Home / Rumah Tangga / Pesona Wanita Terkutuk / 4. Cinta memang gila

Share

4. Cinta memang gila

Author: Isqa
last update Last Updated: 2023-03-06 23:25:47

“Aku menyukaimu,” bisik lembut Cristhian, membuat Evelin tersentak dan langsung mendorong dada bidang lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyiratkan ketidakpercayaan, bahwa sosok di depannya juga merasakan hal yang sama.

“Aku tahu ini terdengar gila. Aku tahu jika aku sudah kurang ajar, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku akan bertanggung jawab menikahimu dan membesarkan anak kita,” jelas Cristhian menyentuh perut Evelin.

Tubuh indah gadis itu bergetar hebat, mendengar pengakuan yang takkan pernah terkira olehnya. Tanpa saling mengenal, tanpa mengetahui nama, lelaki di depan mata mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. 

Evelin berteriak sejadi-jadinya. Kebimbangan justru muncul memburu isak tangisnya. Tanpa kata yang jelas, gadis itu memukul berulang dada bidang Cristhian, sehingga sang lelaki tersentak kaget. Ia tak tahu apa-apa, hanya melontarkan keinginan, namun dibalas jawaban tak kentara oleh pujaan satu malam.

Karena panik dan cemas akan ulah sedih Evelin, laki-laki itu langsung memeluknya. Walau ia memberontak kasar, tapi hanya itu pilihan Cristhian agar pujaannya tenang.

Raungan demi raungan mengalir di bibir sang gadis muda tanpa sebab yang jelas olehnya. Perlahan, rasa bersalah menyelimuti karena sudah mengambil mahkota suci yang berharga.

Demi menutupi mulut gadis yang berteriak tak jelas, Cristhian terpaksa memakai bibirnya untuk menyumbat pekikannya. Tapi Evelin masih memukul dadanya, sampai dirinya menarik seat belt dan mengikat tangan perempuan itu ke belakang.

“Sakit,” gumamnya.

Evelin seakan kerasukan, entah seperti apa hatinya sekarang, Crishtian benar-benar tak paham. Sikapnya justru membuat sang pemuda menyesal. Tak peduli ocehan yang keluar dari bibir Cristhian, gadis itu tetap pada posisinya. Mungkin dia terlalu hancur, karena harus memilih antara perasaan dan pekerjaan.

Cinta memang gila, tanpa aba-aba merasuk menerjang mereka yang ternoda. Sampai akhirnya laju mobil membawa mereka ke sebuah vila di tepi pantai. Cristhian tak peduli, tetap menarik Evelin ikut masuk ke kediaman tanpa siapa pun di dalamnya.

Sang gadis masih terisak pelan, perasaannya sudah terlanjur rusak akibat bayangan darah akan mengalir di tangan. Suara lembut sang pemuda lolos di telinga, sampai akhirnya ia menggendong Evelin karena masih tak mendapatkan jawaban.

Menerobos masuk ke salah satu kamar tanpa pintu di lantai dua. Pemandangan pinggiran kota yang berlawanan dengan pantai terlihat jelas di sana. Pesonanya benar-benar luar biasa, karena dua dinding hanya berisikan kaca transparan agar mata bebas menikmati alam.

Sekarang Cristhian bersimpuh tepat di hadapan Evelin yang duduk di tepi ranjang. Hatinya gundah, karena sang gadis cuma menangis dan memukul dada bidangnya saja. Perlahan geram dan sesak menendangnya, berbisik melakukan sesuatu agar mendapat balasan.

“Apa yang harus kulakukan agar kamu bicara? Jika memukulku bisa membuatmu lebih baik, maka lakukan!” tukas Cristhian menarik tangan Evelin dan memaksa untuk memukul dan menampar dirinya.

Spontan Evelin langsung menarik tangan, membuat punggung genggamannya itu menutup mulutnya. Basah di pipi menambah kekesalan di dada Cristhian, umpatan demi umpatan mengalir pelan di batin, memaksa lelaki itu untuk sadar kalau ia benar-benar sudah keterlaluan.

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kalau aku sudah salah. Aku akan bertanggung jawab. Karena itu, kumohon jangan menangis lagi,” bujuk lelaki yang usianya baru 23 tahun.

Ia juga terbilang masih muda, walau pernah tidur dengan beberapa wanita, pengalamannya dalam menaklukkan tangisan kaum hawa masih terbilang amatir.

“Jangan menangis lagi,” Cristhian memaksa menghapus air mata Evelin, sampai akhirnya perlakuan lembut itu meluluhkan sang gadis untuk menjadi lebih tenang. Beberapa saat kemudian, pemilik vila tersebut memilih memasak di dapur. Setelahnya, barulah ia kembali ke kamar di mana gadisnya berada.

Tampak sosok cantik itu memakai bathrobe karena baru siap mandi. Dirinya terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya, mengundang Cristhian agar melebarkan senyum di wajah.

“Ayo makan,” ajaknya menaruh dua piring nasi goreng di meja. Dua gelas jus jeruk juga bertengger di sana. Pemandangan itu dilirik tenang Evelin, dan beralih pada sang pemuda yang sudah duduk di sofa. "Nona?” panggilnya.

Tanpa mengangguk Evelin mendekat. Menyendok pelan nasi goreng yang tak diiringi basa-basi. Tatapan Cristhian tak diacuhkan, karena ia memang lapar. Rambut basah Evelin disentuh lembut, ditarik ke belakang agar tak mengganggu makannya.

Perempuan itu duduk tegak, menoleh dan bersuara. “Kakak tidak makan?”

