Ruang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.
Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan. “Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu. ‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar. ‘’Iya Buk,” ‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda. ‘’Iya mbak,” Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing. Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun sampai lantai, wajahnya terpoles sempurna namun kedua matanya bengkak karena terlalu banyak menangis semalaman. Ia menarik napas panjang, lalu berbalik menatap Jati. “Ku pikir kamu gak akan datang,” katanya pelan. Jati mengusap tengkuk lehernya yang berkeringat meski ruangan ber AC. Jas formalnya rapi, dasi abu gelap terikat di leher, tapi wajahnya penuh keraguan. “Jujur aja, gue masih bingung.” Ia menunduk sedikit. “Lo yakin ini jalan yang bener?” Senara tak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Jati. Wajah yang dulu pernah ia cintai dalam senyap masa remaja, wajah yang kini justru hadir saat dunia terasa ambruk. “Lo gak akan nyesel nikah sama gue?” tanya Jati lagi, nada suaranya lebih lembut. “Dulu lo yang mutusin gue. Sekarang lo juga yang maksa gue nikahin.” Perkataan itu menampar, tapi tidak dalam arti buruk. Senara tahu ia layak diingatkan akan keputusannya dulu. Tapi kali ini… berbeda. “Setidaknya… untuk sekarang, ini adalah keputusan terbaik,” gumam Senara, suaranya lirih. “Aku gak mungkin lihat Bapak sama Ibu kecewa… karena pernikahanku batal.” Jati menatapnya lama. Napasnya berat. Ia tahu rasa sakitnya, meski belum tentu memahaminya. “Emang ke mana sih cowok lo?” tanyanya, pelan namun tajam. “Calon laki lo minggat kemana? Anjing banget tuh cowok.” Senara tak sanggup menahan air matanya. Bibirnya gemetar saat menjawab, “Dia… dia balikan sama mantannya.” Sekali lagi, air mata menetes, jatuh tanpa suara ke pipi yang sudah dipoles make up. Tapi tidak bisa ditahan. Jati meremas jemarinya sendiri. Melihat Senara seperti ini… menyakitkan. Terlebih lagi ketika mengingat bahwa dia Jati adalah orang yang dulu ditinggalkan tanpa banyak kata, lalu kini diminta menjadi penambal luka dalam waktu semalam. Tapi anehnya… hatinya tidak menolak. Bukan karena cinta masa lalu. Mungkin lebih pada rasa kasihan, dan rasa tanggung jawab yang tiba tiba muncul tanpa sebab yang logis. Jati menarik napas panjang, mendekat satu langkah, dan berkata pelan, “Ya udah… oke. Gue udah di sini. Kita nikah hari ini.” Senara mengangkat wajahnya pelan, penuh ragu tapi juga harapan. “Tapi gue harap lo gak bakal nyesel,” lanjut Jati. Suaranya serius, matanya menatap tajam tapi jujur. Senara menggeleng pelan, air matanya mengalir lagi. “Nyesel atau enggak, itu gak penting buat aku. Yang penting… Bapak sama Ibu bahagia.” Hening sebentar. Angin dari AC membuat tirai kecil di jendela bergetar pelan. Lalu Jati mengangguk mantap, menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Senara dengan ekspresi baru: siap. “Oke,” katanya singkat. “Sekarang kita keluar.” Senara menyeka air matanya terakhir kali, menghela napas, lalu mengulurkan tangan. Jati menatap tangan itu sejenak, lalu menyambutnya, membiarkan Senara menggandeng lengannya. Mereka berjalan keluar bersama dua jiwa yang belum selesai dengan masa lalu, tapi memilih tetap melangkah maju demi satu hal: menjaga martabat, dan membungkus luka dengan keberanian. Dan di balik pintu itu, dunia menunggu. Para tamu berdiri, musik pengiring mulai mengalun, dan pelaminan tampak megah di ujung ruangan. Hari itu, Senara dan Jati menikah. Bukan karena cinta tapi karena pilihan. Dan mungkin… dari situ, cinta yang baru akan lahir.Senara dan Jati masih duduk di sofa, dalam keheningan yang berbeda. Bukan canggung, bukan kosong, tapi hangat. Keheningan yang diisi oleh degup jantung yang perlahan selaras. Pandangan mereka bertemu, saling menatap lama.Senara mengedip pelan. Tatapan matanya yang biasanya kuat dan tegas, malam ini justru terasa rapuh, namun tulus. Sementara Jati… tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah perempuan di hadapannya. Perempuan yang dulu ia cintai dalam sunyi masa remaja, dan kini, takdir mempertemukan mereka kembali dalam status yang lebih dari sekadar cinta monyet sebagai suami istri.Tak ada satu pun kata keluar.Tapi ketika Senara menyentuh pipi Jati perlahan, dan Jati membalas dengan mengecup jemari itu lembut, segalanya jadi jelas: ada cinta yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya.Jati membelai rambut Senara, menyibakkan helaian kecil yang jatuh di keningnya. “Kamu cantik banget malam ini,” bisiknya.Senara hanya tersenyum kecil, gugup, tapi hatinya ber
Tiga hari terasa panjang bagi Senara. Sepi. Hampa. Dan sunyi—bahkan suara televisi yang biasanya menemani pun terasa seperti gema tak bersuara. Selama tiga hari itu pula, ia benar-benar mencoba berpura-pura kuat. Tapi setiap malam, bantal menjadi saksi betapa berat bebannya.Hari itu, saat awan Jakarta mulai menggelap, suara mesin motor sport menghentikan langkah kaki Senara yang baru saja pulang kerja. Ia menoleh ke arah sumber suara. Helm full face itu dilepas perlahan, menampilkan wajah lelah tapi hangat. Jati."Assalamu'alaikum," sapa Jati pelan.Senara hanya mengangguk kecil, "Wa’alaikumsalam.""Baru pulang?" tanya Jati, melangkah mendekat sambil menggendong tas ransel besar."Iya. Tadi kerjaan cukup padat," jawabnya sambil berjalan ke arah pintu apartemen. Jati menyusul.Sesampainya di dalam, Jati meletakkan tasnya dan langsung merebahkan diri di sofa sambil menghembuskan napas panjang."Capek banget sumpah," gumamnya. "Tapi kangen kamu lebih berat.
