“Aku menyukaimu,” bisik lembut Cristhian, membuat Evelin tersentak dan langsung mendorong dada bidang lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyiratkan ketidakpercayaan, bahwa sosok di depannya juga merasakan hal yang sama.
“Aku tahu ini terdengar gila. Aku tahu jika aku sudah kurang ajar, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku akan bertanggung jawab menikahimu dan membesarkan anak kita,” jelas Cristhian menyentuh perut Evelin.
Tubuh indah gadis itu bergetar hebat, mendengar pengakuan yang takkan pernah terkira olehnya. Tanpa saling mengenal, tanpa mengetahui nama, lelaki di depan mata mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.
Evelin berteriak sejadi-jadinya. Kebimbangan justru muncul memburu isak tangisnya. Tanpa kata yang jelas, gadis itu memukul berulang dada bidang Cristhian, sehingga sang lelaki tersentak kaget. Ia tak tahu apa-apa, hanya melontarkan keinginan, namun dibalas jawaban tak kentara oleh pujaan satu malam.
Karena panik dan cemas akan ulah sedih Evelin, laki-laki itu langsung memeluknya. Walau ia memberontak kasar, tapi hanya itu pilihan Cristhian agar pujaannya tenang.
Raungan demi raungan mengalir di bibir sang gadis muda tanpa sebab yang jelas olehnya. Perlahan, rasa bersalah menyelimuti karena sudah mengambil mahkota suci yang berharga.
Demi menutupi mulut gadis yang berteriak tak jelas, Cristhian terpaksa memakai bibirnya untuk menyumbat pekikannya. Tapi Evelin masih memukul dadanya, sampai dirinya menarik seat belt dan mengikat tangan perempuan itu ke belakang.
“Sakit,” gumamnya.
Evelin seakan kerasukan, entah seperti apa hatinya sekarang, Crishtian benar-benar tak paham. Sikapnya justru membuat sang pemuda menyesal. Tak peduli ocehan yang keluar dari bibir Cristhian, gadis itu tetap pada posisinya. Mungkin dia terlalu hancur, karena harus memilih antara perasaan dan pekerjaan.
Cinta memang gila, tanpa aba-aba merasuk menerjang mereka yang ternoda. Sampai akhirnya laju mobil membawa mereka ke sebuah vila di tepi pantai. Cristhian tak peduli, tetap menarik Evelin ikut masuk ke kediaman tanpa siapa pun di dalamnya.
Sang gadis masih terisak pelan, perasaannya sudah terlanjur rusak akibat bayangan darah akan mengalir di tangan. Suara lembut sang pemuda lolos di telinga, sampai akhirnya ia menggendong Evelin karena masih tak mendapatkan jawaban.
Menerobos masuk ke salah satu kamar tanpa pintu di lantai dua. Pemandangan pinggiran kota yang berlawanan dengan pantai terlihat jelas di sana. Pesonanya benar-benar luar biasa, karena dua dinding hanya berisikan kaca transparan agar mata bebas menikmati alam.
Sekarang Cristhian bersimpuh tepat di hadapan Evelin yang duduk di tepi ranjang. Hatinya gundah, karena sang gadis cuma menangis dan memukul dada bidangnya saja. Perlahan geram dan sesak menendangnya, berbisik melakukan sesuatu agar mendapat balasan.
“Apa yang harus kulakukan agar kamu bicara? Jika memukulku bisa membuatmu lebih baik, maka lakukan!” tukas Cristhian menarik tangan Evelin dan memaksa untuk memukul dan menampar dirinya.
Spontan Evelin langsung menarik tangan, membuat punggung genggamannya itu menutup mulutnya. Basah di pipi menambah kekesalan di dada Cristhian, umpatan demi umpatan mengalir pelan di batin, memaksa lelaki itu untuk sadar kalau ia benar-benar sudah keterlaluan.
“Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kalau aku sudah salah. Aku akan bertanggung jawab. Karena itu, kumohon jangan menangis lagi,” bujuk lelaki yang usianya baru 23 tahun.
