“Evelin!” pekik Cristhian saat sadar pisau dihunuskan ke arah dada. “Apa yang kamu lakukan?!” ia berhasil menghindar.
Pisau kembali diayunkan ke wajah Cristhian, seketika laki-laki itu menangkap lengannya. Tapi terlambat, sang gadis memutar tubuh dan menariknya dari belakang sehingga ia jatuh tepat di hadapannya. Tanpa jeda Evelin menghunuskan pisau ke arah kepala sang pemuda.
“Ev—”
TRANG!
Suara pisau membentur lantai dan patah. Cristhian berhasil menghindari serangan yang hampir melubangi wajah. Napas tersengal, tapi bukan berarti dirinya akan pasrah begitu saja. Dengan keadaan Evelin masih berdiri, ia langsung memakai tangannya, menghantam kaki gadis itu sehingga badannya jatuh terjerembab.
“Uugh,” erangnya. Saat menyadari pisau terlepas dari tangan, ia segera bangkit. Tapi sayang, Cristhian menindih tubuhnya dan menahan bahu Evelin agar tak bisa beranjak.
“Apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu menyerangku?!”
Evelin tak menjawab, sikunya pun menyikut perut Cristhian di belakang.
“Aagh!” erangnya memegang perutnya, spontan Evelin langsung berbalik menindih dan mencekiknya. “Le-pas!”
Cristhian meronta-ronta, tapi sesak dan takut langsung menyelimuti ketika cekikan Evelin terasa menekan kasar leher. Pandangan dingin perempuan itu membuatnya sadar, kalau dia serius ingin membunuhnya. Tapi, kristal bening yang menetes disela-sela wajah sang gadis muda, membungkam dirinya.
Dengan mata memerah hampir pasrah, tangannya yang memegang lengan Evelin diangkat gemetar ke wajah gadis itu.
Mengelus lembut diiringi senyum merekah di bibirnya. Spontan jantung Evelin berdesir aneh, membuatnya tersentak dan melepas cekikan dari leher Cristhian.
Mulut pemuda itu menganga. Di saat mengira akan mati, Evelin melepas tangannya. Membuatnya langsung mengusap leher yang meninggalkan bekas dari aura pembunuh pujaannya.
“Evelin, kamu—” dirinya terdiam.
Evelin menatap tajamnya sambil beruraian air mata. Bibir bawah yang ia gigit erat, mulai terluka dan menimbulkan sedikit darah di sana.
“Evelin.”
“Pergilah dari negara ini.”
“Apa maksudmu?!”
“Jika Kakak tidak ingin mati, maka segera tinggalkan negara ini.”
“Mati? Jadi kamu memang ingin membunuhku? Kenapa?!”
“Jika kamu ingin selamat maka pergi saja!” teriak kerasnya.
Cristhian menyipitkan mata, lalu berdiri menghampiri Evelin dengan mencengkeram erat lengannya. “Siapa kamu sebenarnya?”
Evelin menepis kasar tangan itu dan berbalik. “Lebih baik Kakak pergi sekarang.”
Cristhian pun mendecih, “pergi? Setelah apa yang kamu lakukan?”
Mata mereka beradu pandang, saling menampilkan sorot tajam di antara keduanya.
“Jangan membuatku menyesal,” tegas gadis itu.
“Kenapa kamu menangis?”
Jantung Evelin seperti dihujam, langsung menoleh karena tubuhnya gemetar. Akan tetapi, Cristhian menyentuh wajah itu, memaksanya tak mengalihkan pandangan.
“Lihat aku, kenapa kamu menangis?” tangannya sambil mencengkeram pipi. Ekspresi terluka, itulah yang tampak di mata Cristhian. “Kutanya sekali lagi, kenapa kamu menangis?”
Tapi Evelin masih bersikeras pada pendiriannya, hendak menepis tangan Cristhian.
“Aagh!” erangnya saat lelaki itu mencekiknya. Berontak yang sempat diperlihatkan, perlahan memudar. Dia biarkan perlakuan Cristhian. Di sudut hatinya sangat merasa senang, karena lebih baik mati di tangan orang yang dicintainya.
DEG!
Jantung Evelin berdetak tak kentara, bukan kematian yang dilayangkan Cristhian, tapi bibirnya mengecup lembut kening sang gadis, sehingga matanya terbelalak dan berkaca-kaca.
“Kenapa selalu begini?” tatap kecewa Cristhian. “Kenapa kamu selalu menangis di dekatku? Apa karena aku mengambil keperawananmu, jadi kamu mau membunuhku?”
Evelin menggeleng cepat, hendak membebaskan diri dari cengkeraman Cristhian. Tapi semua sia-sia, karena pinggangnya tertahan lengan. “Kenapa kamu menangis? Jika kamu tidak bicara, bagaimana bisa aku tahu?!” lanjut Cristhian.
Suaranya meninggi beberapa oktaf membuat gadis itu sedikit kaget.
Jawaban masih tak kunjung ia dapatkan. Tangisan Evelin kembali terurai, mengundang seringai Cristhian. Mata sang gadis membulat melihat rupa itu, merasa sedih dan juga takut seketika.
“Apa aku harus menyiksamu agar kamu bicara?” cengkeraman erat Cristhian di lengan Evelin sedikit menyakitinya. “Sepertinya, hukuman semalam jauh lebih menarik.”
Evelin bergidik ngeri. Kemampuan membunuhnya seakan kabur dari badan. Cristhian Ronald yang awalnya ia kira lelaki buaya, tampak seperti bocah tak berdosa. Namun sekarang, orang itu mirip dewa kematian berwujud manusia.
“Kak!”
Cristhian langsung menggendong Evelin di bahunya, keluar kamar mandi dan melemparnya kasar di ranjang. Napas gadis itu begitu memburu, karena batinnya tak bisa menerima perlakuan sang pemuda. Ia pun langsung lari dari ranjang.
Namun satu kakinya ditarik Cristhian dan tangannya diikat dengan tali bathrobe. Membuat dada bidang serta celana pendek lelaki itu jadi terlihat.
“Lepaskan aku!” Evelin meronta, ia hendak menendangnya tapi lutut Cristhian menahan pahanya. Satu tangan yang bebas pun memukul bahu, bahkan juga menampar pipi sang pemuda.
“Uugh, kasar sekali,” sosoknya justru melebarkan seringai. Wajah tampannya bertambah mengerikan di mata Evelin. Ia terkekeh, “bukankah ini menarik?” tangan bebas sang gadis dicengkeram sambil tertahan di atas kepala.
“Lepaskan aku keparat! Kau gila!”
Cristhian terdiam. “Siapa yang gila? Bukankah kamu mau membunuhku?” wajah keduanya cuma berjarak 10 cm. Evelin benar-benar tak menyangka. Lelaki yang disukainya pada pandangan pertama, justru seperti ini. Bahkan sudut hatinya sempat menyesal karena tak membunuhnya. Sekarang, hanya satu kakinya yang bebas. “Kenapa kamu mau membunuhku?”
Gadis itu mendengus kesal, matanya tak lagi memerah, kecuali menatap tajam ke bola mata sosok di pandangan. Emosi yang tersirat bisa diartikan sang lelaki. Raut wajah Cristhian sekarang jauh lebih tenang, lalu akhirnya mengikat kedua tangan pujaannya.
Dirinya berbaring di samping Evelin, memandang lekat rupa manis yang sedikit pun tak menoleh padanya. Cristhian mendekatkan wajah, memeluk gadis itu dan berbisik tepat dekat telinga.
“Kenapa kamu mau membunuhku? Padahal aku sangat menyukaimu,” lirihnya pelan. Ia menyentuh lembut kepala Evelin, berharap kejelasan di bibir sang kupu-kupu.
Akan tetapi, gadis itu hanya menatap langit-langit. Perasaannya campur aduk, di satu sisi ia ingin membunuh Cristhian, di sisi lain rasa sukanya juga menyeruak menahan hasrat pekerjaan. Sudut matanya kembali meneteskan tangisan. Emosi tak kentara terlukis di sana, tampak jelas bagi calon korbannya.
“Apa membunuhku bisa membuatmu lebih baik?”
“Tinggalkan negara ini,” gumam Evelin.
Cristhian menghapus air mata yang mengalir, “padahal aku menyukaimu.”
“Aku ingin membunuhmu.”
