Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.
“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang. Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya. Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya. Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa. Jati menghela napas. “Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?” Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur. __ Gedung pernikahan sore itu terasa begitu hangat. Balon-balon putih menghiasi langit-langit, bunga segar tertata rapi di sepanjang lorong masuk, dan lantunan musik akustik pelan mengisi ruang. Semua terlihat sempurna. Kecuali satu hal calon pengantin pria belum juga muncul. Senara duduk sendirian di ruang rias, wajahnya tertunduk. Jemarinya bergetar. Seharusnya hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya, namun yang ia rasakan justru kecemasan yang membuat perutnya mual. Ia tak yakin bisa bertahan lama lagi dengan senyum pura-pura. Tok… tok… Pintu dibuka perlahan. Ibu Senara, Bu Ayu, masuk dengan senyum kecil yang mulai cemas. Di belakangnya, Nanda kakak perempuan Senara ikut menatap adiknya yang masih sendiri di balik gaun pengantin. “Nduk,” suara Bu Ayu pelan, “kenapa kamu sendiri? Mana calon suamimu?” Senara hanya bisa menahan napas. Tangannya mengepal di pangkuan. Ia mencoba menjawab, tapi tenggorokannya serasa dikunci. Matanya mulai berkaca-kaca. “Iya dek… tamunya udah rame,” sahut Nanda, mencoba tetap tenang meski nadanya mulai tegang. “Dia lagi…” Senara tercekat. Tak bisa melanjutkan. Apa ia harus bilang yang sebenarnya? Bahwa dua hari lalu calon suaminya lari dengan mantannya? Bahwa seluruh pernikahan ini yang dibiayai dengan susah payah oleh ayahnya di kampung sebenarnya sudah batal, tapi ia tak sanggup menghentikan semuanya? Dadanya terasa sesak. Namun sebelum ia sempat mengucap apapun, suara klik terdengar dari arah pintu utama aula. Pintu besar yang menghubungkan ruang rias dan area pelaminan terbuka perlahan, dan semua mata pun serentak menoleh. Tampaklah Jatidaru, berdiri tegap dengan setelan jas abu keperakan yang membuat siluet tubuhnya makin tajam. Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tersisir rapi ke belakang. Di belakangnya, tiga orang pria berjalan sebagai pengiring sahabat-sahabatnya yang dari semalam membantunya menyiapkan semuanya. Satu langkah Jati memasuki ruangan, dan ruangan yang sebelumnya gemuruh kini mendadak senyap. Jika kemarin Senara bertemu Jati dengan tampilan badboy jaket jeans, celana robek, dan wajah dingin, hari ini sosok itu telah berubah. Begitu elegan. Begitu dewasa. Seolah-olah seluruh luka masa lalunya telah berubah menjadi karakter, bukan dendam. Senara berdiri, tubuhnya hampir limbung. Matanya melebar. Jantungnya berdetak tak karuan. Benarkah itu Jati? Ia tampak berbeda. Aura tenang tapi kuat. Gaya berjalan yang percaya diri. Pandangan mata yang tegas. “Maaf Tante,” suara Jati terdengar sopan, “saya terlambat. Tadi mobilnya sedikit ada problem.” Ia segera menjabat tangan Bu Ayu dengan mantap, lalu bersalaman dengan semua keluarga besar Senara satu per satu. Tak satupun dari mereka yang tahu bahwa Jati bukan calon suami asli dalam undangan. Tapi tak satupun juga yang bisa menyangkal ia tampak sangat pantas berdiri di sana. Bukan hanya Senara yang terdiam terpukau, tapi juga seluruh kerabat yang hadir. Semua seolah berpikir sama: Inikah menantu yang akan bergabung dengan keluarga mereka? Wajah Jati memang tak seperti pria Jawa kebanyakan. Matanya coklat terang, hidungnya mancung, rahangnya tegas. Perpaduan darah Jawa tulen dari ayahnya dan darah Inggris dari ibunya membentuk visual yang nyaris seperti aktor luar negeri. Tapi bukan itu yang mencuri perhatian. Yang paling menonjol dari Jati adalah ketenangan dan sikap dewasanya. Sikap yang tidak dibuat-buat. Ketulusan yang mengalir tanpa perlu dijelaskan. Di tempatnya berdiri, Senara hanya bisa menatap. Pandangannya berkabut oleh air mata. Tapi kali ini bukan karena sedih. Ia hanya… tidak percaya. Lelaki yang dulu ia sayangi saat masih remaja, kini berdiri di hadapannya, menggenggam tanggung jawab yang bukan miliknya. Menjadi penyelamat di saat semua pintu terasa tertutup. Dan Jati hanya menatap balik Senara dengan senyum kecil yang mengandung sejuta rasa. Senyum yang berkata, "Gue di sini. Gak akan lari." ~To be continue...Senara dan Jati masih duduk di sofa, dalam keheningan yang berbeda. Bukan canggung, bukan kosong, tapi hangat. Keheningan yang diisi oleh degup jantung yang perlahan selaras. Pandangan mereka bertemu, saling menatap lama.Senara mengedip pelan. Tatapan matanya yang biasanya kuat dan tegas, malam ini justru terasa rapuh, namun tulus. Sementara Jati… tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah perempuan di hadapannya. Perempuan yang dulu ia cintai dalam sunyi masa remaja, dan kini, takdir mempertemukan mereka kembali dalam status yang lebih dari sekadar cinta monyet sebagai suami istri.Tak ada satu pun kata keluar.Tapi ketika Senara menyentuh pipi Jati perlahan, dan Jati membalas dengan mengecup jemari itu lembut, segalanya jadi jelas: ada cinta yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya.Jati membelai rambut Senara, menyibakkan helaian kecil yang jatuh di keningnya. “Kamu cantik banget malam ini,” bisiknya.Senara hanya tersenyum kecil, gugup, tapi hatinya ber
Tiga hari terasa panjang bagi Senara. Sepi. Hampa. Dan sunyi—bahkan suara televisi yang biasanya menemani pun terasa seperti gema tak bersuara. Selama tiga hari itu pula, ia benar-benar mencoba berpura-pura kuat. Tapi setiap malam, bantal menjadi saksi betapa berat bebannya.Hari itu, saat awan Jakarta mulai menggelap, suara mesin motor sport menghentikan langkah kaki Senara yang baru saja pulang kerja. Ia menoleh ke arah sumber suara. Helm full face itu dilepas perlahan, menampilkan wajah lelah tapi hangat. Jati."Assalamu'alaikum," sapa Jati pelan.Senara hanya mengangguk kecil, "Wa’alaikumsalam.""Baru pulang?" tanya Jati, melangkah mendekat sambil menggendong tas ransel besar."Iya. Tadi kerjaan cukup padat," jawabnya sambil berjalan ke arah pintu apartemen. Jati menyusul.Sesampainya di dalam, Jati meletakkan tasnya dan langsung merebahkan diri di sofa sambil menghembuskan napas panjang."Capek banget sumpah," gumamnya. "Tapi kangen kamu lebih berat.
