Share

Tanggapan Rendi

Aku masih duduk di kasur bawah. Sesekali menghapus bulir bening yang menetes membasahi pipi. 

Sesak masih memenuhi rongga dada. Apa aku salah ingin mempertahankan janin yang ku kandung? 

Lagi, air asin nan hangat mengalir tanpa bisa ku bendung. Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Sungguh kejam wanita yang bergelar ibu mertua itu padaku.  Apa dia tak memiliki hati nurani hingga dia tega ingin menggugurkan janin yang ku kandung. 

Salma dah Salwa telah bangun dari tidur siangnya. Kedua anakku itu mengedipkan matanya perlahan. Lalu mencari keberadaan diriku. 

Si kembar memang selalu mencari keberadaan ibunya, setelah membuka mata. Mereka akan menangis saat tak menemukan diriku di samping mereka. Seperti tadi saat ibu memaksaku pergi ke dukun. 

Kedua anakku segera berjalan mendekatiku. Memeluk dan bermanja di tubuhku. Ini adalah moment yang suatu saat akan ku rindukan jika mereka telah tumbuh dewasa. 

Lagi bulir bening mengalir dari sudut netra. Bagaimana bisa aku mau melakukan permintaan ibu. Jika suatu saat janin yang ada dalam kandungan ku akan sebesar Salwa dan Salma. 

Aku tahu saat ini memang belum ada roh di dalamnya. Namun bukan berarti harus melenyapkannya tanpa ada alasan yang logis. 

Segera ku hapus air mata dengan telapak tangan. Aku tak ingin kedua putriku bertanya kenapa aku menangis. 

"Aem... Aem ...." Salwa menarik ujung dasterku. 

"Ama au aem ...." Salma ikut menarik daster lusuh yang ku kenakan. 

Kedua putriku memang belum lancar berbicara tapi keduanya sangat aktif hingga membuatku kelelahan saat menjaganya. 

"Aem ...," ucap mereka berdua serempak. 

Ku lihat benda bulat yang menempel di dinding. Pantas saja kedua putriku meminta makan karena sebentar lagi adzan dzuhur berkumandang. 

"Awa au aem."

Salwa mau maem. Itulah terjemahan dari ucapan Salwa. 

Aku masih terpaku, bingung harus keluar atau tidak. Aku takut ibu kembali memintaku pergi ke dukun bayi. Aku takut ibu nekad melakukan hal terkutuk itu. Tapi aku tak mungkin berdiam diri di kamar. Kedua anakku akan kelaparan jika kami tetap di sini. 

Dengan rasa takut, ku putar anak kunci ke kanan. Si kembar masih memegang daster yang ku kenakan. Perlahan pintu terbuka, dengan cepat kedua anakku menerobos keluar kamar. Mereka berdua seperti seekor burung yang keluar dari sangkar. Sementara aku berjalan dengan ketakutan. 

Jantungku dipacu cepat seakan ingin keluar dari tempatnya. Ku lihat kanan dan kiri, memastikan tak ada sosok ibu. Aman, tak ku temukan wanita yang tadi mencengkeram tanganku kuat. 

Melangkah lebih cepat mencari keberadaan Salwa dan Salma. Kedua putriku tengah asyik duduk di depan televisi yang menyala. Entah siapa yang menyalakan aku pun tak tahu. Tak mungkin putriku, karena remot masih ada di atas meja. 

Di rasa cukup aman, ku balik badan menuju meja makan. Mengambil sepiring nasi lalu menyiramnya dengan kuah sop yang tadi pagi ku masak. Hanya makaruni yang ada di atas nasi. Mereka memang tidak terlalu suka sayur. Setiap ada wortel atau kol pasti langsung di buang. 

Duduk di sebelah si kembar sambil menyuapi mereka. Tak ada drama saat mereka makan. Berbeda dengan putri Mbak Ambar yang selalu minta digendong sambil makan. 

Mbak Ambar adalah putri kedua ibu. Suamiku empat bersaudara. Yang pertama Mas Arda usianya 34 tahun. Kedua adalah Mbak Ambar yang usianya 32 tahun. Ketiga Mas Rendi 30 tahun. Dan yang terakhir adalah Arif 27 tahun. 

