Hatiku terenyuh oleh ucapan Mbak Vera yang menyebutkan bahwa dirinya adalah temanku. Di depan putri kandungnya sendiri. Namun tidak ada pilihan, terlalu dini bagi Yesha untuk mengetahui kebenarannya. Bagaimana jika dia bertanya, ke manakah ibunya selama ini? Mengapa harus berpisah dengan sang ayah? Terlalu rumit menjelaskan problematika orang dewasa terhadap anak sekecil itu. "Tante punya sesuatu untuk Yesha." Mbak Vera mendekat dan mengulurkan boneka merah muda berukuran sedang, pada gadis lemah yang setengah terbaring. "Makasih, Tante." Yesha langsung mendekap pemberian tersebut. Wanita di sampingku tak sanggup membendung kaca-kaca bening yang seaat kemudian membentuk butiran-butiran cair. Tak henti meluncur dari pipi mulusnya. Beruntung Yesha tak melihat karena bocah itu fokus pada benda di pelukan. "Sama-sama, Sayang." Mbak Vera buru-buru menyeka air mata. Keharuan ini buyar oleh getaran ponsel di saku gamis. Aku melangkah menjauh karena tertera nama Mas Riko di layar. "Hal
"Minggu depan kami ke Jogja, Mbak." Hari itu aku mengatur pertemuan lagi dengan Mbak Vera. Dalihku berbelanja di supermarket untuk belanja bulanan. Sengaja memilih waktu di jam kerja Mas Riko demi menghindari kecurigaan. "Oh, ya! Semuanya?" "Hanya saya dan Yesha. Mas Riko tidak bisa ikut karena kemarin sudah terlalu banyak mengambil cuti." "Berapa hari, Ran?" "Mungkin semingguan, Mbak." Aku tahu ada setitik kekecewaan di mata indah itu. Baru saja Yesha mulai nyaman dan terbiasa dengan Mbak Vera, meski dia belum tahu bahwa wanita tersebut adalah ibunya. Sekarang harus terpisah sementara waktu. Jam di ponsel menunjukkan waktu yang masih panjang sebelum jam pulang kantor. Kurasa masih bisa berlama-lama mengobrol dengan Mbak Vera. Sekaligus mengakrabkan ibu dan anak tersebut. Usai berbelanja, kami menyantap makanan cepat saji di depan supermarket. Yesha lahap memakan kue brownies buatan sang mama. Memunculkan kebahagiaan tersendiri hingga membuat kedua mata Mbak Vera berkaca-kaca.
"Eh, cucu eyang sudah datang!" Ibu mertuaku memeluk Yesha, melepas rindu. Ikatan batin antara cucu dengan nenek tersebut begitu kuat. Sepeninggal Mbak Vera, ibulah yang meneruskan merawat Yesha. Wajar beliau lebih dekat dengan anak itu dibandingkan cucu-cucu lainnya. "Piye kabarmu, Nduk?" Ibunda Mas Riko gantian memelukku. "Alhamdulillah baik, Buk. Ibuk sendiri sehat?" "Alhamdulillah. Ayo masuk dulu!"Wanita berdaster bunga-bunga tersebut membimbingku masuk istana masa kecil suamiku. Bangunan tersebut tidak terlalu besar, tetapi suasana sejuk dan asri dari pepohonan dan rumput hijau di sekitar menciptakan kenyamanan tersendiri. Di ruang tamu, sudah ada bapak mertuaku, dua saudara kandung mas Riko beserta istri-istrinya. Aku sudah tak terlalu canggung karena pernah bertemu saat resepsi pernikahan dulu. Beberapa menit bersalaman dan berbasa-basi, ibu menunjukkan sebuah kamar--tempatku beristirahat selama di sini. "Ini kamar suamimu, sekarang jadi kamarmu juga." Ibu membuka pintu d
"Ibu ... kok, beres-beresnya sendirian? Maaf, Ranty bangunnya kesiangan." Aku mendapati ibu mertua tengah menyibukkan diri di dapur yang semalam masih berantakan. Namun, pagi ini sebagian besar sudah dibereskan oleh Ibu. Malunya aku sebagai menantu yang bangun tidur belakangan. Ah! Semua gara-gara Mas Riko yang menelepon sampai tengah malam. "Enggak papa, Nduk. Ibu bisa maklum, pasti kamu juga kecapaian selama dua hari ini. Tadi saudara bapak pulang habis subuh, jadi Ibu sekalian bangun." Untung saja sisa makanan tadi malam masih banyak. Jadi untuk sarapan dan makan siang tak terlalu repot. Tinggal bersih-bersih rumah saja. Di dalam, karpet-karpet yang digelar di ruang tengah dan ruang tamu belum tergulung semua. Dibantu bapak mertua, akhirnya selesai lebih cepat. Tinggal menyapu dan mengepel saja. Sedang ayahanda Mas Riko berpindah ke halaman depan dan samping mengumpulkan sampah-sampah botol minum kemasan gelas yang tercecer di mana-mana. "Buk, kenapa Mbak Nurul dan Mbak Santi