Di sebuah rumah joglo yang megah, berarsitektur khas Jawa, berdiri anggun di tengah hamparan sawah yang menghijau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan wangi teh tubruk dari dapur belakang. Rumah itu tidak hanya menyimpan kenangan masa kecil Jati, tapi juga menjadi tempat paling sakral baginya tempat di mana ia selalu pulang, untuk menemukan akar dirinya.Di tengah pendapa yang luas dan sejuk, tampak seorang pria muda bersimpuh di depan seorang lelaki tua bersorban putih dan bertongkat kayu jati. Wajah tua itu masih bersinar meski keriput telah menjajah kulitnya. Tatapannya tajam, namun penuh bijaksana. Dialah Kakek Lesmana, tokoh sentral keluarga, pengusaha tanah air yang kini memilih hidup tenang di pedesaan.Sementara cucunya, Jatidaru, tak lain adalah pewaris keluarga dan hari ini, ia bersujud seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri ketan dari dapur.“Oh ayolah, Kek… plis. Jangan durhaka sama cucu! Ini demi masa depan rumah tangga cucu kakek ini
Sinar matahari belum terlalu menyengat saat Jati dan Senara berdiri di depan kantor tempat Senara bekerja. Mobil yang akan membawa Jati ke bandara sudah menunggu tak jauh dari sana.Jati menatap wajah Senara dengan tatapan ragu, seolah masih berat meninggalkannya, apalagi di tengah situasi yang tak sepenuhnya baik.“Aku harus ke Jogja hari ini. Kayaknya bakal dua hari, mungkin tiga. Paling lama satu minggu,” ujar Jati pelan sambal mengusap tangan Senara yang dingin karena angin pagi.Senara tersenyum kecil. “Gak apa-apa. Aku udah biasa kok.”Tapi Jati tahu, di balik senyuman itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Mungkin luka, mungkin kesepian. Mungkin perasaan kalah yang terus ia telan sendiri.“Kamu yakin gak apa-apa?” Jati menekankan lagi, seolah meminta izin bukan cuma pada mulut Senara, tapi pada hatinya juga.Senara mengangguk lebih mantap kali ini. “Yakin. Aku udah gede, Jati,” ujarnya mencoba bercanda.Jati tersen
Hari-hari berikutnya berjalan semakin berat bagi Senara. Bukan hanya soal perasaan yang masih berusaha ia tata bersama Jati, tetapi juga beban pekerjaan di kantor yang mendadak meningkat drastis.Sejak ia kembali bekerja pasca pernikahan, Senara merasakan suasana kantor berubah. Rekan-rekan sekantor yang dulu ramah, kini mulai terlihat menjauh. Bahkan beberapa kolega yang dulu sering mengajaknya makan siang, perlahan mulai menghindar.Awalnya, ia mengira itu hanya perasaannya saja. Tapi seiring waktu, perlakuan mereka makin nyata. File kerjaan yang tiba-tiba menumpuk di mejanya, padahal itu bukan bagiannya. Deadline yang mendadak dimajukan. Dan yang paling menyakitkan: gosip bertebaran.Di pantry, ia sempat mendengar beberapa orang membicarakannya."Katanya sih cowoknya kabur sebelum nikah. Terus dia asal comot cowok dari jalanan buat tutupin malu," ujar salah satu rekan, bisik-bisik tapi cukup keras."Eh, seriusan? Gila sih kalau bener. Gue juga denger katanya c
Sore itu, langit Jakarta mulai mendung. Senara baru saja selesai mengemas barang-barang di mejanya. Sebentar lagi jam pulang, dan seperti janji pagi tadi, Jati akan menjemputnya. Namun, entah kenapa sejak makan siang, perasaannya gelisah. Ada firasat tak enak yang hinggap, tapi tak bisa ia jelaskan. Baru saja ia berdiri dan hendak menuju lift, suara itu menghentikan langkahnya. "Senara..." Langkahnya terhenti. Tubuhnya kaku. Ia mengenali suara itu, bahkan detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Dengan ragu, Senara menoleh. Dan di sana, berdiri seseorang yang sempat ia anggap akan menjadi masa depannya. Bima. Dengan kemeja biru tua yang terlihat sangat rapi dan wajah yang sedikit lebih tirus dari terakhir kali ia lihat, Bima berdiri dengan mata yang terlihat sayu. "Selamat ya..." ucapnya pelan. Senara menatapnya datar, tidak menjawab.