Share

Bab 7

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-06-17 12:46:25

Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.

“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang.

Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya.

Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya.

Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa.

Jati menghela napas.

“Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?”

Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur.

__

Gedung pernikahan sore itu terasa begitu hangat. Balon-balon putih menghiasi langit-langit, bunga segar tertata rapi di sepanjang lorong masuk, dan lantunan musik akustik pelan mengisi ruang. Semua terlihat sempurna. Kecuali satu hal calon pengantin pria belum juga muncul.

Senara duduk sendirian di ruang rias, wajahnya tertunduk. Jemarinya bergetar. Seharusnya hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya, namun yang ia rasakan justru kecemasan yang membuat perutnya mual. Ia tak yakin bisa bertahan lama lagi dengan senyum pura-pura.

Tok… tok…

Pintu dibuka perlahan. Ibu Senara, Bu Ayu, masuk dengan senyum kecil yang mulai cemas. Di belakangnya, Nanda kakak perempuan Senara ikut menatap adiknya yang masih sendiri di balik gaun pengantin.

“Nduk,” suara Bu Ayu pelan, “kenapa kamu sendiri? Mana calon suamimu?”

Senara hanya bisa menahan napas. Tangannya mengepal di pangkuan. Ia mencoba menjawab, tapi tenggorokannya serasa dikunci. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Iya dek… tamunya udah rame,” sahut Nanda, mencoba tetap tenang meski nadanya mulai tegang.

“Dia lagi…” Senara tercekat.

Tak bisa melanjutkan. Apa ia harus bilang yang sebenarnya? Bahwa dua hari lalu calon suaminya lari dengan mantannya? Bahwa seluruh pernikahan ini yang dibiayai dengan susah payah oleh ayahnya di kampung sebenarnya sudah batal, tapi ia tak sanggup menghentikan semuanya?

Dadanya terasa sesak.

Namun sebelum ia sempat mengucap apapun, suara klik terdengar dari arah pintu utama aula.

Pintu besar yang menghubungkan ruang rias dan area pelaminan terbuka perlahan, dan semua mata pun serentak menoleh.

Tampaklah Jatidaru, berdiri tegap dengan setelan jas abu keperakan yang membuat siluet tubuhnya makin tajam. Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tersisir rapi ke belakang. Di belakangnya, tiga orang pria berjalan sebagai pengiring sahabat-sahabatnya yang dari semalam membantunya menyiapkan semuanya.

Satu langkah Jati memasuki ruangan, dan ruangan yang sebelumnya gemuruh kini mendadak senyap.

Jika kemarin Senara bertemu Jati dengan tampilan badboy jaket jeans, celana robek, dan wajah dingin, hari ini sosok itu telah berubah. Begitu elegan. Begitu dewasa. Seolah-olah seluruh luka masa lalunya telah berubah menjadi karakter, bukan dendam.

Senara berdiri, tubuhnya hampir limbung. Matanya melebar. Jantungnya berdetak tak karuan.

Benarkah itu Jati?

Ia tampak berbeda. Aura tenang tapi kuat. Gaya berjalan yang percaya diri. Pandangan mata yang tegas.

“Maaf Tante,” suara Jati terdengar sopan, “saya terlambat. Tadi mobilnya sedikit ada problem.”

Ia segera menjabat tangan Bu Ayu dengan mantap, lalu bersalaman dengan semua keluarga besar Senara satu per satu. Tak satupun dari mereka yang tahu bahwa Jati bukan calon suami asli dalam undangan. Tapi tak satupun juga yang bisa menyangkal ia tampak sangat pantas berdiri di sana.

Bukan hanya Senara yang terdiam terpukau, tapi juga seluruh kerabat yang hadir. Semua seolah berpikir sama: Inikah menantu yang akan bergabung dengan keluarga mereka?

Wajah Jati memang tak seperti pria Jawa kebanyakan. Matanya coklat terang, hidungnya mancung, rahangnya tegas. Perpaduan darah Jawa tulen dari ayahnya dan darah Inggris dari ibunya membentuk visual yang nyaris seperti aktor luar negeri. Tapi bukan itu yang mencuri perhatian.

