Mendengarnya, mata Cristhian turun ke bawah. Melirik apa pun yang bisa dijangkau pandangan. “Sayang sekali, tapi aku tak ingin melupakannya.” Sekarang ia mengelus lembut mahkota kembar sang gadis.
Gadis itu terkesiap dengan perlakuan tiba-tiba di badan. Gerak tubuhnya spontan sensual di mata, memaksa lutut laki-laki tersebut naik kembali dan bergerak di antara celah paha.
“Hentikan.” Cristhian justru tak mendengarnya. Dada yang membusung di sentuhan malah dipermainkan. “Aku sudah tak sanggup,” tolak Evelin. Tapi raungan desahnya malah semakin membakar suasana.
“Tak masalah. Karena aku masih sanggup dan menginginkannya.”
Laki-laki itu bangkit, duduk dan memaksa sang pujaan untuk melayani. “Jangan, aku mohon!” Evelin mencoba berdiri, tapi sayang semua sudah terlambat. Senjata bertuan meminta pelukannya.
Akan tetapi, mata dingin Cristhian menyelimuti Evelin. Tak ada kalimat kecuali gairah pelan terlontar dari mulutnya. Memaksa apa pun yang ada di tubuh untuk menjajahi sang gadis muda. Atas bawah tanpa pengampunan, istirahat pun tak ia berikan.
Basah yang dirasa tak memuaskan nafsunya, sampai akhirnya Evelin benar-benar terkulai tak berdaya akibat serangan panas dari Cristhian Ronald. Gadis muda itu dibantai habis olehnya, bahkan untuk menggerakkan kepala saja ia tak bisa. Sekarang, sosoknya benar-benar pingsan.
Fajar sudah menyingsing, namun takkan terlihat ke dalam ruangan. Mungkin Evelin takkan tahu, jika club itu ternyata merupakan lahan bisnis calon korbannya. Karenanya, mereka bisa bebas memakainya tanpa gangguan dari pegawai club sekalipun.
Sekarang, Evelin benar-benar sudah sadar dan membuka mata. Sensasi aneh terasa di sana, di tempat yang tak seharusnya dijamah Cristhian. Sensasi nyeri sungguh menghantam kesadaran.
Dirinya mendelik, saat menyadari bagaimana kondisinya dengan sang pemuda. Bahkan di saat ia pingsan, sepertinya Cristhian benar-benar tidak mengasihaninya.
Wajah Evelin pun memerah, mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Sepertinya gadis itu tidak tahu, kalau laki-laki di depannya sudah melakukan hal tak terduga.
Bahkan walau ia tak sadarkan diri, Cristhian tak peduli dan menghukum habis tubuh indahnya dengan cairan benih miliknya.
Mungkin saja gadis itu akan hamil nantinya. Dengan menepis sensasi gila, Evelin menggerakkan tubuhnya. Sesaat ia terdiam, menatap lekat senjata terlarang yang sempat dirasakan.
Walau tersipu, Evelin melangkah terseok-seok ke kamar mandi. Memandang pantulan cermin dirinya. “Dasar gila. Kau sudah gila. Kau benar-benar sudah gila Evelin,” gumamnya kesal.
Dirinya tak menyangka, jika mahkota kembarnya tak lagi seperti biasa akibat ulah pemuda itu. Bahkan, jejak-jejak dari jajahan Cristhian menempel hebat di tubuhnya. Bisa terlihat, dari dada, leher, perut, paha, atau apa pun yang tak bisa di jangkau penglihatan.
“Aku sudah gila,” Evelin menitikkan air mata.
Tanpa sadar dirinya menangis. Tangannya perlahan mengusap kasar pipi untuk menghentikan air mata. Rasa perih di tubuh bawahnya, mulai terlupakan. Ia memandang sendu pakaian robek yang melekat di badan.
Bunyi ketukan pintu kamar mandi, mengagetkan gadis itu. “Nona?” sebuah suara tak asing terdengar olehnya. Dia memperbaiki dandanan di diri dan membukanya.
Tampaklah sesosok laki-laki yang telah menghabiskan malam indah bersama. Menatap panjang pada tubuh putih mulus, namun menyisakan tanda badannya di beberapa tempat.
