Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 200. Jejak yang Tertinggal  

Share

200. Jejak yang Tertinggal  

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2025-03-22 21:07:20

Lila masih berdiri kaku di halaman rumah, matanya terpaku ke jendela kamar. Sosok Arif dan bayangan-bayangan lainnya memang sudah menghilang, tapi perasaan tidak enak masih mencengkeram dadanya.

Di sampingnya, Jatinegara tetap diam, tatapannya kosong seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang.

Dimas menyentuh bahu Lila, menyadarkannya. "Kita pergi dari sini sekarang."

Lila menelan ludah, lalu mengangguk. Ia menggandeng Jatinegara menuju mobil Dimas. Saat mereka akan masuk, Jatinegara tiba-tiba menoleh lagi ke arah rumah.

"Ibu..."

Lila menegang. "Kenapa, sayang?"

Jatinegara mengangkat tangannya, menunjuk ke pintu rumah yang setengah terbuka. "Ayah belum ikut dengan kita."

Dimas dan Lila bertukar pandang. Dimas berbisik tegas, "Jangan dengarkan dia, Lila. Kita pergi sekarang."

Tapi sebelum Lila sempat merespons, angin kencang tiba-tiba berhembus dari dalam rumah. Pintu depan berderak keras, kemudian.

BRAK!

Pintu itu menutup sendiri dengan suara yang menggema. Seolah ada
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   201. Jalan Menuju Malam Kematian  

    Suara langkah kaki di luar rumah semakin jelas. Seolah ada lebih dari satu makhluk yang sedang mengitari mereka.Lila menahan napas. Tangan dinginnya mencengkeram erat bahu Jatinegara yang duduk diam di pangkuannya.Dimas sudah berdiri dengan posisi waspada, sementara Ustadz Harman tetap duduk tenang, meski matanya tajam menatap ke arah pintu.Lalu…Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi mencengkeram jiwa. Sama seperti yang Lila dengar di rumahnya tadi malam.Tapi kali ini, suara itu diiringi oleh bisikan. "Lila… keluarlah…"Napas Lila tercekat. ”Itu suara Arif, tidak mungkin Arif sudah mati.”Dimas menoleh padanya, tatapannya mengisyaratkan sesuatu. ’Jangan dengarkan.’Namun, suara itu kembali bergema—lebih pelan, lebih dingin. "Jatine

    Last Updated : 2025-03-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   202. Gerbang Menuju Kegelapan

    Langit telah sepenuhnya gelap ketika Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara tiba di jalan setapak yang menuju hutan tempat Desa Srengege konon berada.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Lila mengeratkan genggamannya pada tangan Jatinegara, sementara Dimas menyalakan senter untuk menerangi jalan.Ustadz Harman berjalan paling depan. Suaranya tenang, tapi tegas. "Sekali kita masuk, kita tidak bisa berbalik sebelum waktunya tiba."Lila menelan ludah. "Berarti… kita hanya bisa keluar setelah ritual selesai?"Ustadz Harman mengangguk. "Benar. Desa Srengege hanya muncul di malam Jumat Kliwon, dan akan menghilang sebelum fajar. Jika kita masih ada di dalam saat matahari terbit… kita tidak akan pernah kembali."Lila merasakan jantungnya mencelos.Dimas menoleh ke arah mereka. "Kalau begitu, kita harus cepat."Ustadz Harman melangkah ke depan, dan mereka mengikuti.Langkah pertama memasuki hutan terasa

    Last Updated : 2025-03-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah   203. Jembatan yang Tak Terlihat

    Lila berdiri di tepian jurang, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir terasa menyakitkan.Di hadapannya, Ustadz Harman berdiri tegak di atas sesuatu yang tak kasat mata. Seolah-olah ada lantai yang menyangga tubuhnya, meskipun yang terlihat hanyalah kegelapan yang menganga lebar."Jangan ragu," kata Ustadz Harman dengan suara tenang. "Jika kau ragu, kau akan jatuh."Lila menelan ludah. Tangannya berkeringat saat menggenggam erat Jatinegara, yang berdiri diam di sampingnya.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke depan. Cahaya terang itu melayang… tanpa menyentuh apa pun. Seolah-olah tidak ada yang bisa dipijak."Ini gila," gumamnya. "Tidak ada jembatan di sini."Ustadz Harman menoleh padanya. "Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada."Lila menarik napas dalam. Tidak ada pilihan lain.Ia menatap wajah Jatinegara yang pucat dalam cahaya remang. "Jati, kamu percaya sama Ibu?"Jatinegara mengangguk pelan.Lila menggenggam tangannya lebih erat. Lalu…Ia mengangkat kakinya d