Ia juga terbilang masih muda, walau pernah tidur dengan beberapa wanita, pengalamannya dalam menaklukkan tangisan kaum hawa masih terbilang amatir.
“Jangan menangis lagi,” Cristhian memaksa menghapus air mata Evelin, sampai akhirnya perlakuan lembut itu meluluhkan sang gadis untuk menjadi lebih tenang. Beberapa saat kemudian, pemilik vila tersebut memilih memasak di dapur. Setelahnya, barulah ia kembali ke kamar di mana gadisnya berada.
Tampak sosok cantik itu memakai bathrobe karena baru siap mandi. Dirinya terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya, mengundang Cristhian agar melebarkan senyum di wajah.
“Ayo makan,” ajaknya menaruh dua piring nasi goreng di meja. Dua gelas jus jeruk juga bertengger di sana. Pemandangan itu dilirik tenang Evelin, dan beralih pada sang pemuda yang sudah duduk di sofa. "Nona?” panggilnya.
Tanpa mengangguk Evelin mendekat. Menyendok pelan nasi goreng yang tak diiringi basa-basi. Tatapan Cristhian tak diacuhkan, karena ia memang lapar. Rambut basah Evelin disentuh lembut, ditarik ke belakang agar tak mengganggu makannya.
Perempuan itu duduk tegak, menoleh dan bersuara. “Kakak tidak makan?”
Langsung saja Crishtian tersenyum. Sudut hatinya bahagia, menatap gadis itu berbicara normal tanpa tangisan lagi. “Ya, aku juga akan makan,” lirihnya mengelus pelan kepala Evelin dan menggeser rambut yang kembali jatuh ke belakang telinga. "Siapa namamu?”
“Evelin Gosca. Kakak?”
“Cristhian Ronald,” jawabnya. Evelin hanya mengangguk-angguk pelan, padahal ia sudah tahu nama orang itu sebelumnya. “Benar juga, panggil saja aku Cris.”
“Memangnya usia Cris berapa?”
“23 tahun.”
Evelin melempar tatapan malas. “Sudah benar aku memanggilmu kakak.”
“Baiklah, terserah kamu saja.” Ia tertawa pelan.
Selesai itu, Cristhian membersihkan peralatan makan mereka. Pandangan Evelin menyapu setiap sudut ruangan, sambil sesekali dilirik sang pemuda yang tak disadarinya.
Cristhian berlalu ke kamar, mengambil pakaian di lemari. Cukup lama ia berdiri di sana, memilih sambil mencocokkan dengan bayangan tubuh Evelin.
Seketika wajah dan telinga memerah mirip tomat, menatap kemeja putih besar yang akan tampak seksi jika dikenakan sang gadis muda. “Dasar! Apa yang kau bayangkan Cris!” umpat pelannya sambil memukul-mukul pipi dengan kedua tangan.
“Kakak?”
“Ah! Iya? Ada apa?” Cristhian tampak panik.
Evelin menatap lekatnya, “wajah Kakak merah.”
“I-itu karena aku belum mandi.”
Evelin mengedarkan pandangan aneh, “apa Kakak punya baju yang bisa kupinjam? Bagaimanapun, pakaianku sudah rusak.”
“I-iya ada. Ini!” Cristhian mengambil sembarangan dan menyodorkannya.
Evelin tersenyum. “Terima kasih, Kak.” Ia segera pergi ke kamar mandi.
Cristhian menghela napas kasar setelah memandangi punggung gadis itu. Mengacak-acak rambut, di mana otaknya kembali terangsang untuk melakukan hal bejat. “Sadar bodoh! Sadar!” teriaknya pada senjata yang mulai memanas.
Cristhian memilih ke kamar mandi sebelah, untuk mandi dan mendinginkan anggota tubuh dari aura akan terbakar jika tidak disiram.
Evelin terdiam cukup lama. Melirik bekas kemesraan yang ditempel Cristhian di kulit. “Aku harus melakukannya.” Tangan terkepal dengan keyakinan di dada, dirinya lalu memakai kaos kebesaran sang pemuda, hanya itu. Ia tak punya pilihan, karena dress ketatnya robek.
