Share

6. Kabur

“Istirahatlah,” lirihnya mengambil selimut dan menutupi tubuh Evelin.

Walau matanya bisa melihat dengan jelas undangan dari raga sang gadis, dirinya tak berniat lagi melakukannya. 

Rasa suka yang Cristhian miliki bukanlah suatu kebohongan. Jika tak menyentuh Evelin memang membuat gadis itu bahagia, maka akan ia lakukan. Dirinya tak ingin menodainya lagi tanpa izin, karena bagaimanapun sekarang sang pujaan mungkin akan mengandung anaknya. 

Tak lama kemudian, embusan angin malam tiba-tiba membangunkan gadis itu. Matanya mengerjap beberapa kali, hanya terang kamar dibantu cahaya rembulan terlihat olehnya.

“Apa yang terjadi?” gumam Evelin menatap langit-langit. Saat akan bangkit, tubuhnya tersentak menyadari tangan masih terikat.

Sekarang, justru tali pengikat erat menahannya pada dua tiang ranjang.

Dengan tubuh masih berselimut, ia coba meronta membebaskan diri. Masih tak ada hasil, raganya juga terasa lemas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Perlahan, bayangan Cristhian memberinya segelas alkohol menyeruak di kesadaran, membuat Evelin bertambah geram.

“Sudah sadar?”

Sosoknya langsung menoleh pada sumber suara. Lelaki berpakaian santai mendekat dengan sepiring makanan serta minuman di nampan. “Kurang ajar! Kakak memberiku obat bius? Pengecut!”

“Terserah apa tanggapanmu. Aku bukan orang bodoh yang akan meremehkan perempuan sepertimu.”

Cristhian mendekat dan menaruh bawaan di atas meja nakas. “Ayo makan dulu.”

“Bunuh saja aku.”

Lelaki itu terdiam sejenak. “Aku akan membantumu bangun.” 

“Cepat atau lambat mereka akan membunuhmu, begitu pula aku.” Cristhian tak mengacuhkan dan mengambil segelas air untuk disodorkan. “Lebih baik kamu membunuhku dan kabur dari sini.”

Tangan sang pemuda tertahan, pandangan tenang diarahkan ke rupa manis di depannya. Entah apa isi otaknya saat ini. “Jadi, siapa mereka yang ingin membunuhku?” Evelin tak menjawab kecuali tersenyum tipis. Cukup lama mereka seperti itu, dirinya membiarkan Cristhian memandangi, karena yang penting sekarang adalah sang pencuri hati kabur demi keselamatan. “Aku mengerti. Kamu pembunuh bayaran berwujud gadis polos? Menjijikan.”

Jantung Evelin seketika remuk olehnya. Kata-kata itu begitu menyayat hati, meneriakkan luka dengan panas membakar mata. Tatapannya lebih memilih terarah diam ke langit-langit, daripada memandang rupa sang perebut perasaan di sampingnya.

Cristhian pun menggeser tubuh, memposisikan diri di atas Evelin dengan ditopang kaki dan tangan agar tak terlalu menindihnya. Pandangannya menyusup masuk ke mata, langit-langit tak lagi tampak karena ulahnya.

“Kenapa kamu tidak mau membunuhku?” Evelin meneguk ludah kasar, tapi sorot penglihatan masih tertahan di sana. “Apa mungkin kamu menyukaiku?” lanjut Cristhian.

Sekarang, mulut gadis itu sedikit terbuka akan kaget yang menerpa. Tak disangka, suara hatinya langsung keluar dari bibir sang pemuda. Tubuhnya bergetar hebat, tak mampu berkata-kata. Kristal bening mulai membasahi pandangan, mencoba bebas mewakili perasaan.

Cristhian tersentak, jawaban yang tak ia dapatkan, terlukis di mata sosok pujaan. Spontan dirinya langsung memeluk gadis itu, sangat erat menyesakkan dada. “Maafkan aku,” lirihnya.

Sambil menggigit bibir bawah, Evelin menahan lontaran suara. Tak mengira kenyataan hatinya dibaca orang di depannya. Perasaannya campur aduk, antara senang dan takut jelas bertengkar dalam benak.

Bayangannya berharap laki-laki itu akan menerimanya. Tapi juga berlawanan dengan pemikiran orang-orang yang akan memburu mereka, karena Evelin sudah gagal dalam misinya.

“Aku mohon pergilah,” pintanya tiba-tiba.

Cristhian melepas pelukan lalu membuka tali pengikat tangan sang gadis. Begitu bebas, ia pun memegang lengannya.

“Ayo kita pergi,” ajak laki-laki itu.

“Apa maksudmu?!”

“Aku tidak tahu siapa orang yang kamu bicarakan. Tapi, jika kamu ingin aku kabur, ayo kita pergi bersama.”

“Tidak!” tolak Evelin.