Di sebuah rumah joglo yang megah, berarsitektur khas Jawa, berdiri anggun di tengah hamparan sawah yang menghijau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan wangi teh tubruk dari dapur belakang. Rumah itu tidak hanya menyimpan kenangan masa kecil Jati, tapi juga menjadi tempat paling sakral baginya tempat di mana ia selalu pulang, untuk menemukan akar dirinya.Di tengah pendapa yang luas dan sejuk, tampak seorang pria muda bersimpuh di depan seorang lelaki tua bersorban putih dan bertongkat kayu jati. Wajah tua itu masih bersinar meski keriput telah menjajah kulitnya. Tatapannya tajam, namun penuh bijaksana. Dialah Kakek Lesmana, tokoh sentral keluarga, pengusaha tanah air yang kini memilih hidup tenang di pedesaan.Sementara cucunya, Jatidaru, tak lain adalah pewaris keluarga dan hari ini, ia bersujud seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri ketan dari dapur.“Oh ayolah, Kek… plis. Jangan durhaka sama cucu! Ini demi masa depan rumah tangga cucu kakek ini
Sinar matahari belum terlalu menyengat saat Jati dan Senara berdiri di depan kantor tempat Senara bekerja. Mobil yang akan membawa Jati ke bandara sudah menunggu tak jauh dari sana.Jati menatap wajah Senara dengan tatapan ragu, seolah masih berat meninggalkannya, apalagi di tengah situasi yang tak sepenuhnya baik.“Aku harus ke Jogja hari ini. Kayaknya bakal dua hari, mungkin tiga. Paling lama satu minggu,” ujar Jati pelan sambal mengusap tangan Senara yang dingin karena angin pagi.Senara tersenyum kecil. “Gak apa-apa. Aku udah biasa kok.”Tapi Jati tahu, di balik senyuman itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Mungkin luka, mungkin kesepian. Mungkin perasaan kalah yang terus ia telan sendiri.“Kamu yakin gak apa-apa?” Jati menekankan lagi, seolah meminta izin bukan cuma pada mulut Senara, tapi pada hatinya juga.Senara mengangguk lebih mantap kali ini. “Yakin. Aku udah gede, Jati,” ujarnya mencoba bercanda.Jati tersen
Hari-hari berikutnya berjalan semakin berat bagi Senara. Bukan hanya soal perasaan yang masih berusaha ia tata bersama Jati, tetapi juga beban pekerjaan di kantor yang mendadak meningkat drastis.Sejak ia kembali bekerja pasca pernikahan, Senara merasakan suasana kantor berubah. Rekan-rekan sekantor yang dulu ramah, kini mulai terlihat menjauh. Bahkan beberapa kolega yang dulu sering mengajaknya makan siang, perlahan mulai menghindar.Awalnya, ia mengira itu hanya perasaannya saja. Tapi seiring waktu, perlakuan mereka makin nyata. File kerjaan yang tiba-tiba menumpuk di mejanya, padahal itu bukan bagiannya. Deadline yang mendadak dimajukan. Dan yang paling menyakitkan: gosip bertebaran.Di pantry, ia sempat mendengar beberapa orang membicarakannya."Katanya sih cowoknya kabur sebelum nikah. Terus dia asal comot cowok dari jalanan buat tutupin malu," ujar salah satu rekan, bisik-bisik tapi cukup keras."Eh, seriusan? Gila sih kalau bener. Gue juga denger katanya c
Sore itu, langit Jakarta mulai mendung. Senara baru saja selesai mengemas barang-barang di mejanya. Sebentar lagi jam pulang, dan seperti janji pagi tadi, Jati akan menjemputnya. Namun, entah kenapa sejak makan siang, perasaannya gelisah. Ada firasat tak enak yang hinggap, tapi tak bisa ia jelaskan. Baru saja ia berdiri dan hendak menuju lift, suara itu menghentikan langkahnya. "Senara..." Langkahnya terhenti. Tubuhnya kaku. Ia mengenali suara itu, bahkan detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Dengan ragu, Senara menoleh. Dan di sana, berdiri seseorang yang sempat ia anggap akan menjadi masa depannya. Bima. Dengan kemeja biru tua yang terlihat sangat rapi dan wajah yang sedikit lebih tirus dari terakhir kali ia lihat, Bima berdiri dengan mata yang terlihat sayu. "Selamat ya..." ucapnya pelan. Senara menatapnya datar, tidak menjawab.