"Cukup, Mas. Aku sudah kenyang." Aku menolak suapan bubur hangat yang disodorkan Mas Riko ke mulut ini. "Belum habis separuhnya, Ran. Harus dipaksakan. Kata Ibu, dari siang perutmu belum terisi." Lelaki itu tetap memaksa, tetapi belum sampai sendok itu mencapai mulut. Perutku kembali mual dan ingin mengeluarkan seluruh isinya. Beruntung aku bisa menahannya. "Oke, oke. Minum dulu!"Melihatku demikian, Mas Riko menyerah dan meletakkan mangkok tersebut di atas meja. Jujur, aku kasihan karena Ibu sudah bersusah payah membuatnya. Namun apa daya, perut ini belum bisa diajak kompromi. Teh hangat yang kuteguk hingga tersisa setengah gelas, lumayan menetralisir gejolak perutku tadi. "Mas tidur saja, ini sudah larut malam!" titahku. Mas Riko menggeleng, malah duduk bersandar di kepala ranjang dan meraih kepala ini agar merebah di pangkuannya. Lantas mengusap rambut yang kubiarkan tergerai tanpa balutan hijab. "Maaf, ya, Ran. Saya menyuruh kamu ke sini harusnya bisa sekalian untuk refreshi
"Maafkan Ibu, Ran. Kalau ibu tahu kamu hamil, gak bakalan ibu biarin kamu kecapaian." Ibu mertuaku mengelus-elus perut ini. Seakan menyesalkan sakitku kemarin. "Enggak, papa, Buk. Alhamdulillah, dokter bilang kalau Ranty dan calon cucu Ibuk baik-baik saja." Kuraih telapak tangan dengan jari-jari kurus itu, lantas memeluk dan menciumnya. Pagi ini, keluarga kecilku pulang lagi ke Tangerang. "Sehat-sehat, nggih, Pak!" Sekarang bergantian pamit dengan ayah mertua. "Hati-hati, Nduk! Jangan lupa kalau sudah sampai, langsung kabari bapak," pesan lelaki berpeci hitam tersebut. "Enggih, Pak." "Ko, jaga istri dan anakmu dengan baik. Kamu harus lebih sabar, biasanya perempuan hamil itu lebih sensitif. Kalau ngidam sesuatu, turutin! Jangan ditunda-tunda." Aku tersenyum simpul mendengar wejangan Ibu untuk anak lelakinya. "Enggih, Buk. Pasti Riko jagain baik-baik. Yesha, salim dulu sama eyang!" titah pria penyabar itu. Anak gadisku menuruti perintah sang ayah. Peluk cium dari kakek neneknya
"Welcome back, Bumil!" Risma memelukku erat, gemas, kangen campur bahagia. "Kok, tahu, sih?" Aku menepuk pundak Risma keheranan. Lantas melepaskan genggaman tangan Yesha, karena sudah sampai di depan kelasnya. "Kemarin aku ketemu sama Mira di mal. Cerita, deh, itu anak. Selamat, ya, Sayangku! Oleh-oleh dari Jogja ternyata luar biasa, gak kebayang gimana senengnya suamimu, Ran." Sahabatku terus menerus menyerocos sembari merangkul diri ini memasuki ruangan guru. "Jelas seneng banget, lah. Saking excited-nya sampai rempong banget ngelarang ini itu." Bagaimana tidak disebut rempong, capek dan mual sedikit saja sudah mengomel. Tidak boleh mengerjakan ini itu, tidak boleh makan sembarangan. Harus yang sesuai dengan anjuran dokter. "Aduh, so sweet banget, sih! Betewe, oleh-oleh buat aku mana?" Risma senyum-senyum sambil menaik-turunkan alisnya. "Tenang! Bukan cuma buat kamu aja. Tapi buat bunda-bunda di sini juga. Bagiin sana!"Aku mengeluarkan kotak-kotak kecil dalam plastik besar ya
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la