Yang paling menonjol dari Jati adalah ketenangan dan sikap dewasanya.

Sikap yang tidak dibuat-buat. Ketulusan yang mengalir tanpa perlu dijelaskan.

Di tempatnya berdiri, Senara hanya bisa menatap. Pandangannya berkabut oleh air mata. Tapi kali ini bukan karena sedih. Ia hanya… tidak percaya.

Lelaki yang dulu ia sayangi saat masih remaja, kini berdiri di hadapannya, menggenggam tanggung jawab yang bukan miliknya. Menjadi penyelamat di saat semua pintu terasa tertutup.

Dan Jati hanya menatap balik Senara dengan senyum kecil yang mengandung sejuta rasa.

Senyum yang berkata, "Gue di sini. Gak akan lari."

~To be continue...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona sang MANTAN   TAMAT

    Sudah lewat beberapa minggu sejak malam pesta penyambutan itu, dan sejak hari itu pula ritme hidup Senara dan Jati berubah pelan-pelan. Tidak drastis, tidak dramatis tapi perlahan, seperti pagi yang datang setelah malam panjang.Dan hari ini… adalah hari pertama Jati memutuskan untuk mengambil cuti penuh hanya untuk istrinya.Senara terbangun dengan aroma wangi kopi yang biasanya ia buat sendiri. Tapi pagi ini berbeda.Ada suara gaduh kecil dari dapur bunyi spatula beradu, dentingan piring, dan gumaman frustasi seseorang yang tampaknya sedang berjuang dengan masakan.Dengan rambut masih berantakan, Senara turun dari tempat tidur.Saat ia masuk ke dapur, pemandangan lucu menyambutnya.Jati berdiri dengan celemek bunga-bunga milik Senara.Telurnya gosong setengah, roti panggangnya terlalu cokelat, dan dapur sedikit berantakan.Jati menoleh, senyum muncul.“Pagi, sayang. Aku… masak sarapan.” Senara tertawa kecil sambil menahan wajahnya agar tidak men

  • Pesona sang MANTAN   Bab 37

    Senara mendongak, menatap mata Jati yang penuh ketulusan. “Aku percaya, Jati.”Jati mengusap pipinya, lalu menempelkan keningnya pada kening Senara. Kedekatan itu membuat seluruh ruangan seakan menghilang, menyisakan hanya mereka berdua.“Dan aku janji…” Senara menambahkan pelan, “aku juga nggak akan lari lagi.”Jati tersenyum, menutup mata sejenak menikmati kehangatan momen itu.Lalu… tiba-tiba seseorang dari belakang menyalakan confetti dan lagu bahagia memenuhi ruangan. Semua orang bersorak, sementara Senara dan Jati hanya tertawa tawa bahagia yang mengalir tanpa bisa ditahan.Malam itu, mereka bukan hanya saling menerima… tapi menyatukan dua hati yang sama-sama pernah takut, dan akhirnya sama-sama berani.Kerumunan perlahan kembali hidup, tapi aura hangat di sekitar Jati dan Senara tak hilang sedikit pun. Semua orang masih mencuri pandang, tersenyum, bahkan beberapa ibu-ibu dari divisi lain terlihat sibuk mengelap air mata haru.Jati masih m

  • Pesona sang MANTAN   Bab 36

    Senara menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak kecil yang hampir lolos.Beberapa staf wanita mulai mengusap mata.Ada yang memegang dada.Ada juga yang bisik-bisik sambil menahan iri.“Masya Allah… istrinya beruntung banget.”“CEO baru kok sweet gini.”“Aku nangis sumpah.”“Standar suami langsung naik.” Namun perhatian Jati hanya untuk satu orang.“Senara…”Ia menggenggam tangan istrinya pelan, penuh hormat, seakan menyentuh sesuatu yang rapuh.“Aku ingin kita terus berjalan bareng.Susah, senang, semua.” Ia menunduk sedikit, menatap cincin itu. “Makanya… terimalah cincin ini. Sebagai tanda bahwa apa pun posisi aku di dunia luar…”Ia mengangkat wajahnya. Tatapan itu menghantam Senara seperti pelukan.“…di rumah, aku tetap suamimu. Orang yang mencintai kamu tanpa batas.”Satu detik.Dua detik.Hening sempurna.Senara akhirnya melepaskan napas suara pecah dan bergetar.“Jati…” suaranya sama lembutnya seperti

