Beranda / Rumah Tangga / Petaka Dua Garis Merah / Menggugurkan Kandungan

Share

Petaka Dua Garis Merah
Petaka Dua Garis Merah
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Menggugurkan Kandungan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-12 14:00:29

"Bagaimana, Nay?" tanya ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. 

Aku menelan ludah dengan susah payah sambil memberikan sebuah benda kecil dengan dua garis merah terpampang jelas di sana. Aku baru saja melakukan cek urine dengan menggunakan tespek, dan hasilnya positif. Aku hamil lagi. 

"Ya ampun, Naya! Kenapa kamu ceroboh begini! Bisa-bisanya hamil lagi!"

Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapan ibu. Namun sebisa mungkin tak kumasukan ke hati. Aku sudah tahu ini akan terjadi. 

Setelah melempar taspek, ibu berjalan keluar rumah. Aku tak tahu ke mana beliau pergi. 

"Ini, di minum!" 

"Apa ini Bu?"

"Obat pelancar haid. Kamu telat satu minggu kan?"

DEG

Tubuhku luruh di lantai keramik. Dadaku terasa sesak mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun yang lalu. Mataku terasa panas hingga bulir bening nan hangat mengalir begitu saja. 

Ku cubit tangan kiri berulang kali, berharap apa yang baru saja ku dengar hanya keliru. 

"Tak usah khawatir,anak Bu Hani saja telat sepuluh hari langsung mens kok. Ibu yakin obat itu ampuh!"

Ya Robb, ternyata aku tak salah dengar. Bahkan dengar jelas ibu memintaku meminum obat pelancar haid padahal aku tengah mengandung. 

"Ta-tapi Naya sudah positif Bu."

"Halah baru telat satu minggu saja, belum tentu positif."

Sesak. Hanya itu yang memenuhi dadaku. Untuk bernafas saja terasa begitu berat. Bagaimana bisa beliau berkata seperti itu, sedang tadi pagi beliau sendiri yang memintaku melakukan tespek. Dan beliau menyaksikan dua garis merah tergambar jelas di sana. 

Ya Allah... 

Bagaimana bisa beliau berkata demikian? Bukankah beliau juga seorang ibu?

Bukankah janin yang aku kandung adalah cucu kandungnya? 

Berbagai petanyaan memenuhi pikiranku. Apa aku seorang menantu yang tak diharapkan? Hingga ibu begitu tega berkata demikan padaku. 

"Naya sudah hamil,bu. Meski baru telat satu minggu, tapi usia kandungan sudah lima minggu," ucapku lirih mencoba memberi penjelasan kepada beliau. 

Usia kehamilan di hitung dari hari pertama haid terakhir. Kira-kira usia kandunganku saat ini sekitar lima sampai enam minggu. Itu yang ku tahu cara menghitung usia kandungan. Bidan desa yang mengajariku saat aku hamil si kembar. 

"Belum ada nyawanya kan?" Enteng beliau bicara seakan janin dalam kandunganku tak berarti apapun untuknya. 

"Besok, ibu belikan nanas. Kamu makan yang banyak!" Lagi beliau bicara tanpa menghargai bagaimana perasaanku saat ini. 

Baru pertama aku mendengar ada nenek yang tega ingin menggugurkan cucu kandungnya. Entah alasan apa yang membuat ibu memiliki ide g*la seperti itu. 

"Naya tidak mau, Bu! Janin yang Naya kandung adalah titipan Allah. Naya tidak akan menggugurkannya!" ucapku parau  sambil menitihkan air mata. 

Hanya air mata yang mewakili rasa sakit hati ini. Ingin ku maki tapi aku sadar diri. Di rumah ini aku hanya seorang pendatang yang harus menghormati tuan rumah. Meski kenyataannya statusku adalah seorang menantu. Namun tak pernah sedikitpun mengurangi penilaian ibu, jika aku hanya orang asing. yang masuk ke dalam keluarganya

"Apa kamu tidak mikir! Salwa dan Salma masih berumur dua tahun dan kamu hamil lagi. Mau di kasih makan apa? Rendi hanya bekerja di pabrik, mana cukup gajinya untuk membiayai hidup kalian!"

Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Mas Rendi memang hanya bekerja di pabrik. Gaji dua juta lima ratus ribu selalu habis padahal kami tindak mengontrak. Itu lantaran gaji itu untuk biaya makan ibu, mas Rendi, aku dan anak kembarku. 

Bukankah anak membawa rejeki masing-masing. Aku yakin Allah akan menambah rejeki untuk kami. Hanya kenapa ibu seolah takut jika anak yang aku kandung akan menambah beban hidup kami. 

Astagfirullah... 

"Ibu sudah katakan berulang kali untuk ikut program keluarga berencana (KB) tapi kamu kekeh tak mau. Sekarang lihat sendiri kan akibatnya! Anak kamu masih kecil Nay, butuh kasih sayang dan materi bukan butuh seorang adik!" Ibu masih menyudutkanku. 

Apa Ibu lupa, aku sudah mencoba KB berbagai jenis. Entah itu pil dan suntik. Bahkan yang terakhir aku memasang iud tapi iud begeser dan terpaksa harus melepasnya. 

"Naya sudah coba KB, bu. Tapi tidak ada yang cocok."

"Alasan saja kamu!"

Aku diam tak menjawab. Percuma membela diri, kalau pada kenyataannya aku selalu di salahkan. Apa karena aku anak seorang butuh tani hingga ibu Atau karena aku hanya diam diri di rumah tak bekerja hingga hinaan selalu ibu lontarkan kepadaku? 

"Ibu antar ke dukun sekarang juga!" Ibu masih kekeh ingin menggugurkan janin yang aku kandung. 

Salah apa janin yang tak berdosa ini? Aku memang belum siap memiliki anak lagi. Namun Allah telah memberikannya. Tak, aku tak mungkin membuang janin yang bedosa ini. Dia adalah amanah yang Allah berikan untukku. Aku akan menjaga dan melindunginya hingga akhir hayat. 

"Naya tidak mau, Bu!" 

Ibu segera mencengkeram tangan kiriku. Menarik paksa tubuh ini. Ibu menang sudah berusia lima puluh empat tahun tapi tenaganya masih begitu kuat. 

Tolong Ya Robb, aku tak ingin melakukan dosa besar itu. 

"Naya tidak mau!" Ku singkirkan tangan ibu yang mencengkeram. Namun aku tak bisa. Tubuh ini terlalu lemah karena sudah dua hari selalu muntah. 

"Naya! Turuti kata orang tua! Mau jadi anak durhaka kamu!" teriaknya lantang. 

Menangis, hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini. Aku tak kuat melawan ibu. Kekuatan beliau seperti berlipat ganda. Entah setan apa yang merasukinya? 

"Bu... Mmm...," tangisan Salma begitu nyaring terdengar. 

Ibu diam sesaat memastikan suara Salma atau Salwa yang menangis. Tak membuang kesempatan ku tepis tangan ibu. Aku segera berlari menuju kamar. Tak ku perdulian ibu yang menatap nyalang ke arahku. 

Di dalam kamar Salma menangis karena saat membuka mata aku tak ada di sampingnya. Segera ku kunci pintu agar ibu tak bisa memaksaku pergi ke dukun. 

Ku gendong Salma menepuk perlahan pundaknya.Menenangkan putriku meski aku sendiri masih meneteskan air mata. 

Sesak masih memenuhi dada. Perkataan ibu masih begitu jelas terngiang di telinga. Bagaimana bisa beliau berkata demikian sedang beliau sendiri memiliki empat orang anak yang jaraknya dekat. 

Astagfirullah... 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Dua Garis Merah   Ending

    Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang

  • Petaka Dua Garis Merah   Telepon Rendi

    Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in

  • Petaka Dua Garis Merah   Kehilangan Hak Asuh Anak

    Naya luruh di lantai keramik, tubuhnya bergetar dengan air mata berbondong-bondong jatuh membasahi pipinya. Wanita berhijab navy itu tak pernah menyangka mahligai yang ia bina harus berakhir karena kesalahpahaman semata. Naya diam, mulutnya kelu tak mampu mengucapkan kata apa pun. Bahkan untuk membela dirinya sendiri saja, dia tak bisa. Hanya air mata yang menggambarkan betapa hancur hatinya. "Astagfirullah... Istighfar, Ren. Jangan mudah mengatakan talak. Apa lagi dalam keadaan penuh amarah seperti ini," ucap Surti sambil memeluk tubuh Naya. "Eling, Ren. Perceraian itu hal yang paling dibenci Allah.""Tapi Allah tidak melarangnya, Mak.""Ya Allah, apa kamu tak memikirkan Salma dan Salwa? Harusnya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, bukan langsung mengatakan talak." Surti masih mencoba memberi pengertian kepada Rendi. Dia berharap menantunya bisa merubah keputusan itu. Namun nampaknya usaha Surti akan sia-sia saja. Rendi seolah tak mendengar perkataan mertuanya. Lelaki

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 27

    Pintu di ketuk perlahan oleh Arif,sementara Naya memilih duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Pandangan wanita itu kosong,tak ada gurat kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. Mendung masih bergelayut di matanya hanya menunggu waktu air itu akan terjun bebas dan membasahi pipi putihnya.“Assalamualaikum ...,” ucap Arif seraya mengetuk pintu.Hening, tak ada jawaban dari balik pintu. Rumah Ahmad sepi tak berpenghuni. Maklum saja,kedua orang tua Naya masih sibuk di sawah. Mereka berdua tengah menunggu padi agar tak dimakan burung. Ya, padi yang ditanam Ahmad sudah menguning,tinggal menunggu beberapa hari padi-padi itu siap dipanen.“Bapak dan Emak pasti di sawah,Rif. Sebentar lagi mereka pasti pulang. Kamu duduk saja,Rif!” ucap Naya pelan. Arif mengangguk lalu menjatuhkan bobot di samping Naya.Beberapa saat mereka saling diam,sibuk dengan pikiran masing-masing. Naya masih terus memikirkan Salma dan Salwa. Setelah kehilangan calon anak,ia harus kembali merasakan kehilangan karen

  • Petaka Dua Garis Merah   Bab 26

    Naya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia berusaha menyesuaikan sorot lampu yang masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali ia pijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aw... Sakit," ucap Naya saat menggerakan tubuhnya. Bekas kuret meninggalkan rasa nyeri dalam perut. Satu demi satu bulir bening jatuh dari sudut netranya. Wanita berhijab maron itu kembali menangis sambil mengelus perut yang sudah datar. Sebagai seorang ibu, pukulan terberat ketika kehilangan anaknya. Dan itu yang kini Naya rasakan. Janin yang ia pertahankan hilang dalam sekejap mata. Semua itu karena tindakan ceroboh sang suami. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan karena telah lalai menjagamu," ucap Naya parau. Rendi membuka tirai perlahan. Spontan Naya mendongkakan kepala, sesaat mereka beradu pandang. Namun Naya segera membuang muka. Rasa marah dan kecewa membuatnya enggan berlama-lama menatap wajah suaminya. "Tunggu sebentar, Nay. Aku panggilkan dokter," ucap Rendi lalu kembali keluar. Naya bergeming, tak ada sepatah kata p

  • Petaka Dua Garis Merah   Keguguran

    "A--ada darah, Bu," ucap Rendi terbata sambil menunjuk ke arah kaki Naya. "Mas ... to-tolong," lirih Naya berucap, ia berusaha menahan sakit di bagian perut. “Bagaimana ini,Bu?” tanya Rendi panik,keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.“To-tolong,” lirih Naya hingga akhirnya dia tak sadarkan diri. Naya pingsan setelah tak kuat menahan rasa sakit di perut,seakan sesuatu yang ada di dalam memaksa keluar. Naya pendarahan. Rendi dan Yanti semakin panik,rintik hujan membuat jalan depan rumahnya semakin sepi. Kedua orang berbeda usia itu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa? Ambar dan putrinya tak ada di rumah. Mereka sedang berbelanja. Dengan cepat Rendi membopong tubuh Naya dan menidurkan di sofa ruang tamu.“Pesan taksi online,Ren!” Rendi mengangguk lalu segera berlari ke dalam untuk mengambil ponsel yang ada di kamarnya.Tangan Rendi mulai menari-nari di layar benda pipih miliknya. Dia fokus melihat ponsel berharap segera mendapatkan taksi untuk membawa Naya ke rumah saki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status