Share

Petaka Dua Garis Merah
Petaka Dua Garis Merah
Author: Dyah Ayu Prabandari

Menggugurkan Kandungan

"Bagaimana, Nay?" tanya ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. 

Aku menelan ludah dengan susah payah sambil memberikan sebuah benda kecil dengan dua garis merah terpampang jelas di sana. Aku baru saja melakukan cek urine dengan menggunakan tespek, dan hasilnya positif. Aku hamil lagi. 

"Ya ampun, Naya! Kenapa kamu ceroboh begini! Bisa-bisanya hamil lagi!"

Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapan ibu. Namun sebisa mungkin tak kumasukan ke hati. Aku sudah tahu ini akan terjadi. 

Setelah melempar taspek, ibu berjalan keluar rumah. Aku tak tahu ke mana beliau pergi. 

"Ini, di minum!" 

"Apa ini Bu?"

"Obat pelancar haid. Kamu telat satu minggu kan?"

DEG

Tubuhku luruh di lantai keramik. Dadaku terasa sesak mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun yang lalu. Mataku terasa panas hingga bulir bening nan hangat mengalir begitu saja. 

Ku cubit tangan kiri berulang kali, berharap apa yang baru saja ku dengar hanya keliru. 

"Tak usah khawatir,anak Bu Hani saja telat sepuluh hari langsung mens kok. Ibu yakin obat itu ampuh!"

Ya Robb, ternyata aku tak salah dengar. Bahkan dengar jelas ibu memintaku meminum obat pelancar haid padahal aku tengah mengandung. 

"Ta-tapi Naya sudah positif Bu."

"Halah baru telat satu minggu saja, belum tentu positif."

Sesak. Hanya itu yang memenuhi dadaku. Untuk bernafas saja terasa begitu berat. Bagaimana bisa beliau berkata seperti itu, sedang tadi pagi beliau sendiri yang memintaku melakukan tespek. Dan beliau menyaksikan dua garis merah tergambar jelas di sana. 

Ya Allah... 

Bagaimana bisa beliau berkata demikian? Bukankah beliau juga seorang ibu?

Bukankah janin yang aku kandung adalah cucu kandungnya? 

Berbagai petanyaan memenuhi pikiranku. Apa aku seorang menantu yang tak diharapkan? Hingga ibu begitu tega berkata demikan padaku. 

"Naya sudah hamil,bu. Meski baru telat satu minggu, tapi usia kandungan sudah lima minggu," ucapku lirih mencoba memberi penjelasan kepada beliau. 

Usia kehamilan di hitung dari hari pertama haid terakhir. Kira-kira usia kandunganku saat ini sekitar lima sampai enam minggu. Itu yang ku tahu cara menghitung usia kandungan. Bidan desa yang mengajariku saat aku hamil si kembar. 

"Belum ada nyawanya kan?" Enteng beliau bicara seakan janin dalam kandunganku tak berarti apapun untuknya. 

"Besok, ibu belikan nanas. Kamu makan yang banyak!" Lagi beliau bicara tanpa menghargai bagaimana perasaanku saat ini. 

Baru pertama aku mendengar ada nenek yang tega ingin menggugurkan cucu kandungnya. Entah alasan apa yang membuat ibu memiliki ide g*la seperti itu. 

"Naya tidak mau, Bu! Janin yang Naya kandung adalah titipan Allah. Naya tidak akan menggugurkannya!" ucapku parau  sambil menitihkan air mata. 

Hanya air mata yang mewakili rasa sakit hati ini. Ingin ku maki tapi aku sadar diri. Di rumah ini aku hanya seorang pendatang yang harus menghormati tuan rumah. Meski kenyataannya statusku adalah seorang menantu. Namun tak pernah sedikitpun mengurangi penilaian ibu, jika aku hanya orang asing. yang masuk ke dalam keluarganya

"Apa kamu tidak mikir! Salwa dan Salma masih berumur dua tahun dan kamu hamil lagi. Mau di kasih makan apa? Rendi hanya bekerja di pabrik, mana cukup gajinya untuk membiayai hidup kalian!"

Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Mas Rendi memang hanya bekerja di pabrik. Gaji dua juta lima ratus ribu selalu habis padahal kami tindak mengontrak. Itu lantaran gaji itu untuk biaya makan ibu, mas Rendi, aku dan anak kembarku. 

Bukankah anak membawa rejeki masing-masing. Aku yakin Allah akan menambah rejeki untuk kami. Hanya kenapa ibu seolah takut jika anak yang aku kandung akan menambah beban hidup kami. 

Astagfirullah... 

"Ibu sudah katakan berulang kali untuk ikut program keluarga berencana (KB) tapi kamu kekeh tak mau. Sekarang lihat sendiri kan akibatnya! Anak kamu masih kecil Nay, butuh kasih sayang dan materi bukan butuh seorang adik!" Ibu masih menyudutkanku. 

Apa Ibu lupa, aku sudah mencoba KB berbagai jenis. Entah itu pil dan suntik. Bahkan yang terakhir aku memasang iud tapi iud begeser dan terpaksa harus melepasnya. 

"Naya sudah coba KB, bu. Tapi tidak ada yang cocok."

"Alasan saja kamu!"

Aku diam tak menjawab. Percuma membela diri, kalau pada kenyataannya aku selalu di salahkan. Apa karena aku anak seorang butuh tani hingga ibu Atau karena aku hanya diam diri di rumah tak bekerja hingga hinaan selalu ibu lontarkan kepadaku? 

"Ibu antar ke dukun sekarang juga!" Ibu masih kekeh ingin menggugurkan janin yang aku kandung. 

Salah apa janin yang tak berdosa ini? Aku memang belum siap memiliki anak lagi. Namun Allah telah memberikannya. Tak, aku tak mungkin membuang janin yang bedosa ini. Dia adalah amanah yang Allah berikan untukku. Aku akan menjaga dan melindunginya hingga akhir hayat. 

"Naya tidak mau, Bu!" 

Ibu segera mencengkeram tangan kiriku. Menarik paksa tubuh ini. Ibu menang sudah berusia lima puluh empat tahun tapi tenaganya masih begitu kuat. 

Tolong Ya Robb, aku tak ingin melakukan dosa besar itu. 

"Naya tidak mau!" Ku singkirkan tangan ibu yang mencengkeram. Namun aku tak bisa. Tubuh ini terlalu lemah karena sudah dua hari selalu muntah. 

"Naya! Turuti kata orang tua! Mau jadi anak durhaka kamu!" teriaknya lantang. 

Menangis, hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini. Aku tak kuat melawan ibu. Kekuatan beliau seperti berlipat ganda. Entah setan apa yang merasukinya? 

"Bu... Mmm...," tangisan Salma begitu nyaring terdengar. 

Ibu diam sesaat memastikan suara Salma atau Salwa yang menangis. Tak membuang kesempatan ku tepis tangan ibu. Aku segera berlari menuju kamar. Tak ku perdulian ibu yang menatap nyalang ke arahku. 

Di dalam kamar Salma menangis karena saat membuka mata aku tak ada di sampingnya. Segera ku kunci pintu agar ibu tak bisa memaksaku pergi ke dukun. 

Ku gendong Salma menepuk perlahan pundaknya.Menenangkan putriku meski aku sendiri masih meneteskan air mata. 

Sesak masih memenuhi dada. Perkataan ibu masih begitu jelas terngiang di telinga. Bagaimana bisa beliau berkata demikian sedang beliau sendiri memiliki empat orang anak yang jaraknya dekat. 

Astagfirullah... 

Jangan lupa tinggalkan jejak. Like dan komen. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status