"Assalamu'alaikum ...," salam Rendi seraya masuk ke dalam. Tatapan tajam dihadiahkan kepada Rendi. Bahkan sang ayah mertua bak serigala yang akan menelan mangsanya. Rendi menelan ludah, tatapan tak bersahabat membuatnya gugup dan bingung. Apa salahnya hingga ia diberi sambutan seperti itu? Kenapa juga Naya menangis? Kalimat itu menari-nari di kepala bapak beranak dua itu. "Untuk apa kamu datang lagi ke sini?" Suara Ahmad menggelegar bagai halilintar yang menyambar. Rendi terdiam, masih tak tahu dengan maksud sang ayah mertua. Sedikit ragu ia letakkan tas di atas kursi tamu. Lalu segera berjalan mendekat ke arah Naya. Dia masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Ahmad. Bukankah kemarin Ahmad memintanya tinggal di sini? Namun kenapa sekarang justru memintanya pergi dari sini? "Ada apa ini, Pak? Kenapa bapak meminta saya pergi? Bukankah kemarin bapak yang meminta saya untuk tinggal di sini?" ucap Rendi pelan. Dada Ahmad naik turun, emosi sudah memenuhi hati lelaki berkulit
Pov RendiAku mengerjapkan mata perlahan. Sorot lampu begitu menyilaukan netra ini. Kembali ku tutup sepasang indera pengelihatan yang Allah berikan. Lalu membukanya sedikit demi sedikit.Ku pindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Bau obat-obatan tercium saat pintu kamar di buka. Seorang wanita berambut sebahu berjalan mendekati ku. Dari penampilan dia bukan suster atau pun dokter. Lalu dia siapa? "Mas, sudah siuman? Saya panggilkan dokter. Tunggu sebentar, Mas!" Wanita itu kembali ke luar dari ruang rawat inapku. Tak berselang lama pintu kembali terbuka. Wanita tadi datang bersama seorang dokter dan seorang suster. Suster berpakaian serba putih dengan sigap mengukur tekanan darahku. Aku hanya diam meski banyak tanda tanya dalam kepala ini. "Masih pusing, Pak?" tanya dokter setelah memeriksaku menggunakan stetoskop. "Masih dok," ucapku pelan. "Ini karena benturan di kepala, Bapak. Tapi tidak ada luka yang berat. Kalau sudah tidak pusing,besok pagi bapak boleh pulang."
Aku kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Ku tutup wajahku dengan bantal yang sudah terasa keras. Sengaja ku lakukan agar tangis ini tak terdengar emak atau pun bapak. Aku tidak mau bapak semakin membenci Mas Rendi. Ingin aku bercerita pada siapa saja agar beban yang ku pikul sedikit berkurang. Namun lagi dan lagi aku harus menjadi istri yang mampu menutup aib suami. Sekali pun itu sangat menyakitkan. Sikap ibu mertua yang kejam memang menyakitkan. Namun jauh lebih menyakitkan saat melihat suami berduaan dengan wanita lain. Berkali-kali aku beristighfar dalam hati. Mencoba menahan gejolak rasa yang menyesakkan rongga dada. Aku harus menghubungi Mas Rendi. Aku butuh penjelasan darinya. Segera ku ambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas ranjang. Ku pencet dua belas digit nomor suamiku. Namun nomor Mas Rendi tidak aktif? Apa dia sengaja bersenang-senang dengan wanita itu? Ya Allah.... Di saat aku hamil seperti ini justru Mas Rendi tengah asyik bersama wanita lain.
