Malam Pertama "Jangan menunduk terus, Ran! Saya bercanda seperti itu biar kamu enggak tegang." Mas Riko mengangkat daguku, yang menyaksikan ikut senyam senyum. Mungkin terlihat manis, tapi aku malu setengah mati. Mungkin pewarna pipi ini bertambah merah akibat rona-rona yang tercipta oleh guyonan suamiku. Siapa yang tidak tegang, malam ini aku akan berbagi tempat tidur dengan orang asing. Meski telah sah, tetapi terasa aneh dan kaku. Takut bagaimana harus bersikap selayaknya pasangan suami istri. "Jangan pegang-pegang dulu, Mas. Aku malu." Tangan yang masih menempel di dagu, pelan-pelan kudorong menjauh dari wajahku. Bahu kokoh lelaki yang kini mengenakan pakaian adat Jawa itu bergoyang. Menutup mulut guna menahan ledakan tawa. Untung tidak sampai keterusan karena tamu undangan mulai berdatangan. Membentuk barisan memanjang, bergantian memberikan ucapan selamat di pelaminan. Aku tahu, bisik-bisik juga tatapan kurang menyenangkan itu masih ada. Bahkan hingga aku telah resmi menyan
"Selamat pagi, Istriku!" Sebentuk tangan melingkari perut ini. Aku mengelak karena masih berjibaku dengan penggorengan. Namun Mas Riko tak mau tahu dan malah membenamkan wajah di sela pipi dan pundakku. "Mas, enggak enak kalau dilihat--" "Dilihat siapa? Bapak dan Ibu sudah pulang kampung," potong lelaki yang entah kenapa pagi ini begitu semringah. "Yesha." Biar saja bocah itu yang jadi alasan. Tiga telur ceplok pelengkap nasi goreng selesai kubuat. Namun pria ini masih saja mengintil. "Yesha!" panggil Mas Riko. Tak lama bocah itu berlari kecil menyusul ke dapur. "Kenapa, Yah?" "Ayah boleh peluk bunda, nggak?" Mas Riko ini apa-apaan bertanya seperti itu di depan anak kecil. "Boleh, dong!" Putri cantikku malah senyam-senyum. "Kalo ayah peluk bunda, Yesha tau, nggak, artinya apa?" lanjut suamiku. "Artinya, ayah sayang sama bunda." Jujur dan polos sekali jawabanmu, Nak. "Tuh, kamu denger sendiri, kan, Ran!" "Terserah Mas saja." Begitu Yesha kembali bermain di ruang tengah, M
"Ris, yang kamu maksud tadi wanita itu bukan, Ris?" Sahabatku pernah melihat mantan istri Mas Riko, pasti dia masih hafal dengan ciri-ciri wanita itu. Mata Risma mengikuti arah jari telunjukku, pada wanita berambut cokelat sebahu yang memasuki mobil. Tak lama kendaraan itu bergerak menjauh dari area sekolah. "Iya, Ran. Beneran dia orangnya. Dulu maksa banget pengen ketemu Yesha. Tapi respons Yesha juga persis kaya gini, ketakutan. Makanya sampai cekcok dengan ibunya Pak Riko." "Kenapa Yesha ketakutan ya, Ris?" Bukankah aneh? Dulu, pertama kali bertemu denganku, Yesha langsung merasa nyaman saat kupeluk. Tidak seperti anak lain yang masih takut dan merasa asing. Kukira Yesha benar-benar merindukan sosok ibu. Maka dari itu, aku memberikan perhatian lebih. Namun, kenapa sikapnya berbeda dengan wanita yang sudah jelas adalah ibu kandung. "Mungkin trauma, Ran. Begitu sang nenek pulang kampung, Yesha sempat diasuh oleh babysitter cantik berambut pirang. Suatu hari Yesha mendapatkan pe
'Mas, nanti jemput aku di rumah bapak aja. Baju untuk kondangan masih di sana.' Pesan yang kukirim untuk Mas Riko. Usai mengajar, kuputuskan untuk pulang ke rumah bapak. Pindahan kemarin, baju-baju belum terangkut semua. Sebagian besar memang kutinggal, jika sewaktu-waktu menginap tak perlu membawa baju ganti. Sekaligus menitipkan Yesha di sana. Nanti malam bocah itu tak turut serta ke undangan pernikahan. Dia tidak terbiasa tidur terlalu larut. Takut mengantuk di perjalanan. 'Oke, Sayang.' Tak lama, notifikasi balasan muncul. 'Baju Mas Riko udah aku siapin di kamar. Jadi enggak perlu nyari-nyari lagi.' Baju yang kusesuaikan dengan warna gamis brokatku nanti. Aku tak pandai memadupadankan style busana. Namun, kurasa itu yang paling cocok untuk kami pakai. 'Oke, Istriku.' Sayangku, istriku, bunda.Kadang terasa menggelitik di telinga. Namun, aku mulai terbiasa. Mungkin itu cara Mas Riko memperlakukan sang istri dengan sebaik dan semanis mungkin. Maka dari itu, malam ini aku ha