    Last Updated : 2025-03-24
  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

    Last Updated : 2025-03-25
  • Pesugihan Kandang Bubrah   205. Pintu ke Neraka  

    Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah

    Last Updated : 2025-03-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah   206.  Kandang Jiwa yang Terkurung

    Gerbang kayu besar itu menutup dengan suara menggelegar, seolah ada sesuatu yang mengunci mereka di dalam.Lila menahan napas. Udara di dalam Kandang Bubrah lebih berat dibandingkan dengan di luar. Ada bau tanah basah bercampur anyir yang menusuk hidung, membuatnya hampir muntah.Jatinegara menggenggam tangan Lila lebih erat. Anak itu berbisik pelan, "Ibu… kita tidak sendiri di sini."Lila menoleh ke arah Jatinegara. Matanya.Mata Jatinegara berubah lagi, hitam pekat. Lila hampir menjerit. Tapi sebelum ia bisa bergerak, suara Arif kembali terdengar."Lila…" Mereka semua menoleh.Arif masih berdiri di depan mereka. Tapi kini, senyumnya lebih lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia."Akhirnya kau datang," bisiknya. "Aku sudah menunggumu begitu lama."Lila merasakan kakinya melemas.

    Last Updated : 2025-03-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah   207. Pilihan Terakhir

    Tanah di bawah kaki mereka terus bergetar, semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang akan muncul dari dalam kegelapan.Sosok-sosok tak bernyawa yang mengelilingi mereka mulai bergerak lebih cepat, langkah-langkah mereka tidak menimbulkan suara, tetapi udara di sekitarnya bergetar oleh keberadaan mereka.Dimas mencengkeram bahu Lila. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"Tapi ke mana?Di mana jalan keluar?Arif masih berdiri di tengah kegelapan, tersenyum, seolah menikmati penderitaan mereka."Kalian tidak bisa lari," katanya, suaranya terdengar tenang, tetapi menusuk seperti pisau tajam. "Tempat ini akan tetap ada… selama dia masih hidup."Mata Arif beralih ke Jatinegara.Jatinegara menggigil dalam pelukan Lila. "Ibu… aku takut…"Lila merasakan jantungnya seperti diremas.

    Last Updated : 2025-03-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   208. Luka yang Tak Terlihat

    Lila masih berlutut di tanah, tangannya erat menggenggam Jatinegara. Air matanya mengalir deras, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar dari bibirnya.Di depannya, tempat yang dulunya adalah Kandang Bubrah kini hanya tanah kosong, seolah-olah tidak pernah ada apa pun di sana sebelumnya.Tidak ada rumah.Tidak ada gerbang.Tidak ada jejak keberadaan makhluk-makhluk yang pernah menguasai tempat itu.Dan tidak ada Arif.Dimas berdiri di sampingnya, napasnya masih tersengal akibat berlari. Ia menoleh ke Ustadz Harman yang berdiri diam, matanya tertuju pada tempat yang baru saja mereka tinggalkan."Sudah berakhir, kan?" tanya Dimas pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah kosong itu lama, lalu mengangguk perlahan."Ya… tapi ada harga yang harus dibayar."

    Last Updated : 2025-03-29

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   Terima kasih ya, Teman-teman....

    Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   262. Menjelang Senja

    Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l

  • Pesugihan Kandang Bubrah   261. Surat yang Tak Pernah Terkirim

    "Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   260. Antara Kenangan dan Kenyataan

    Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   259. Tangan yang Menyatu

    Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar

  • Pesugihan Kandang Bubrah   258. Selimut Pagi

    Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg

  • Pesugihan Kandang Bubrah   257. Langit yang Terbuka

    "Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si

  • Pesugihan Kandang Bubrah   256. Bisikan Terakhir

    Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny

  • Pesugihan Kandang Bubrah   255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status