“Lalu kenapa kamu menangis? Bunuh saja aku, tak perlu menyuruhku pergi ke negara lain.” Evelin kembali tak menjawabnya, membuat Cristhian melanjutkan kalimat. “Jika itu bisa membuatmu dan anak kita bahagia, maka aku rela.”
Gadis itu tersenyum tipis, tapi tetesan kristal bening kembali meleleh, mencoba melawan kenyataan di dirinya. “Anak kita? Kapan aku hamil anakmu?” Evelin berpaling padanya dengan tatapan meledek.
Pandangan mereka saling beradu, membuat Cristhian tak melepaskannya sedikit pun. Ia tiba-tiba menyentuh perut pujaannya. “Ada benihku di sini.”
“Bisa saja aku mandul. Kamu pikir, aku tidak pernah tidur dengan pria lain?”
Cristhian mengepal erat tangannya, “kau mungkin tidur dengan pria lain. Tapi benih di perutmu tetaplah milikku,” nada suaranya berubah.
“Jangan mimpi! Bahkan jika aku hamil, akan kugugurkan kandungan itu.”
Sang pemuda tersenyum miring. “Jika kamu berani, maka kamu takkan menangis saat membunuhku. Bahkan jika kamu tidak memberitahuku, aku akan segera mengetahuinya. Aku punya banyak cara untuk membongkarnya dari mulutmu,” Cristhian mengecup pelan bibirnya.
“Sova, seandainya kita mati, bagaimana?” pertanyaan sosok bersurai merah itu membuat laki-laki berambut coklat terang di depannya mengernyitkan dahi. “Kau takut?” Bharicgos terkekeh pelan. Perlahan pandangan diedarkan ke sekitar, sayup-sayup suara gagak menyusup masuk ke telinga. Semakin lama semakin terdengar keras mengiringi langkah keduanya. “Aku hanya bertanya, kenapa jawabanmu malah seperti itu?” “Kita takkan mati dengan mudah. Apa lagi kau Bharicgos, mereka hanya membuang nyawa ke hadapan kita.” Dan ringkik kuda yang terasa jelas mulai menghampiri keberadaan mereka. Tampak di halaman istana Tenebris, kehadiran beberapa prajurit berzirah merah. Semangat yang tercetak di wajah mereka, senjata beserta bendera yang dikibarkan di tangan pun menjadi tanda dimulainya pertarungan keduanya. “Begitu ya, kau benar juga. Terima kasih sudah menghiburku, Sova Aviel Ignatius.” “Sova, padahal kau bilang kita tidak akan mati. Lalu kenapa pedang iblismu ada di bocah ini?” bersamaan dengan o
Hempasan angin kasar menghantam mereka. Semua disebabkan oleh senjata Haina dan juga Lucius yang beradu. Rantai berduri ataupun pedang terselubung itu tampak seimbang. "Kau Tenebris. Kenapa menyerang?" Mendengar itu Haina menyentak rantainya. Memaksa Lucius mundur beberapa langkah. Walau sosoknya terluka namun tak meruntuhkan kekuatan Haina. Selain tampang angkuh yang sekarang melekat di muka. "Bukankah sudah jelas? Tentu saja untuk membasmi kalian." Seketika mata Lucius menyipit tajam. Jawaban konyol barusan jelas bukanlah yang ia harapkan. Sementara di satu sisi, Hion sekarang sedang berhadapan dengan dua Darkas. "Hati-hati. Dia sepertinya menguasai beberapa aliran pedang." Tentu saja penjelasan Bharicgos menyentak pendengaran rekan-rekannya. "Sepertinya Ignatius memang terlahir luar biasa ya," Siez menggeleng pelan. Teringat kembali dengan sosok Lucius di seberang. Pemuda delapan belas tahun itu pun juga serupa. Dilihat dari keahlian berpedangnya bisa dipastikan ia memaka
