MasukAlarm di ponsel Diana berbunyi pukul lima pagi, memecah keheningan kamar yang masih gelap. Dia menggeliat malas di tempat tidur, matanya masih berat. "Gila, ini masih subuh banget," gerutunya sambil mematikan alarm. Tapi komitmen untuk latihan fisik bersama teman-teman membuatnya terpaksa bangun dan bersiap-siap.
Kelompok mereka sudah sepakat untuk latihan rutin setiap hari Senin sampai Jumat, mulai pukul setengah enam pagi di pusat kebugaran dan lintasan lari Senayan. Ucok yang paling bersemangat dengan program latihan ini, bahkan dia sudah membuat jadwal terperinci dan target harian untuk masing-masing anggota. Diana sampai di titik pertemuan pukul setengah enam dengan mata masih sembab dan rambut diikat asal-asalan. Firman sudah menunggu sambil peregangan ringan, terlihat segar dengan pakaian olahraga yang rapi. "Pagi, Di! Lo kelihatan masih ngantuk banget nih," sapanya sambil tersenyum, membuat jantung Diana berdebar. "Pagi juga, Man. Gue nggak biasa bangun sepagi ini," jawab Diana sambil menguap. "Biasanya akhir pekan aja gue bangun jam sembilan." Firman terkekeh melihat tingkah Diana yang masih mengantuk, dia memberikan sebotol air mineral dingin. "Nih minum dulu, biar agak melek." Margareta datang dengan membawa tas olahraga yang lengkap dan tertata rapi. Di dalamnya ada handuk, botol minum, batangan protein, bahkan alat pengukur detak jantung. "Gue udah riset metode latihan paling tepat buat pendakian gunung," katanya sambil mengeluarkan catatan di ponselnya. "Kita fokus ke daya tahan jantung, kekuatan kaki, sama kestabilan inti tubuh." Ucok tiba paling terakhir dengan motor sportnya, langsung parkir dan berlari kecil menuju kelompok. "Maaf terlambat, tadi macet di Semanggi," katanya sambil masih jogging di tempat. "Oke, sekarang kita pemanasan dulu, lalu latihan kardio 30 menit, latihan kekuatan 20 menit, pendinginan 10 menit." "Cok, lo ini pelatih beneran atau gimana?" tanya Deri sambil tertawa. "Kok detail banget programnya." Ucok mengangkat bahunya dengan bangga. "Gue kan atlet, tau lah gimana cara melatih fisik yang bener." Latihan hari pertama dimulai dengan lari keliling lintasan Senayan. Ucok memimpin di depan dengan langkah yang stabil, diikuti Firman dan Margareta yang bisa menjaga irama dengan baik. Diana dan Deri tertinggal di belakang, sudah terengah-engah setelah satu putaran. "Gila, kok kalian kuat banget sih," keluh Diana sambil memegang pinggang yang mulai sakit. "Di, pelan-pelan aja dulu. Nggak usah maksa," kata Firman sambil melambatkan larinya untuk menyesuaikan dengan Diana. "Yang penting konsisten, kecepatannya bisa ditingkatkan bertahap." Sikap perhatian Firman membuat Diana merasa hangat di hati. Setelah lima putaran, mereka pindah ke pusat kebugaran untuk latihan kekuatan. Ucok mendemonstrasikan berbagai latihan yang fokus pada otot kaki dan inti tubuh. "Jongkok angkat 3 set 15 kali, langkah maju 3 set 12 kali tiap kaki, papan 3 set 30 detik," instruksinya dengan serius. Diana benar-benar kesulitan dengan program yang ditentukan Ucok. Setelah set pertama jongkok angkat, kakinya sudah gemetar dan napasnya tidak teratur. "Gue nggak kuat lagi nih, Cok. Badan gue rasanya mau copot," keluhnya sambil duduk istirahat. "Jangan menyerah, Di! Gue bantuin lo," kata Firman sambil menghampiri Diana. "Gimana kalau kita kurangin jumlahnya dulu? Yang penting gerakannya bener." Dia berdiri di samping Diana, memberikan panduan dan motivasi. "Ayo, lo pasti bisa. Gue temani." Margareta mendekati latihan ini dengan sangat sistematis. Dia mencatat setiap latihan, berapa kali yang berhasil dilakukan, detak jantung sebelum dan sesudah latihan, bahkan mencatat tingkat kelelahan dalam skala satu sampai sepuluh. "Gue mau lacak kemajuan kita setiap hari," jelasnya. Deri yang memang nggak terbiasa olahraga berat terus mengeluh sepanjang sesi. "Buat apa sih capek-capek gini? Kan nanti di gunung juga ada porter yang bawa barang berat," gerutunya sambil istirahat setelah papan 10 detik. "Der, lo nggak ngerti. Stamina itu penting banget buat mendaki," jawab Ucok dengan sabar. "Nanti kalau lo nggak kuat di tengah jalan, gimana?" Latihan hari