Di bawah, Evelin menuju dapur dan mengambil pisau untuk bersiap melancarkan aksinya. Ini saat yang tepat juga sempurna, terlebih hanya ada mereka berdua. Tanpa ragu dirinya masuk ke kamar di mana Cristhian berada. Sosok lelaki itu tak tampak di mata, membuatnya melangkah ke kamar mandi.
“Evelin?” Cristhian kaget karena masuknya yang tiba-tiba. Untung saja ia sudah memakai bathrobe. Akan tetapi, pisau di tangan Evelin mengganggu pandangan. Namun tanpa terasa air mata menetes jatuh dari wajah sang gadis. “Apa yang—”
“Maafkan aku.” Dua detik kemudian, gadis itu berlari ke arahnya
“Evelin!” pekik Cristhian saat sadar pisau dihunuskan ke arah dada. “Apa yang kamu lakukan?!” ia berhasil menghindar.Pisau kembali diayunkan ke wajah Cristhian, seketika laki-laki itu menangkap lengannya. Tapi terlambat, sang gadis memutar tubuh dan menariknya dari belakang sehingga ia jatuh tepat di hadapannya. Tanpa jeda Evelin menghunuskan pisau ke arah kepala sang pemuda.“Ev—”TRANG!Suara pisau membentur lantai dan patah. Cristhian berhasil menghindari serangan yang hampir melubangi wajah. Napas tersengal, tapi bukan berarti dirinya akan pasrah begitu saja. Dengan keadaan Evelin masih berdiri, ia langsung memakai tangannya, menghantam kaki gadis itu sehingga badannya jatuh terjerembab.“Uugh,” erangnya. Saat menyadari pisau terlepas dari tangan, ia segera bangkit. Tapi sayang, Cristhian menindih tubuhnya dan menahan bahu Evelin agar tak bisa beranjak.“Apa yang kamu lakukan?!
“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya. Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya. Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian membe
“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”“Bertemu orang tuamu?”“Ya.”Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”“Karena aku akan menikahimu.”Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-lak
Evelin mengedarkan pandangan. Ia jengkel sekaligus senang. Matanya tak lagi basah, tapi otaknya masih normal tak ingin terbuai ucapan Cristhian. “Dasar keras kepala!” umpatnya.“Aku menginginkanmu,” bisik Cristhian. Deru jantung Evelin memburu, seperti diberi bunga menebarkan aroma kebahagiaan.Segera ia tepis bisikan iblis nafsu, tapi Cristhian malah menantangnya. Tangan nakal merambat pelan, lembut dan menggoda. Evelin menahan sentuhan itu agar tak menjajahnya.“Aku ingin tidur,” tegasnya membalikkan tubuh.Cristhian memanyunkan bibir mendapat penolakan yang memutus hasrat. Mereka berdua akhirnya memilih tidur begitu saja.Suara burung berkicau samar terdengar di pinggir jendela. Fajar menampakkan diri, berteriak girang menggantikan malam. Suara desah menyadarkan seseorang, perlahan mengerjap mata penasaran dari mana sumbernya.Evelin tersentak, karena dialah yang bersuara. Tak terasa tangan Cristhian menyusup masuk mengganggunya, mencoba bermain menghabiskan waktu.“Kak Cris! Apa y
Sekarang, mata laki-laki itu seperti termanjakan oleh lekuk tubuh indah di depannya. Walau dibalut pakaian, pandangan masih menerawang. Seakan tembus dan berkhayal kembali akan pesona seksi sang gadis pujaan. Evelin sudah selesai dengan dandanannya. Namun, mata Cristhian masih tak lepas menyapunya, terlebih saat sorotan tersangkut pada dada membusung itu.“Sangat pas dan cantik.”Evelin mengernyitkan dahi. “Pas? Kamu bisa mengatakan itu karena tidak merasakannya! Apa kamu tidak tahu kalau aku ini sedang sesak napas? Lagi pula ini pakaian siapa? Dalamannya sempit begini!” emosi tersembur di mulutnya.“Kamu tidak suka? Padahal itu aku beli dan pilih sendiri.”“Persetan dengan pilihanmu sialan! Aku mau pergi!” Evelin masih kesal. Itu sebuah kewajaran, mengingat bra yang ia pakai cukup sempit. “Apa lihat-lihat?! Kuncinya mana?!” ia menggerakkan gagang pintu kasar.Cristhian hanya tersenyum, sejujurnya ia puas melihatnya. Setelan yang dipakai Evelin luar dalam adalah pakaian baru calon ist
