Share

Bab 8

Penulis: Mommy_Ar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 17:09:38

Ruang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.

Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan.

“Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu.

‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar.

‘’Iya Buk,”

‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda.

‘’Iya mbak,”

Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing.

Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun sampai lantai, wajahnya terpoles sempurna namun kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis semalaman. Ia menarik napas panjang, lalu berbalik menatap Jati.

“Ku pikir kamu gak akan datang,” katanya pelan.

Jati mengusap tengkuk lehernya yang berkeringat meski ruangan ber AC. Jas formalnya rapi, dasi abu gelap terikat di leher, tapi wajahnya penuh keraguan.

“Jujur aja, gue masih bingung.” Ia menunduk sedikit. “Lo yakin ini jalan yang bener?”

Senara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Jati. Wajah yang dulu pernah ia cintai dalam senyap masa remaja, wajah yang kini justru hadir saat dunia terasa ambruk.

“Lo gak akan nyesel nikah sama gue?” tanya Jati lagi, nada suaranya lebih lembut. “Dulu lo yang mutusin gue. Sekarang lo juga yang maksa gue nikahin.”

Perkataan itu menampar, tapi tidak dalam arti buruk. Senara tahu ia layak diingatkan akan keputusannya dulu. Tapi kali ini… berbeda.

“Setidaknya… untuk sekarang, ini adalah keputusan terbaik,” gumam Senara, suaranya lirih. “Aku gak mungkin lihat Bapak sama Ibu kecewa… karena pernikahanku batal.”

Jati menatapnya lama. Napasnya berat. Ia tahu rasa sakitnya, meski belum tentu memahaminya.

“Emang ke mana sih cowok lo?” tanyanya, pelan namun tajam. “Calon laki lo minggat kemana? Anjing banget tuh cowok.”

Senara tak sanggup menahan air matanya. Bibirnya gemetar saat menjawab, “Dia… dia balikan sama mantannya.”

Sekali lagi, air mata menetes, jatuh tanpa suara ke pipi yang sudah dipoles make up. Tapi tidak bisa ditahan.

Jati meremas jemarinya sendiri. Melihat Senara seperti ini… menyakitkan. Terlebih lagi ketika mengingat bahwa dia Jati adalah orang yang dulu ditinggalkan tanpa banyak kata, lalu kini diminta menjadi penambal luka dalam waktu semalam.

Tapi anehnya… hatinya tidak menolak. Bukan karena cinta masa lalu. Mungkin lebih pada rasa kasihan, dan rasa tanggung jawab yang tiba tiba muncul tanpa sebab yang logis.

Jati menarik napas panjang, mendekat satu langkah, dan berkata pelan, “Ya udah… oke. Gue udah di sini. Kita nikah hari ini.”

Senara mengangkat wajahnya pelan, penuh ragu tapi juga harapan.

“Tapi gue harap lo gak bakal nyesel,” lanjut Jati. Suaranya serius, matanya menatap tajam tapi jujur.

Senara menggeleng pelan, air matanya mengalir lagi. “Nyesel atau enggak, itu gak penting buat aku. Yang penting… Bapak sama Ibu bahagia.”

Hening sebentar. Angin dari AC membuat tirai kecil di jendela bergetar pelan. Lalu Jati mengangguk mantap, menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Senara dengan ekspresi baru: siap.

“Oke,” katanya singkat. “Sekarang kita keluar.”

Senara menyeka air matanya terakhir kali, menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Jati menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya, membiarkan Senara menggandeng lengannya.

Mereka berjalan keluar bersama dua jiwa yang belum selesai dengan masa lalu, tapi memilih tetap melangkah maju demi satu hal: menjaga martabat, dan membungkus luka dengan keberanian.

Dan di balik pintu itu, dunia menunggu. Para tamu berdiri, musik pengiring mulai mengalun, dan pelaminan tampak megah di ujung ruangan.

Hari itu, Senara dan Jati menikah.

Bukan karena cinta tapi karena pilihan.

Dan mungkin… dari situ, cinta yang baru akan lahir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pesona sang MANTAN   Bab 8

    Ruang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan.“Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu.‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar.‘’Iya Buk,”‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda.‘’Iya mbak,”Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing.Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun samp

  • Pesona sang MANTAN   Bab 7

    Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang.Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya.Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya.Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa.Jati menghela napas.“Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?”Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur.__Gedung pernikahan sore itu

  • Pesona sang MANTAN   Bab 6

    Senara masih duduk di trotoar, memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap Jati yang kini berdiri, berkacak pinggang, memandangnya seperti menatap makhluk aneh dari planet lain. “Jati… aku serius. Ayo kita menikah besok,” ulangnya, kali ini lebih mantap, seperti seseorang yang sudah siap mempertaruhkan seluruh hidupnya pada sebuah keputusan gila. Jati membeku di tempat. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Ia benar-benar tak paham. “Lo... ngomong apaan sih?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut jawaban itu memang nyata. “Menikah. Besok. Di gedung yang sudah disewa. Keluarga aku udah datang dari kampung. Dekorasi udah jadi. Makanan udah dipesan. Semua tinggal jalan,” Senara bicara cepat, nyaris seperti membaca naskah dari kepala. “Tadinya buat aku dan Bima, tapi... dia pergi. Dan sekarang... aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak bisa batalkan semua ini. Aku nggak bisa bikin malu orangtuaku.” Jati menatap Senara lama, nyaris tanpa kedipan. Otaknya masih

  • Pesona sang MANTAN   Bab 5

    "Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum. Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas. Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!” Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara. Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia y

  • Pesona sang MANTAN   Bab 4

    Senara duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi gemerlap lampu dan irama dentum musik yang menghentak dada. Gelas minumannya masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Cairan bening di dalamnya hanya bergetar setiap kali bass dari musik menghantam udara. Ia tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin hening di tengah kebisingan. Kepalanya masih terasa berat. Perutnya sesekali mual. Tapi anehnya, suara musik dan cahaya yang menyilaukan justru membuat pikirannya perlahan-lahan tumpul. Tidak sepeka tadi. Tidak sesakit tadi. Ia menatap kosong ke depan, lalu sesekali memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam suara-suara asing. Seolah semua luka dan pengkhianatan bisa diredam, diganti oleh irama yang tak mengenal siapa dirinya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara musik terputus oleh teriakan. Dua pria di dekat meja tengah mulai saling dorong. Entah karena minuman, entah karena wanita Senara tidak peduli. Awalnya ia hanya melirik sebentar, lalu kembali memalingkan waja

  • Pesona sang MANTAN   Bab 3

    Pagi datang terlalu cepat bagi seseorang yang tidak tidur semalaman. Senara terbangun bukan karena alarm, tapi karena perutnya melilit hebat. Rasa nyeri itu naik hingga ke dada, seperti ditusuk-tusuk dari dalam. Napasnya pendek, dingin keringat membasahi leher dan punggung. Ia tahu gejala ini. Asam lambungnya kambuh dan kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan ke rumah sakit terdekat. Hujan tipis turun saat ia melangkah keluar dari kosan, dengan tubuh yang limbung dan langkah terseret. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tapi tak ada waktu untuk peduli pada penampilan. Motor datang. “Ke rumah sakit, ya, Mas,” katanya pelan sambil berusaha menahan mual. Perjalanan yang hanya 15 menit terasa seperti seumur hidup. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi beberapa kali. Notifikasi pesan masuk dari grup keluarga: “Senara, kami sudah otw,’’ tulis Nandini, kakak pertama Senara disertai foto-foto wajah ce

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status