Langsung saja Crishtian tersenyum. Sudut hatinya bahagia, menatap gadis itu berbicara normal tanpa tangisan lagi. “Ya, aku juga akan makan,” lirihnya mengelus pelan kepala Evelin dan menggeser rambut yang kembali jatuh ke belakang telinga. "Siapa namamu?”

“Evelin Gosca. Kakak?”

“Cristhian Ronald,” jawabnya. Evelin hanya mengangguk-angguk pelan, padahal ia sudah tahu nama orang itu sebelumnya. “Benar juga, panggil saja aku Cris.”

“Memangnya usia Cris berapa?”

“23 tahun.”

Evelin melempar tatapan malas. “Sudah benar aku memanggilmu kakak.”

“Baiklah, terserah kamu saja.” Ia tertawa pelan. 

Selesai itu, Cristhian membersihkan peralatan makan mereka. Pandangan Evelin menyapu setiap sudut ruangan, sambil sesekali dilirik sang pemuda yang tak disadarinya.

Cristhian berlalu ke kamar, mengambil pakaian di lemari. Cukup lama ia berdiri di sana, memilih sambil mencocokkan dengan bayangan tubuh Evelin.

Seketika wajah dan telinga memerah mirip tomat, menatap kemeja putih besar yang akan tampak seksi jika dikenakan sang gadis muda. “Dasar! Apa yang kau bayangkan Cris!” umpat pelannya sambil memukul-mukul pipi dengan kedua tangan.

“Kakak?”

“Ah! Iya? Ada apa?” Cristhian tampak panik.

Evelin menatap lekatnya, “wajah Kakak merah.”

“I-itu karena aku belum mandi.”

Evelin mengedarkan pandangan aneh, “apa Kakak punya baju yang bisa kupinjam? Bagaimanapun, pakaianku sudah rusak.”

“I-iya ada. Ini!” Cristhian mengambil sembarangan dan menyodorkannya.

Evelin tersenyum. “Terima kasih, Kak.” Ia segera pergi ke kamar mandi.

Cristhian menghela napas kasar setelah memandangi punggung gadis itu. Mengacak-acak rambut, di mana otaknya kembali terangsang untuk melakukan hal bejat. “Sadar bodoh! Sadar!” teriaknya pada senjata yang mulai memanas.

Cristhian memilih ke kamar mandi sebelah, untuk mandi dan mendinginkan anggota tubuh dari aura akan terbakar jika tidak disiram.

Evelin terdiam cukup lama. Melirik bekas kemesraan yang ditempel Cristhian di kulit. “Aku harus melakukannya.” Tangan terkepal dengan keyakinan di dada, dirinya lalu memakai kaos kebesaran sang pemuda, hanya itu. Ia tak punya pilihan, karena dress ketatnya robek.

Di bawah, Evelin menuju dapur dan mengambil pisau untuk bersiap melancarkan aksinya. Ini saat yang tepat juga sempurna, terlebih hanya ada mereka berdua. Tanpa ragu dirinya masuk ke kamar di mana Cristhian berada. Sosok lelaki itu tak tampak di mata, membuatnya melangkah ke kamar mandi.

“Evelin?” Cristhian kaget karena masuknya yang tiba-tiba. Untung saja ia sudah memakai bathrobe. Akan tetapi, pisau di tangan Evelin mengganggu pandangan. Namun tanpa terasa air mata menetes jatuh dari wajah sang gadis. “Apa yang—”

“Maafkan aku.” Dua detik kemudian, gadis itu berlari ke arahnya

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Wanita Terkutuk   48. Pedang Sova

    “Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o

  • Pesona Wanita Terkutuk   47. Hion & Bharicgos

    Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu. Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang. "Kau Tenebris. Kenapa menyerang?" Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah. Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka. "Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian." Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan. Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas. "Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang." Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya. "Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memaka

  • Pesona Wanita Terkutuk   46. Pertemuan para Ignatius

    Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat. Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal. Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata. Siez Nel Armarkaz. Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya. Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya. "Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan. "Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer." Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana. Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiri

  • Pesona Wanita Terkutuk   45. Tantangan Ratu Virgo

    Pertarungan antara Kaizer atau pun Eran Lybria dengan para pengganggu memang telah selesai. Tapi tidak dengan Fabina, pedang di tangan pun diarahkan pada leher Lucius yang sudah tak lagi menyerangnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Dusk Teriel masih bingung dengan mereka. "Musuh memang sudah tak ada. Tapi kita tak bisa menutup kemungkinan akan Tenebris yang tersisa." Orang-orang di sana pun kembali terhenyak. Dan menatap tak percaya pada sosok yang berbicara. "Ada bukti?" Lucius menyeringai. "Tutup mulutmu, hanya karena matamu sekarang tidak merah lagi bukan berarti kau bisa menipuku. Kau sendiri bukan yang mengatakan akan perperangan itu." Dan tak disangka, sebuah hempasan kasar pun menghantam Fabina. Tubuhnya langsung menghantam tanah akibat ulah perempuan yang menatap murka. "Yang Mulia!" Agrios syok melihatnya. Karena bagaimanapun juga dirinya jelas tak mengira kalau sang ratu akan menyerang kerajaan rekan mereka. "Fabina!" Kaizer pun menghampirinya. "Kau baik-baik saja?!"

  • Pesona Wanita Terkutuk   44. Dua iblis Tenebris

    Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka. Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya. Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah. "Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra. "Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?" Ignatius.Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris. Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya. "Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya. Seolah tak peduli lagi pada

  • Pesona Wanita Terkutuk   43. Tenebris Pengganggu

    Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status