  • Pesona sang MANTAN   Bab 35

    Kerumunan perlahan bubar, berganti dengan suara-suara kecil para karyawan yang saling memuji acara. Namun bagi Senara, semuanya terdengar jauh dan bergema. Tubuhnya kaku, napasnya pendek, dan wajahnya memanas karena emosi yang berbaur kacau. Wina menyenggol bahunya pelan, “Ra… Ra… itu suami kamu beneran, kan? Astaga… kamu nggak pernah bilang dia CEO perusahaan lain! Keren banget! Eh—Ra?” Senara tak menjawab. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah panggung yang baru saja ditinggalkan Jati. Hingga… Langkah sepatu mengarah tepat ke arahnya. Tegas, tenang, dan sangat ia kenal. Wina langsung mundur panik. “A—aku minggir dulu ya!” Ia melarikan diri sebelum Senara sempat menahan. Dan kini, di hadapannya, berhenti hanya berjarak kurang dari satu meter, berdiri sosok yang baru saja disoraki seluruh ruangan. Jati. Dengan jas terlalu mahal untuk disentuh

  • Pesona sang MANTAN   Bab 34

    Sementara itu, di ruang VIP Jati berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas hitam elegan. Dasi disesuaikan oleh asistennya. “Pak, semuanya sudah siap. Nanti Bapak masuk setelah MC membuka acara.” Jati mengangguk, tapi wajahnya tegang. “Asisten,” katanya pelan. “Begitu saya masuk… tolong mundur sedikit dari saya.” “Baik, Pak.” Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Senara… semoga kamu tidak marah. Aku tidak bermaksud merahasiakan ini. Aku hanya ingin melihat kamu bekerja tanpa beban. Tanpa favoritisme. Tanpa rasa sungkan karena suamimu bos besar. Bagian dadanya terasa berat. Acara pun Dimulai MC naik ke panggung. “Selamat pagi dan selamat datang pada acara penyambutan CEO baru perusahaan kita!” Seluruh ruangan bertepuk tangan. Senara berdiri di sisi panggung, mencatat detail. Semuanya berjalan lancar sejauh ini. “Dan kini, kita sambut bersama… pemimpin baru p

  • Pesona sang MANTAN   Bab 33

    Ruang ballroom hotel sudah mulai dipenuhi kru persiapan. Lampu-lampu sorot dinyalakan, dekor panggung dicoba satu per satu, dan para staf perusahaan berdiri dengan clipboard di tangan.Senara berdiri di tengah ruangan, rambutnya diikat asal-asalan. Wajahnya tampak lelah tapi fokus.“Cahaya nomor tiga, terlalu terang. Turunin sedikit,” katanya sambil menunjukkan layar di tabletnya.“Backdrop-nya juga… itu huruf Welcome Our New CEO miring, tolong benerin!”Para vendor mengangguk, bergerak cepat begitu mendengar nada suara Senara yang tegas.Beberapa staf mendekat.“Bu Senara, rundown acara untuk besok sudah final?”“Ada revisi dari Bu Rika, Bu,” tim HR menambahkan.Senara menggigit bibirnya. “Ya Allah, revisi lagi?”Namun ia mengangguk. “Oke, email ke aku, sekarang.”Sementara itu, di sudut ruangan, Jati memperhatikan dalam diam. Ia datang tanpa memberi tahu istrinya, berdiri bersama direksi lain, seolah hanya observer perusahaan. Masker dan kac

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status