“Tidak. Sama sekali tidak.”Pemuda itu tersenyum. Tatapannya hanya fokus ke wajah Evelin. Sekarang, jarak berdiri mereka kurang dari satu meter. “Evelin, itu namamu?”“Ya.”“Nama yang indah,” puji Daniel.“Terima kasih. Nama Kakak juga sangat indah.”Tiba-tiba Daniel menyemburkan tawa aneh. “Basa-basimu luar biasa sekali. Jadi, kapan kamu akan melakukannya?”Dahi Evelin mengernyit bingung. “Melakukan? Melakukan apa?”“Menggugurkan kandunganmu.”Spontan jantung gadis itu serasa dihujam oleh ucapan sosok di depan mata. Tapi dirinya masih mengontrol ekspresi, karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa keluarga Cristhian Ronald terasa aneh baginya.“Jadi, kenapa aku harus menggugurkan kandunganku?”Daniel mengedarkan pandangan. Berjalan pelan ke arah jendela, membukanya agar udara pagi masuk lembut ke dalam kamar Cristhian.“Karena adikku takkan menikahimu.”“Begitu?”“Dia sudah bertunangan. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Putri dari Menteri Keuangan tentu jauh lebih baik dari gadi
“Cih! Berhentilah bercanda, Kak. Kamu tidak bisa sembarangan mengajakku berpergian di saat kau dan aku jadi buronan.”“Kalau begitu jawab aku. Menurutmu, apakah rekanmu yang lain akan mengejar kita?”“Tentu saja. Kalau pun belum sampai, aku yakin mereka pasti sudah di pesawat sekarang.”“Berarti mereka takkan naik kapal bukan? Baguslah, kita bisa bersembunyi sekalian.”Evelin tak bisa berkata-kata. Memang tak ada kemungkinan jika anggota organisasinya akan muncul di sini. Bisnis mereka lewat pelabuhan di kota yang berbeda. Kuasa di negara ini juga terbatas, karena kuasanya aktif di negara lain.Mengingat tasnya masih ada di kamar mandi club Cristhian, itu berarti organisasinya belum bertindak. Apalagi, mereka biasanya memberi kurun waktu tiga hari untuk menyelesaikan misi. Evelin waspada, pikirannya tetap tak karuan sampai beberapa jam berakhir sia-sia akan jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan.Apakah ini pilihan tepat baginya? Mengikuti Cristhian sang perebut hati. Lalu bagaimana
Dan akhirnya, tepat di jarum jam menunjukkan pukul 01.40, sebuah ledakan dengan suara mengudara keras membangunkan seluruh penghuni istana presiden. Rumah tepi, ikut membubungkan api merah menyala yang bisa dilihat kediaman di luar area.Teriakan panik terdengar jelas. Presiden Jason dan istrinya terbangun waspada. Saat pria itu terburu-buru mengambil senjata di laci nakas sebuah suara mengagetkannya. Sosok di balik pintu, melirihkan kata sambil menyeringai.“Selamat malam.”Suara dua buah tembakan memekakan telinga. Kejadian yang berlangsung cepat membuat para penghuni seperti semut yang ditimpa bencana. Berlari tak tentu arah, beberapa sibuk menghubungi bantuan, entah pihak pemadam, keamanan negara, atau siapa pun yang harus hadir menurut naluri di sana.Teriakan keras tiba-tiba memecah suasana, mulai membuat yang lain panik dengan pemandangan di mata. Presiden Jason dan istrinya, tersungkur berlumuran darah di lantai dan ranjang. Cairan merah kental mengalir di area dada keduanya.