"Ehem...." Suara deheman membuat Naya dan Rendi saling menjauh. Seketika wajah suami istri itu memerah. Mereka malu dilihat Ahmad tengah bermesraan meluapkan rasa rindu yang beberapa hari membelenggu. "Sudah lama kamu di sini, Ren?" tanya Ahmad datar. Rasa marah dan kecewa masih singgah di dalam hatinya. Saat Ahmad melihat Rendi luka itu kembali terbuka lebar. Ucapan sang besan kembali terngiang di telinga. Sungguh Naya tak pernah ada artinya di mata keluarga besar Rendi terutama Yanti. Namun sekuat tenaga Ahmad menekan perasaan itu. Ahmad takut Naya mengetahui luka di hatinya. Ahmad kembali menurunkan ego. Di tatapnya wajah putri satu-satunya itu. Senyum merekah tergambar jelas di wajah pucatnya. Jauh berbeda saat Rendi tak ada di sini. Empat hari ia lewati dengan murung dan menangis. Mana mungkin Ahmad tega melihat putrinya menangis lagi. "Motor kamu mana, Ren?" tanya Ahmad masih dengan suara datar. Rendi menelan saliva dengan susah payah. Nada bicara Ahmad membuat Rendi keta
Pov Rendi"Gak boleh! Ibu tidak mengizinkan kamu tinggal di sana!" ucap ibu lantang seraya menatapku tajam. "Kenapa ibu tak mengizinkanku tinggal untuk beberapa bulan di sana? Rendi janji akan sering ke sini. Lagi pula ada Mbak Ambar juga kan? Kasihan istri dan anak Rendi, Bu," ucapku pelan. Aku ingin ibu mengerti dan mengizinkanku. Bagaimana pun aku seorang ayah dan suami. Sudah pasti istri dan anak harus ku utamakan. "Pokonya ibu tidak mengizinkan, titik!" Ibu meninggalkan kamar sambil menghentak-hentakkan kaki. Sudah persis anak kecil yang merajuk saat keinginannya tidak dituruti. Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur. Ku tinggalkan seragam kerja yang belum ku masukkan semuanya. Ucapan ibu mengusik hati dan pikiranku. Hingga aku engan memasukkan pakaian ke dalam ransel. Sebagai seorang anak, aku tak ingin membantah perkataan ibu. Namun aku juga tidak mungkin meninggalkan istri dan anak-anakku.Ku tatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Tangis Naya tiba-tiba ada di sana. La
Sudah tiga minggu Rendi tinggal di rumah Ahmad. Sampai hari ini Rendi belum menghubungi Yanti. Rasa kecewa dan marah membuatnya memilih menghindar da ri keluarga yang membesarkannya itu. Sebagai seorang suami ia wajib melindungi istri dan anak-anaknya meski dari keluarganya sendiri.Sengaja Rendi memilih menghindari Yanti dan Ambar. Dia ingin ibu dan kakaknya menyadari kesalahan yang mereka perbuat. Meski justru kebalikannya. Sikap Rendi yang cuek membuat Yanti kian marah dan benci kepada Naya dan keluarganya.“Mas,kamu tidak ke rumah ibu?” tanya Naya saat mereka berada di dalam kamar.Rendi membalikkan badan,ditatap lekat manik bening sang istri. Dia ingin menyelami apa maksud perkataan Naya. Tak ada sorot keterpaksaan dalam matanya. “Mas belum ingin bertemu ibu,” ucap Rendi seraya menatap genting yang terdapat sarang laba-laba.Rumah Ahmad tidak memiliki internit,setiap kali menatap atas akan terlihat jelas kayu dan genting. Bahkan warna genting mulai menghitam. Ya,semenjak ruma
"Semua gara-gara pecahan kaca itu! Kaki Alisa jadi seperti ini!" pekik Ambar setelah sampai di rumahnya. Yanti diam bingung harus mengatakan apa? Sejujurnya dia merasa bersalah kepada sang cucu. Karena emosi membuat cucunya menderita seperti itu. Namun Yanti enggan untuk mengakui kesalahan. Apa lagi di depan anak dan cucunya. Dia tidak mau harga dirinya turun karena sebuah kata maaf."Ibu sih main pecahin vas bunga sembarangan. Alisa jadi korbannya kan?" ucap Ambar lantang seraya menatap tajam manik bening sang ibu. Lagi dan lagi Yanti hanya bisa diam. Toh apa yang dikatakan Ambar memang benar. Semua karena kecerobohan yang ia lakukan. Kalau saja dia tak melempar vas, mungkin semua tak akan seperti ini. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Peribahasa itu yang cocok disematkan kepada Yanti dan Ambar. "Semua salah Naya. Kalau Rendi mau memberi jatah bulanan, pasti semua tak akan seperti ini," kilah Yanti. Dia mengkambing hitamkan Naya atas kesalahan yang ia lakukan. Amb
Pov Rendi"Senyum muluk, Ren. Bahagia banget kayaknya. Habis dapat jatah ya?" ledek Jalu sambil tersenyum cekikikan."Libur dulu," jawabku lalu memasukkan nasi ke dalam mulut."Kasihan dianggurin, Ren!" ledek Jalu lagi."Gak apa-apa, yang terpenting istri dan janin di dalam perut sehat. Tak masalah jika suami harus puasa berbulan-bulan.""Hahaha...." Jalu semakin tertawa terbahak-bahak. Bahkan kini kami menjadi pusat perhatian satu kantin."Diem, Jal!" Ku tendang kakinya yang ada di bawah meja. Seketika Jalu meringis kesakitan. Sakit kan! Siapa suruh berisik terus!"Sakit, Ren!" protesnya seraya memegangi kaki yang terkena tendanganku.Aku diam, memilih melanjutkan makan siangku yang tinggal beberapa suap. Jalu menghembuskan nafas kasar melihat aku cuek dan tidak memperhatikan ucapannya."Tapi benar deh, Ren. Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat bahagia. Tak seperti biasanya yang selalu masam." Jalu menatapku lekat.Tidak bisa dipungkiri semenjak tinggal bersama Emak dan Bapak hidupku