Sorot mata tenang sosok berambut perak itu, terus saja memandangi pemuda bersurai coklat. Bahkan setelah pertemuan para utusan delapan kerajaan berakhir dengan ketegangan, Lucius tak terlihat menyesal. Ia bahkan sempat menatap remeh pada laki-laki di depan mata. Siez Nel Armarkaz. Penolongnya yang sudah membuat mereka bisa pergi dari sana. Andai Lucius tetap gigih memprovokasi Orion, mungkin saja beberapa orang yang menganggapnya ancaman akan segera membantainya. Terlihat dari tatapan tajam ratu Virgo kepadanya. "Darkas, apa kalian berkhianat?" pertanyaan Raja Aquarius saat Siez dan pamannya maju untuk menengahi keadaan memantik sebuah kenyataan. "Berkhianat?" Siez tersenyum hangat. "Dia rekan kami. Tak peduli siapa sosoknya, sudah tugas Darkas untuk melindungi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Bukankah begitu? Pangeran Kaizer." Tapi tak ada tanggapan dari laki-laki yang diajak bicara. Selain tatapan tajam memenuhi suasana. Tanpa kata Lucius berlalu dari sana dan diiri
Pertarungan antara Kaizer atau pun Eran Lybria dengan para pengganggu memang telah selesai. Tapi tidak dengan Fabina, pedang di tangan pun diarahkan pada leher Lucius yang sudah tak lagi menyerangnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Dusk Teriel masih bingung dengan mereka. "Musuh memang sudah tak ada. Tapi kita tak bisa menutup kemungkinan akan Tenebris yang tersisa." Orang-orang di sana pun kembali terhenyak. Dan menatap tak percaya pada sosok yang berbicara. "Ada bukti?" Lucius menyeringai. "Tutup mulutmu, hanya karena matamu sekarang tidak merah lagi bukan berarti kau bisa menipuku. Kau sendiri bukan yang mengatakan akan perperangan itu." Dan tak disangka, sebuah hempasan kasar pun menghantam Fabina. Tubuhnya langsung menghantam tanah akibat ulah perempuan yang menatap murka. "Yang Mulia!" Agrios syok melihatnya. Karena bagaimanapun juga dirinya jelas tak mengira kalau sang ratu akan menyerang kerajaan rekan mereka. "Fabina!" Kaizer pun menghampirinya. "Kau baik-baik saja?!"
Kehadiran pria itu sontak membuat para utusan Libra murka. Tanpa ragu Tarbias dan juga Eran menarik pedang mereka. Berbeda dengan seseorang yang hanya bersikap waspada pada pembantai kerajaannya. Prizia D'Librias. Sosoknya justru tak terlihat marah. "Siapa kau?!" Dusk Teriel jelas terkejut melihat respons para utusan Libra. "Tel Avir Ignatius. Jadi, apa kalian juga ingin bertarung denganku?" Ignatius.Nama belakang itu menyentak Lucius. Ia menatap tak percaya pada laki-laki yang bisa dipastikan berasal dari kerajaannya. Namun rupa asing Tel Avir membuatnya waspada. Karena bagaimana pun tak semua Ignatius sejalan dengan prinsip Tenebris. Apa lagi orang asing di depan mata tak pernah tampak di kerajaan semasa hidupnya. "Berani-beraninya keparat sepertimu muncul di sini!" suara senjata yang beradu pun melukiskan suasana. Pedang sang komandan Eran Lybria, dan juga pisau panjang tamu tak diundang itu saling bertemu dengan percikan di mata bilah keduanya. Seolah tak peduli lagi pada
Kalimat laki-laki itu pun memaksa beberapa orang memasang muka masam. Hanya seseorang yang menyeringai, siapa lagi kalau bukan Siez Nel Armarkaz. Sosoknya yang berpakaian serba hitam itu memang mampu membuat Orion menatap murka. Dan akhirnya Kaizer hanya bisa mengepal erat kedua tangannya. Sorot mata yang tak lepas dari dua utusan Darkas menandakan kalau dirinya masih tak terima. Tapi senggolan pelan yang dilayangkan Fabina menyadarkan sang pangeran. "Tenanglah, kita akan berurusan dengan mereka nanti." Kaizer terpaksa membuang muka. Pertanda kalau dirinya setuju akhirnya. "Jadi, apa yang ingin di bahas pada pertemuan ini?" Aqua D'Rius Argova bersuara. Raja kerajaan Aquarius itu menatap lekat utusan salah satu kerajaan yang memicu kehadirannya di sana. Dan orang-orang yang duduk di meja itu ikut menatap sumber pandangan. Tiga utusan dari kerajaan Libra pun dilirik bergantian. Sampai akhirnya salah seorang yang memiliki surai pirang dan bermata hazel menghela napas pelan. "Juj