Lelaki itu menyodorkan jas, untuk menutupi bagian atas pakaian Evelin yang koyak di dada. Diiringi senyum manis olehnya, karena sudah merasakan sensasi menggoda dari raga dan pesona indah sang wanita.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut. Evelin terdiam beberapa detik. Bukan karena kaget, tapi hanya tak menyangka, kalau Cristhian Ronald akan memperlakukan dirinya selembut itu. Mata Evelin berkaca-kaca, membuat sang lelaki panik atas tindakan yang tak disadarinya. “Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?” Cristhian memegang bahu dan lengan gadis itu untuk menenangkan.
“Maafkan aku,” ucap Evelin mengusap kasar uraian tangisannya.
"Jangan, pipimu bisa memerah,” cegat sang pemuda. Ia menggantikan Evelin menghapus air matanya dengan lembut. Lelaki itu tak bicara lagi, sambil menggigit bibir bawahnya dan mata memandang penuh arti pada gadis di depannya.
Evelin tersentak, saat lelaki itu menariknya untuk menapaki jalanan meninggalkan club. Sekilas, terlintas olehnya tentang tas yang ia biarkan tertinggal di kamar mandi berlabel rusak.
Tak peduli pandangan terarah pada keduanya, mereka tetap berlalu menuju mobil yang terparkir. Sebuah hypercar merah menyala, lambang kereta kuda Cristhian Ronald di dunia nyata. Ia membuka pintunya dan membuat Evelin masuk begitu saja.
Mengendarai tanpa sepatah kata, memburamkan kejelasan di antara dua raga yang sempat bermalam mesra.
“Kakak?” panggil Evelin asal, membuat lelaki itu menoleh sekilas. Mulutnya tampak ragu melanjutkan suara, saat melihat sorot mata tak acuh Cristhian Ronald padanya. “Tolong berhenti.”
Laju mobil akhirnya terdiam sesuai ucapannya, membuat Cristhian memalingkan wajah dengan benar. “Terima kasih,” ucap Evelin hendak membuka pintu, namun ia terhenti karena lengannya tertahan.
“Mau ke mana? Kenapa kamu menangis?” akhirnya lelaki itu bersuara.
“Tidak ada apa-apa.”
“Benarkah? Tapi kenapa raut wajahmu seperti itu?”
Evelin terdiam, pikirannya langsung bersuara cepat, merasa menyesal sudah menghabiskan malam bergairah bersama orang di sampingnya. Suatu kebodohan, ia merasakan sensasi tak biasa seperti ingin memiliki Cristhian padahal dirinya harus membunuhnya.
Mungkin ini karma, Evelin merasakan gejolak tak tega untuk menghabisi sang pemuda.
Bayangan indah semalam, sekarang menggerogoti. Berharap itu selamanya, bahagia bersama sampai mereka tua. Ini hanyalah pandangan dan malam pertama. Tanpa ikatan dan rasa, cuma bermodal nafsu membara. Tapi hati Evelin seenak jidatnya menambah bumbu untuk mewarnai hidup kelamnya.
Tak terasa, air mata kembali mengalir pelan. Tangan sang gadis spontan terangkat, namun ditahan Cristhian karena masih tak mendapat jawaban yang diharapkan.
“Kenapa kamu menangis? Apa karena semua yang telah terjadi?!” suaranya cukup keras dan sangat jelas menusuk Evelin. Cristhian agak geram dibuatnya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku tak bermaksud mengambil keperawananmu. Hanya saja, aku benar-benar tak bisa menahan diriku saat melihatmu. Maafkan aku ... tolong maafkan aku,” lanjutnya memeluk erat gadis itu.
Evelin benar-benar tak tahu harus berkata apa, kalimat Cristhian justru semakin membuai hatinya agar tak menghabisi orang itu. Ia pun memberontak hendak melepas pelukan, namun sang perebut hati tidak membiarkan, sehingga posisi mereka masih bertahan.
“Aku benar-benar minta maaf.” Sejenak Cristhian terdiam, tangis tak bersuara Evelin cukup mengacaukan dirinya. Mungkin inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama.
Saat pertama kali menatapnya, sang pemuda seperti tersihir oleh rupa manis Evelin. Mantra gadis itu menyeruak di hatinya, merasuki jiwa agar raga bisa bahagia dengan pesona di depan mata.
Tanpa sadar ia menjajah gadis itu dengan seenaknya. Sikap santai yang biasa menempel di diri Cristhian, tak berarti di depan Evelin. Nafsunya terlanjur berkobar karena tak tahan ingin segera menikmatinya.
