura yang diseret ke dunia yang sama sekali baru baginya, cukup kesulitan hanya untuk melalui satu hari di apartemen Rink. Ia taku