"Tidak perlu mengubah diri menjadi siapapun agar terlihat menarik di mata orang lain. Bagi saya, kamu lebih dari spesial dengan segala yang kamu miliki." Tangan besar itu membelai pipiku, menyusut sisa-sisa air mata yang sempat kuteteskan. Aku berbaring miring menghadap Mas Riko. Menangkap sepasang netra yang sempat redup oleh luka yang terkuak kembali. Luka akibat ulahku karena tak mengindahkan hal yang tidak disukainya. "Maaf, Mas. Maaf atas ketidaktahuanku tentang dalamnya luka Mas Riko di masa lalu." Perubahan penampilan karena riasan itu, telah membangkitkan kenangan menyakitkan tentang wanita yang pernah berkhianat. "Enggak papa, Ran. Yang penting sekarang kamu sudah mengerti tentang alasan saya." Terganggu dengan omongan orang, aku sampai lupa mencintai diri sendiri. Juga lupa ada seseorang yang begitu peduli tanpa tapi. "Makasih, Mas." "Silakan saja melakukan perawatan apa pun, berdandan secantik apapun. Namun, niatkan hanya untuk saya. Bukan untuk orang lain." Binar lel
"Yesha ... jangan lari-larian!" Aku mewanti-wanti anak itu yang seperti lepas kendali setelah masuk taman kota. "Dia senang sekali, Ran. Sepertinya memang bosan dikurung dalam rumah terus." Mas Riko mengawasi putrinya dari kejauhan. "Iya, Mas. Padahal tadi siang sudah diajak jalan-jalan sama Mira. Tapi kaya enggak ada capeknya." Justru aku yang sangat kelelahan, seharian dikerjai suami gantengku ini. Tadinya sudah menolak, biar mereka berdua saja yang jalan-jalan ke taman. Gantian quality time ayah dan anak. Namun, dua-duanya kompak pokoknya bunda harus ikut. Yesha berbaur dengan anak-anak lain yang sore itu juga menjajal arena permainan fasilitas taman. Ayunan, rumah balon, perosotan. Semua bisa dinikmati secara gratis. "Minum dulu, Ran." Mas Riko yang tadi berpamit sebentar, kembali lagi dengan membawa minuman ringan dan juga cemilan khas kaki lima. "Yesha, sini!" Yesha tak memedulikanku yang berteriak memanggilnya. Mungkin terlanjur asyik dengan kawan baru juga permainan yan
"Alhamdulillah, benturan di kepala pasien tidak sampai menyebabkan gegar otak. Luka-luka di bagian tubuh lain juga sudah ditangani. Secepatnya akan kami pindahkan ke ruang perawatan," terang sang dokter. "Alhamdulillah, ya Allah." Aku dan Mas Riko refleks berpeluk dan mengucap syukur berkali-kali. Tim dokter undur diri, sedang Mbak Vera masih juga di sana. Suaranya lirih bergetar penuh lega karena sang putri baik-baik saja. "Sebaiknya kamu pergi dari sini!" Suamiku yang risih dengan kehadiran mantan istrinya, kembali tersulut emosi. "Mas, aku hanya ingin tahu kondisi Yesha. Ini semua salahku, Mas." "Yesha enggak butuh kamu. Lihat sendiri, kan! Selama ini dia baik-baik saja tanpa kamu. Pergi dari sini atau kamu memang sengaja ingin membuat kondisi Yesha semakin memburuk. Begitu?" Sungguh, aku serba salah berada dalam posisi ini. Walau bagaimana darah tetaplah lebih kental. Wanita inilah yang mengandung dan melahirkan Yesha. Namun, luka yang bersarang di dasar hati Mas Riko beluml
Hatiku terenyuh oleh ucapan Mbak Vera yang menyebutkan bahwa dirinya adalah temanku. Di depan putri kandungnya sendiri. Namun tidak ada pilihan, terlalu dini bagi Yesha untuk mengetahui kebenarannya. Bagaimana jika dia bertanya, ke manakah ibunya selama ini? Mengapa harus berpisah dengan sang ayah? Terlalu rumit menjelaskan problematika orang dewasa terhadap anak sekecil itu. "Tante punya sesuatu untuk Yesha." Mbak Vera mendekat dan mengulurkan boneka merah muda berukuran sedang, pada gadis lemah yang setengah terbaring. "Makasih, Tante." Yesha langsung mendekap pemberian tersebut. Wanita di sampingku tak sanggup membendung kaca-kaca bening yang seaat kemudian membentuk butiran-butiran cair. Tak henti meluncur dari pipi mulusnya. Beruntung Yesha tak melihat karena bocah itu fokus pada benda di pelukan. "Sama-sama, Sayang." Mbak Vera buru-buru menyeka air mata. Keharuan ini buyar oleh getaran ponsel di saku gamis. Aku melangkah menjauh karena tertera nama Mas Riko di layar. "Hal