“Aku menyukaimu,” bisik lembut Cristhian, membuat Evelin tersentak dan langsung mendorong dada bidang lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyiratkan ketidakpercayaan, bahwa sosok di depannya juga merasakan hal yang sama.“Aku tahu ini terdengar gila. Aku tahu jika aku sudah kurang ajar, tapi aku benar-benar menyukaimu. Aku akan bertanggung jawab menikahimu dan membesarkan anak kita,” jelas Cristhian menyentuh perut Evelin.Tubuh indah gadis itu bergetar hebat, mendengar pengakuan yang takkan pernah terkira olehnya. Tanpa saling mengenal, tanpa mengetahui nama, lelaki di depan mata mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Evelin berteriak sejadi-jadinya. Kebimbangan justru muncul memburu isak tangisnya. Tanpa kata yang jelas, gadis itu memukul berulang dada bidang Cristhian, sehingga sang lelaki tersentak kaget. Ia tak tahu apa-apa, hanya melontarkan keinginan, namun dibalas jawaban tak kentara oleh pujaan satu malam.Karena panik dan cemas akan ulah sedih Evelin, laki-laki
“Evelin!” pekik Cristhian saat sadar pisau dihunuskan ke arah dada. “Apa yang kamu lakukan?!” ia berhasil menghindar.Pisau kembali diayunkan ke wajah Cristhian, seketika laki-laki itu menangkap lengannya. Tapi terlambat, sang gadis memutar tubuh dan menariknya dari belakang sehingga ia jatuh tepat di hadapannya. Tanpa jeda Evelin menghunuskan pisau ke arah kepala sang pemuda.“Ev—”TRANG!Suara pisau membentur lantai dan patah. Cristhian berhasil menghindari serangan yang hampir melubangi wajah. Napas tersengal, tapi bukan berarti dirinya akan pasrah begitu saja. Dengan keadaan Evelin masih berdiri, ia langsung memakai tangannya, menghantam kaki gadis itu sehingga badannya jatuh terjerembab.“Uugh,” erangnya. Saat menyadari pisau terlepas dari tangan, ia segera bangkit. Tapi sayang, Cristhian menindih tubuhnya dan menahan bahu Evelin agar tak bisa beranjak.“Apa yang kamu lakukan?!
“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya. Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya. Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian membe
“Besok aku akan mempertemukanmu dengan orang tuaku. Begitu selesai kita akan pergi keluar negeri.”“Bertemu orang tuamu?”“Ya.”Dahi mengernyit dan alis mencoba bertaut terlukis di wajah sang gadis. “Buat apa aku bertemu orang tuamu?”“Karena aku akan menikahimu.”Seketika tawa pecah di ruangan. “Ayolah Kak Cris, menikah? Aku masih muda. Dan kabarnya kamu juga sudah bertunangan. Jangan mengumbar lelucon di situasi kita bisa mati begini.”Cristhian berhenti dari aktivitas pencariannya. Melirik gadis itu dan duduk di tepi ranjang.“Jawab saja satu hal, Evelin. Apa kamu tidak bisa membunuhku karena menyukaiku?”Sejenak diam menerpa, beberapa detik kemudian Evelin bersuara. “Aku tidak menyukaimu. Kebetulan saja aku kasihan padamu dan tak jadi membunuhmu. Aku juga malas karena sangat ingin pensiun dari pekerjaan ini,” ocehnya berdrama.Cristhian tersenyum meledek. “Jawab saja ya atau tidak?” Tampang drama retak di muka, Evelin seketika menatap masam.“Tangisanmu sudah menjawabku,” laki-lak