kedua, Diana datang dengan lebih siap. Dia sudah sarapan yang benar dan membawa batangan energi. "Kemarin gue langsung tumbang pas sampai rumah, tidur dari jam 8 malam," katanya sambil tertawa. "Tapi ternyata badan gue nggak sepegal yang gue kira." "Itu tandanya tubuh lo udah mulai menyesuaikan," kata Firman sambil bantu Diana peregangan. "Hari ini kita tambah intensitas sedikit ya." Dia menunjukkan gerakan peregangan yang benar, sesekali memperbaiki posisi Diana dengan sentuhan lembut. Margareta mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan. "Berdasarkan data kemarin, pemulihan detak jantung gue udah lebih cepat," lapornya sambil menunjukkan grafik di ponselnya. "Dan gue bisa menyelesaikan semua set tanpa istirahat tambahan." Hari ketiga, kelompok sudah mulai menemukan irama latihan yang lebih solid. Ucok tetap jadi pemimpin dengan stamina yang luar biasa, tapi dia lebih sabar sama yang lain. "Gue liat peningkatan kalian hari ini bagus banget," komentarnya setelah sesi. "Apalagi Diana, lo udah bisa selesaikan satu set penuh jongkok angkat." Diana merasa bangga dengan kemajuannya, tapi yang paling membahagiakan adalah perhatian dari Firman. "Man, makasih ya udah sabar bantuin gue," katanya setelah latihan selesai. "Lo bener-bener mendukung banget." Firman tersenyum lebar mendengarnya. "Sama-sama, Di. Kita kan tim." Latihan hari keempat, Deri mulai menunjukkan kemajuan meski masih banyak mengeluh. "Oke baiklah, gue akuin latihan ini ada gunanya juga," katanya sambil berhasil lari empat putaran tanpa berhenti. "Kemajuan lo juga bagus kok, Der," kata Margareta sambil memperbarui catatan kemajuan di ponselnya. "Detak jantung lo udah lebih stabil, waktu pemulihan juga meningkat." Jumat, latihan terakhir minggu pertama, suasana kelompok sudah jauh lebih solid dan saling mendukung. Diana berhasil menyelesaikan seluruh latihan tanpa bantuan tambahan, keluhan Deri berkurang drastis, Margareta terus mengoptimalkan metode berdasarkan data, dan Ucok makin bangga sama perannya sebagai pelatih. "Guys, gue kagum banget sama kemajuan kita minggu ini," kata Firman setelah sesi pendinginan. "Dari yang awalnya Diana hampir pingsan, Deri ngomel terus, sekarang kalian udah bisa ngikutin." Dia memeluk masing-masing anggota kelompok dengan bangga. "Ini bener-bener pembangunan tim yang nyata." "Minggu depan kita naik level lagi ya," kata Ucok sambil membereskan tas olahraganya. "Gue mau kenalin simulasi mendaki pakai tas ransel berbobot." Yang lain langsung mengeluh mendengar rencana Ucok yang lebih menantang. Di perjalanan pulang, Diana naik motor bersama Firman karena motornya lagi diservis. "Man, terima kasih banget buat minggu ini. Lo sabar banget ngajarin gue," katanya sambil memeluk pinggang Firman dari belakang. "Gue mulai ngerasa percaya diri buat perjalanan Rinjani." "Lo sama-sama, Di. Gue seneng banget liat kemajuan lo," jawab Firman sambil fokus menyetir. "Dan jujur aja, gue suka ngabisin waktu bareng lo kayak gini." Kata-kata yang sederhana tapi sangat berarti buat Diana. Malam itu masing-masing dari mereka tidur dengan perasaan puas. Persiapan fisik minggu pertama berhasil diselesaikan, ikatan tim makin kuat, dan tingkat kepercayaan diri untuk petualangan Rinjani meningkat tajam. Tapi yang paling penting, mereka mulai membentuk dinamika sebagai tim yang solid. Ucok sebagai pemimpin alami dan motivator, Margareta sebagai perencana strategis dan analis data, Firman sebagai koordinator yang suportif, Diana sebagai yang butuh dukungan ekstra tapi tekun, dan Deri sebagai penghibur yang tetap berkontribusi. Latihan minggu pertama ini menjadi dasar penting untuk perjalanan yang akan mengubah hidup mereka. Yang mereka belum tahu adalah tantangan sesungguhnya di Rinjani akan jauh melampaui apa pun yang bisa mereka persiapkan.Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe
Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr
Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be
"Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul
Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y
Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk







