"Bagaimana, Nay?" tanya ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
Aku menelan ludah dengan susah payah sambil memberikan sebuah benda kecil dengan dua garis merah terpampang jelas di sana. Aku baru saja melakukan cek urine dengan menggunakan tespek, dan hasilnya positif. Aku hamil lagi. "Ya ampun, Naya! Kenapa kamu ceroboh begini! Bisa-bisanya hamil lagi!"Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapan ibu. Namun sebisa mungkin tak kumasukan ke hati. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Setelah melempar taspek, ibu berjalan keluar rumah. Aku tak tahu ke mana beliau pergi. "Ini, di minum!" "Apa ini Bu?""Obat pelancar haid. Kamu telat satu minggu kan?"DEGTubuhku luruh di lantai keramik. Dadaku terasa sesak mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun yang lalu. Mataku terasa panas hingga bulir bening nan hangat mengalir begitu saja. Ku cubit tangan kiri berulang kali, berharap apa yang baru saja ku dengar hanya keliru. "Tak usah khawatir,anak Bu Hani saja telat sepuluh hari langsung mens kok. Ibu yakin obat itu ampuh!"Ya Robb, ternyata aku tak salah dengar. Bahkan dengar jelas ibu memintaku meminum obat pelancar haid padahal aku tengah mengandung. "Ta-tapi Naya sudah positif Bu.""Halah baru telat satu minggu saja, belum tentu positif."Sesak. Hanya itu yang memenuhi dadaku. Untuk bernafas saja terasa begitu berat. Bagaimana bisa beliau berkata seperti itu, sedang tadi pagi beliau sendiri yang memintaku melakukan tespek. Dan beliau menyaksikan dua garis merah tergambar jelas di sana. Ya Allah... Bagaimana bisa beliau berkata demikian? Bukankah beliau juga seorang ibu?Bukankah janin yang aku kandung adalah cucu kandungnya? Berbagai petanyaan memenuhi pikiranku. Apa aku seorang menantu yang tak diharapkan? Hingga ibu begitu tega berkata demikan padaku. "Naya sudah hamil,bu. Meski baru telat satu minggu, tapi usia kandungan sudah lima minggu," ucapku lirih mencoba memberi penjelasan kepada beliau. Usia kehamilan di hitung dari hari pertama haid terakhir. Kira-kira usia kandunganku saat ini sekitar lima sampai enam minggu. Itu yang ku tahu cara menghitung usia kandungan. Bidan desa yang mengajariku saat aku hamil si kembar. "Belum ada nyawanya kan?" Enteng beliau bicara seakan janin dalam kandunganku tak berarti apapun untuknya. "Besok, ibu belikan nanas. Kamu makan yang banyak!" Lagi beliau bicara tanpa menghargai bagaimana perasaanku saat ini. Baru pertama aku mendengar ada nenek yang tega ingin menggugurkan cucu kandungnya. Entah alasan apa yang membuat ibu memiliki ide g*la seperti itu. "Naya tidak mau, Bu! Janin yang Naya kandung adalah titipan Allah. Naya tidak akan menggugurkannya!" ucapku parau sambil menitihkan air mata. Hanya air mata yang mewakili rasa sakit hati ini. Ingin ku maki tapi aku sadar diri. Di rumah ini aku hanya seorang pendatang yang harus menghormati tuan rumah. Meski kenyataannya statusku adalah seorang menantu. Namun tak pernah sedikitpun mengurangi penilaian ibu, jika aku hanya orang asing. yang masuk ke dalam keluarganya"Apa kamu tidak mikir! Salwa dan Salma masih berumur dua tahun dan kamu hamil lagi. Mau di kasih makan apa? Rendi hanya bekerja di pabrik, mana cukup gajinya untuk membiayai hidup kalian!"Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Mas Rendi memang hanya bekerja di pabrik. Gaji dua juta lima ratus ribu selalu habis padahal kami tindak mengontrak. Itu lantaran gaji itu untuk biaya makan ibu, mas Rendi, aku dan anak kembarku. Bukankah anak membawa rejeki masing-masing. Aku yakin Allah akan menambah rejeki untuk kami. Hanya kenapa ibu seolah takut jika anak yang aku kandung akan menambah beban hidup kami. Astagfirullah... "Ibu sudah katakan berulang kali untuk ikut program keluarga berencana (KB) tapi kamu kekeh tak mau. Sekarang lihat sendiri kan akibatnya! Anak kamu masih kecil Nay, butuh kasih sayang dan materi bukan butuh seorang adik!" Ibu masih menyudutkanku. Apa Ibu lupa, aku sudah mencoba KB berbagai jenis. Entah itu pil dan suntik. Bahkan yang terakhir aku memasang iud tapi iud begeser dan terpaksa harus melepasnya. "Naya sudah coba KB, bu. Tapi tidak ada yang cocok.""Alasan saja kamu!"Aku diam tak menjawab. Percuma membela diri, kalau pada kenyataannya aku selalu di salahkan. Apa karena aku anak seorang butuh tani hingga ibu Atau karena aku hanya diam diri di rumah tak bekerja hingga hinaan selalu ibu lontarkan kepadaku? "Ibu antar ke dukun sekarang juga!" Ibu masih kekeh ingin menggugurkan janin yang aku kandung. Salah apa janin yang tak berdosa ini? Aku memang belum siap memiliki anak lagi. Namun Allah telah memberikannya. Tak, aku tak mungkin membuang janin yang bedosa ini. Dia adalah amanah yang Allah berikan untukku. Aku akan menjaga dan melindunginya hingga akhir hayat. "Naya tidak mau, Bu!" Ibu segera mencengkeram tangan kiriku. Menarik paksa tubuh ini. Ibu menang sudah berusia lima puluh empat tahun tapi tenaganya masih begitu kuat. Tolong Ya Robb, aku tak ingin melakukan dosa besar itu. "Naya tidak mau!" Ku singkirkan tangan ibu yang mencengkeram. Namun aku tak bisa. Tubuh ini terlalu lemah karena sudah dua hari selalu muntah. "Naya! Turuti kata orang tua! Mau jadi anak durhaka kamu!" teriaknya lantang. Menangis, hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini. Aku tak kuat melawan ibu. Kekuatan beliau seperti berlipat ganda. Entah setan apa yang merasukinya? "Bu... Mmm...," tangisan Salma begitu nyaring terdengar. Ibu diam sesaat memastikan suara Salma atau Salwa yang menangis. Tak membuang kesempatan ku tepis tangan ibu. Aku segera berlari menuju kamar. Tak ku perdulian ibu yang menatap nyalang ke arahku. Di dalam kamar Salma menangis karena saat membuka mata aku tak ada di sampingnya. Segera ku kunci pintu agar ibu tak bisa memaksaku pergi ke dukun. Ku gendong Salma menepuk perlahan pundaknya.Menenangkan putriku meski aku sendiri masih meneteskan air mata. Sesak masih memenuhi dada. Perkataan ibu masih begitu jelas terngiang di telinga. Bagaimana bisa beliau berkata demikian sedang beliau sendiri memiliki empat orang anak yang jaraknya dekat. Astagfirullah... Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen.Aku masih duduk di kasur bawah. Sesekali menghapus bulir bening yang menetes membasahi pipi. Sesak masih memenuhi rongga dada. Apa aku salah ingin mempertahankan janin yang ku kandung? Lagi, air asin nan hangat mengalir tanpa bisa ku bendung. Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Sungguh kejam wanita yang bergelar ibu mertua itu padaku. Apa dia tak memiliki hati nurani hingga dia tega ingin menggugurkan janin yang ku kandung. Salma dah Salwa telah bangun dari tidur siangnya. Kedua anakku itu mengedipkan matanya perlahan. Lalu mencari keberadaan diriku. Si kembar memang selalu mencari keberadaan ibunya, setelah membuka mata. Mereka akan menangis saat tak menemukan diriku di samping mereka. Seperti tadi saat ibu memaksaku pergi ke dukun. Kedua anakku segera berjalan mendekatiku. Memeluk dan bermanja di tubuhku. Ini adalah moment yang suatu saat akan ku rindukan jika mereka telah tumbuh dewasa. Lagi bulir bening mengalir dari sudut netra. Bagaimana bisa aku mau melakukan permin
A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada batu yang mengganjal di dalam tenggorokan. Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. "Kamu kenapa,dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. "Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?""A-aku hamil, Mas." Ku tundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? Tak bisa dipungkiri, aku memang belum siap hamil lagi. Bayangan melahirkan si kembar masih tergambar jelas di pelupuk mata. Rasa sakit saat diinduksi seakan masih terasa. Namun apa mau dikata jika kenyataan aku sudah berbadan dua. Mau tak mau harus menerimanya dengan senang hati. Di luar sana banyak pasangan yang susah memiliki keturunan. Sedang diriku dengan mudah Allah memberikannya. Lalu masihkah ada alasan untuk menolak kehadiran malaikat kecil yang Tuhan titipkan. "Mas, kenapa kamu diam?" tanyaku memulai pembicaraan. "Tidak kenapa-napa d
"Naya!"Pyaarr!Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. "Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. "Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. "Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!""Na-Naya ....""Kamu memang menantu tak tahu diuntung! Sudah diangkat dari kemiskinan dan sekarang kamu berani mengadu pada Rendi!" Rambutku di tarik ke belakang. "Sa--sakit, Bu!" Ku pegang pangkal rambut agar rasa sakit sedikit berkurang. "Biar, biar kapok kamu!"Entah kenapa ibu seperti kesetanan. Menyiksaku di saat hamil begini. Sebenarnya apa kurangnya aku sebagai menantu hingga ibu suamiku masih saja membenciku. Apa karena aku dari keluarga miskin? Bukankah ibu juga tak kaya. Hanya memiliki rumah dan sawah peninggalan mendiang ayah Mas Rendi. Mas Rendi sendiri hanya bekerja di pabrik tekstil tak jauh dari sini. "Ampun, bu. Maafkan Naya,"
"Bu... Mm ...." Suara tangis Salma terdengar sampai di telinga Rendi yang asyik bermain bersama Salwa. Rendi tengah bermain kuda-kudaan bersama Salma. Lelaki berambut ikal itu merangkak dan Salwa duduk di punggungnya. Sudah persis seperti kuda. Tak ia hiraukan tangis sang buang hati. Ia tahu Naya pasti akan menenangkan tangis Salwa. Namun tangis itu tidak kunjung berhenti. Rendi mulai tersulut emosi. Ia mengira Naya tak becus mengurus anak. Dengan langkah kesal Rendi berjalan menuju kamar. Salwa masih menangis sesegukkan. Rendi melihat sekeliling, tak ia temukan sosok yang diharapkan bisa menenangkan Salwa. Kemana dia pergi, anak menangis dibiarkan saja. "Apa telinga Naya tuli hingga tak mendengar tangis Salwa. Keterlaluan! Kalau marah denganku jangan lapiaskan pada anak. Kasihan mereka tak tahu apa-apa tapi kena imbasnya," batin Rendi kesal. Rendi segera menggendong Salwa. Ditenangkannya sang buah hati. Tangan kanan menepuk pundak Salwa pelan. Memberi pengertian agar ia segera d
Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. "Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi."Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. "Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. "Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak cocok dengan daster lengan panjangku. Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri."Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. Ku jatuhkan
Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. Kemana perginya ibu dan anak-anak? Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tub
Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku bangun perlahan, kepalaku memang tak sepusing kemarin tapi tubuh masih lemas karena memang belum ada makan yang masuk. Setiap kali makan selalu keluar. Itu yang membuat tubuhku lemas. "Bangun, Mas!" Kusentuh pipi Mas Rendi. Suamiku menggeliat lalu membuka mata meski masih terasa berat. Melihatnya kelelahan dan kurang tidur membuatku kasihan. Salma dan Salwa semalam sedikit rewel,pasti kecapekan. Kalau seperti ini biasanya aku memijat kaki dan tangan menggunakan minyak zaitun hingga akhirnya mereka terlelap kembali. "Sudah bangun,Nay?" tanyanya sambil mengucek mata dengan kedua tangan. Aku tersenyum tipis. Ini kali pertama aku bangun sendiri setelah sakit beberapa hari yang lalu. "Shalat bareng yuk, dek. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah bersama." Kuanggukan kepala. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi diikuti Mas Rendi dari belakang.Mas Rendi sudah berada di mushola kecil tak jauh dari dapur. Sementara aku baru selesai
Aku dan Mas Rendi berjalan beriringan masuk ke rumah. Ransel dan tas di letakkan di samping kursi kami. Emak dan Bapak tak luput memperhatikan tas yang baru saja di letakkan suamiku. "Kenapa membawa ransel dan tas, Ren?" tanya bapak dengan mata masih memperhatikan tas. Aku dan Mas Rendi saling pandang, bingung harus menjawab apa? "Em, itu Mak, Pak ...." Mas Rendi diam. Bingung mau menjawab apa? Tak mungkin jika ia menjelekkan ibunya. Meski kenyataannya benar. Sejelek-jeleknya seorang ibu, seorang anak tak akan menjelekkan keburukan di depan orang lain. Apa lagi di depan mertuanya. Dan begitulah sifat Mas Rendi. "Naya mau tinggal di sini, Pak." Bapak menyatukan dua alis, nampak tak mengerti dengan ucapanku. "Maksudnya apa ini?" Kuhembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir gejolak yang ada di dalam dada. Tak mungkin ku jelaskan jika di rumah Mas Rendi aku diperlakukan buruk. Bahkan mertuaku ingin membunuh janin yang aku kandung. Mas Rendi nampak semakin gelisah. Lelaki bertubuh