Ada tanda tanya besar dalam benakku. Ibu Mas Rendi memiliki empat anak yang jaraknya dekat. Namun kenapa beliau tak ingin aku hamil?  Ah, entahlah. Aku sendiri bingung dengan sikap beliau. 

"Bu, aakk ...." Salma menyenggol tanganku . Membangunkanku dari lamunan. 

Segera ku suapi si kembar sampai habis. 

Mencuci piring bekas Salma di wastafel. Tak lupa ku cuci sekalian beberapa gelas dan piring yang menumpuk. Ibu memang tak pernah mencuci piring kotor bekas makannya. Semua itu selalu ku kerjakan dari awal tinggal di rumah ini. 

"Sudah berani keluar kamu?" Aku terkejut hingga gelas yang ada di tangan lepas dari pegangan. Untung gelas plastik. Ibu bisa marah jika aku memecahkan gelas walau tanpa sengaja. 

"Katanya kamu hamil lagi, Nay?" Mbak Ambar tiba-tiba sudah ada di belakang ibu. 

"I-iya mbak, " jawabku terbata. 

"Kasihan si Rendi ya, sudah capek cari uang sendiri. Nah istrinya hanya bisa hamil, " sindirannya menusuk hatiku. 

Aku memang tak lagi bekerja di pabrik lantaran mengurus kedua putriku. Namun aku bukan berarti tak bekerja. Mencuci, menyapu, memasak dan mengepel. Apakah semua itu tidak termasuk bekerja? 

Aku bukan di rumah hanya diam diri atau tiduran. Ku kerjakan semua pekerjaan rumah meski tak pernah benar di mata ibu. 

"Harusnya kamu bisa cepat kerja bukan hanya hamil terus."

Aku hanya diam menahan air mata yang ingin lolos dari tempatnya. Pipi terasa hangat kala bulir bening tak lagi bisa ku bendung. Tanpa permisi aku pergi meninggalkan ibu dan Mbak Ambar. 

"Sadar diri, kamu hanya numpang di sini!" ucap Mbak Ambar lantang. 

Tak ku hiraukan. Segera ku ajak Salma dan Salwa bermain di dalam kamar. Aku lelah selalu mendengar hinaan dari kakak kandung Mas Rendi dan juga ibu. 

Rumah Mbak Ambar tepar di sebelah timur rumah ibu. Tak heran jika setiap saat dia selalu ada di rumah ini. 

Pekerjaan  suaminya yang berada di luar kota membuat wanita dengan rambut sebahu itu bisa leluasa mengusik hidupku. Entah kenapa dia begitu membenciku? 

Kreeekk

Suara gesekan pintu saat di buka dari luar. Aku masih sibuk memakaikan baju si kembar saat Mas Rendi masuk. 

Suamiku berjalan mendekat. Ku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu segera duduk di kasur bawah. Di kamar ini memang ada dua buah kasur berjajar. Kasur yang masih baru dipakai si kembar dan kasur kapuk yang sudah terasa keras untukku dan Mas Rendi. 

"Mas mau mandi atau makan dulu?" tanyaku karena Mas Rendi hanya diam mematung. 

Salma dan Salwa masih asyik bermain boneka di dalam kamar. 

"Kata ibu ada hal penting yang ingin kamu sampaikan dek?" 

Ku hembuskan nafas perlahan. Mengatur setiap kata yang akan ku ungkapkan. Ada rasa takut kalau ingin menyampaikan berita ini. Mas Rendi memang belum tahu jika aku tengah berbadan dua. Aku mengecek kehamilan saat dia sudah berangkat bekerja. Itupun karena desakan ibu Mas Rendi. 

"A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada baru yang mengganjal di dalam tenggorokan. 

Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. 

"Kamu kenapa dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. 

"Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?"

"A-aku hamil, Mas." Kutundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. 

Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? 

Kenapa Rendi diam saja ya? Apa yang akan terjadi dengan Naya selanjutnya. Jangan lupa like dan komen. 

Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lainnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status