“Kenapa?!”

“Aku seorang pembunuh. Gagal dalam misi berarti mati. Bahkan jika kabur, mereka akan tetap memburuku. Lebih baik selamatkan dirimu, Kak! Cepat atau lambat mereka akan sampai di sini!” 

Cristhian menjadi jengkel pada gadis keras kepala di depannya. Ia menarik lengannya dan memaksa menggendong Evelin di bahu. Walau meronta, tapi itu tak mempengaruhi sang pemuda. Karena raganya terbentuk indah dan kuat, bahkan jika tampak kurus dari rupa kaos hitam besarnya.

Mereka menuruni tangga. Cristhian segera mengunci pintu lalu menuju mobil yang terparkir. Begitu masuk ke dalam, Evelin pun merasa pusing, mungkin karena sisa obat bius serta posisi gendonglah penyebabnya.

“Apa yang kamu lakukan?!”

“Kabur sesuai katamu.”

“Jangan gila, Kak! Turunkan aku dan pergi saja!” Cristhian tak mengacuhkan lalu memilih melajukan mobil tanpa memasang seat belt. “Kak!” Evelin menarik lengan lelaki itu agar di dengarkan.

“Berhentilah keras kepala! Kamu bisa diam tidak?!”

Evelin terbungkam. Dibentak orang yang disukai cukup melukai mentalnya. Laju mobil entah diarahkan ke mana, Evelin tak tahu.

Dirinya memilih menyapu pandangan pada jalanan. Pinggiran pantai, langit malam yang indah, bulan terang di ufuk sana, semua entah menertawakan atau menyemangatinya.   

Cukup lama mereka di dalam mobil tanpa bicara, sampai akhirnya laju dihentikan begitu memasuki kediaman presiden di halaman belakang. Evelin melongo, tak percaya akan dibawa ke sana.

“Dasar gila!” teriak Evelin.

“Ayo.”

“Tidak!”

“Ingin kugendong?”

Wajah Evelin seketika murka. Memasuki kediaman presiden bermodal kaos kedodoran adalah kegilaan. Bayangan diri akan dilabeli tak terhormat langsung menyeruak ke permukaan.

“Aku tidak mau! Aku akan dikira apa jika turun seperti ini?!”

Cristhian tak mengacuhkan, keluar mobil lalu membuka pintu sebelah Evelin. “Ayo.”

“Tidak! Tidak mau! Tinggalkan aku!” tegasnya. Cristhian menghela napas kasar. Ditutupnya pintu mobil sambil menguncinya. Evelin tersentak karena ia benar-benar ditinggalkan. “Gila, kenapa dikunci?! Bagaimana aku bisa pergi? Lelaki sialan kamu kak Cris! Buaya keparat!” racaunya menggedor-gedor kasar jendela.

Bahkan ia berniat menendang kaca depan mobil jika bukan karena kedatangan Cristhian menghentikan tingkahnya.

Tampak laki-laki itu membawa sebuah long coat abu-abu dan menyerahkannya pada Evelin begitu pintu mobil dibuka. “Pakailah.”

Tanpa ragu Evelin memakainya. “Terima kasih.”

“Ayo.”

Evelin menorehkan tatapan penolakan. “Kamu masih waras? Aku ini pembunuh bayaran. Kenapa Kakak tidak kabur dan malah membawaku ke sini?”

Cristhian hanya melirik malas. “Pilihlah, kugendong seperti barang atau masuk dengan patuh?”

Gadis itu mendecih. “Baiklah.”

Langkah saling beriringan, keduanya masuk ke kediaman presiden lewat pintu belakang. Begitu indah, corak dinding timbul bertahtakan lukisan mewah dengan seni kunonya menandakan istana tua itu masih terhormat dan dipuja.

Evelin tak bisa berhenti terpana, menyusuri pijakan ke lantai tiga, di mana sebuah ruangan tujuan Cristhian Ronald berada.

Sepanjang perjalanan, hanya seorang pembantu yang berpapasan dengan mereka. Sorot mata kaget lalu memberi hormat jelas terpancar darinya.

Evelin terkesiap, begitu menyadari jam sudah menunjukkan pukul 23.57 dari angka romawi jam tua, dengan penuh ukiran di sudut ruang menghadapnya. Tanda tanya berapa jam ia tertidur akibat ulah Cristhian bangkit berharap jawaban. 

Pintu kamar yang menghentikan langkah pun terbuka, “masuklah,” ajak sang pemuda.

Cukup gelap, tapi sinar bulan lewat jendela tanpa tirai memberi sedikit penerangan. Evelin terbelalak saat menyadari Cristhian mengunci pintu. Jantungnya berdegup kencang, tapi sikap lelaki tak acuh yang sibuk mencari sesuatu mengundang penasaran.

“Kenapa kita ke sini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status