Evelin mengedarkan pandangan. Ia jengkel sekaligus senang. Matanya tak lagi basah, tapi otaknya masih normal tak ingin terbuai ucapan Cristhian. “Dasar keras kepala!” umpatnya.“Aku menginginkanmu,” bisik Cristhian. Deru jantung Evelin memburu, seperti diberi bunga menebarkan aroma kebahagiaan.Segera ia tepis bisikan iblis nafsu, tapi Cristhian malah menantangnya. Tangan nakal merambat pelan, lembut dan menggoda. Evelin menahan sentuhan itu agar tak menjajahnya.“Aku ingin tidur,” tegasnya membalikkan tubuh.Cristhian memanyunkan bibir mendapat penolakan yang memutus hasrat. Mereka berdua akhirnya memilih tidur begitu saja.Suara burung berkicau samar terdengar di pinggir jendela. Fajar menampakkan diri, berteriak girang menggantikan malam. Suara desah menyadarkan seseorang, perlahan mengerjap mata penasaran dari mana sumbernya.Evelin tersentak, karena dialah yang bersuara. Tak terasa tangan Cristhian menyusup masuk mengganggunya, mencoba bermain menghabiskan waktu.“Kak Cris! Apa y
Sekarang, mata laki-laki itu seperti termanjakan oleh lekuk tubuh indah di depannya. Walau dibalut pakaian, pandangan masih menerawang. Seakan tembus dan berkhayal kembali akan pesona seksi sang gadis pujaan. Evelin sudah selesai dengan dandanannya. Namun, mata Cristhian masih tak lepas menyapunya, terlebih saat sorotan tersangkut pada dada membusung itu.“Sangat pas dan cantik.”Evelin mengernyitkan dahi. “Pas? Kamu bisa mengatakan itu karena tidak merasakannya! Apa kamu tidak tahu kalau aku ini sedang sesak napas? Lagi pula ini pakaian siapa? Dalamannya sempit begini!” emosi tersembur di mulutnya.“Kamu tidak suka? Padahal itu aku beli dan pilih sendiri.”“Persetan dengan pilihanmu sialan! Aku mau pergi!” Evelin masih kesal. Itu sebuah kewajaran, mengingat bra yang ia pakai cukup sempit. “Apa lihat-lihat?! Kuncinya mana?!” ia menggerakkan gagang pintu kasar.Cristhian hanya tersenyum, sejujurnya ia puas melihatnya. Setelan yang dipakai Evelin luar dalam adalah pakaian baru calon ist
“Tidak. Sama sekali tidak.”Pemuda itu tersenyum. Tatapannya hanya fokus ke wajah Evelin. Sekarang, jarak berdiri mereka kurang dari satu meter. “Evelin, itu namamu?”“Ya.”“Nama yang indah,” puji Daniel.“Terima kasih. Nama Kakak juga sangat indah.”Tiba-tiba Daniel menyemburkan tawa aneh. “Basa-basimu luar biasa sekali. Jadi, kapan kamu akan melakukannya?”Dahi Evelin mengernyit bingung. “Melakukan? Melakukan apa?”“Menggugurkan kandunganmu.”Spontan jantung gadis itu serasa dihujam oleh ucapan sosok di depan mata. Tapi dirinya masih mengontrol ekspresi, karena sejujurnya ia sangat penasaran kenapa keluarga Cristhian Ronald terasa aneh baginya.“Jadi, kenapa aku harus menggugurkan kandunganku?”Daniel mengedarkan pandangan. Berjalan pelan ke arah jendela, membukanya agar udara pagi masuk lembut ke dalam kamar Cristhian.“Karena adikku takkan menikahimu.”“Begitu?”“Dia sudah bertunangan. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Putri dari Menteri Keuangan tentu jauh lebih baik dari gadi
“Cih! Berhentilah bercanda, Kak. Kamu tidak bisa sembarangan mengajakku berpergian di saat kau dan aku jadi buronan.”“Kalau begitu jawab aku. Menurutmu, apakah rekanmu yang lain akan mengejar kita?”“Tentu saja. Kalau pun belum sampai, aku yakin mereka pasti sudah di pesawat sekarang.”“Berarti mereka takkan naik kapal bukan? Baguslah, kita bisa bersembunyi sekalian.”Evelin tak bisa berkata-kata. Memang tak ada kemungkinan jika anggota organisasinya akan muncul di sini. Bisnis mereka lewat pelabuhan di kota yang berbeda. Kuasa di negara ini juga terbatas, karena kuasanya aktif di negara lain.Mengingat tasnya masih ada di kamar mandi club Cristhian, itu berarti organisasinya belum bertindak. Apalagi, mereka biasanya memberi kurun waktu tiga hari untuk menyelesaikan misi. Evelin waspada, pikirannya tetap tak karuan sampai beberapa jam berakhir sia-sia akan jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan.Apakah ini pilihan tepat baginya? Mengikuti Cristhian sang perebut hati. Lalu bagaimana