"Bukannya ini aneh, ya, Ran. Kemarin Budhe Wati gosipin yang enggak-enggak karena tanggal pernikahanmu dipercepat. Lha ini, Wanda ujug-ujug mau nikah minggu depan," ujar Ibu. Kabar itu pun tak kalah cepat menyebar ke seluruh penjuru RT. Kali ini bukan dari bisik-bisik tetangga, melainkan Budhe Wati sendiri yang mengumumkan. "Halah, Ibuk kaya enggak tau Budhe Wati aja. Dari dulu kan orangnya suka panas kalau tetangga beli sesuatu atau kebetulan punya hajat tertentu. Inget, enggak! Pas Bapak beli mobil bak terbuka buat usaha, keesokan hari si Budhe beli juga. Enggak cuma itu, motor, barang elektronik, renovasi rumah, pasti enggak mau kalah. Sebentar lagi Mbak Ranty nikah. Ya, jelas aja panas dan enggak mau diduluin," cerocos Mira. "Kalau dipikir-pikir, iya juga ya, Mir." Ibu sampai harus memelankan volume TV mendengar ocehan putri bungsunya. Tumben, kali ini wanita berjilbab ungu itu setuju dengan pendapat Mira. "Ranty mau tau, Buk. Apa iya kabar ini bakalan heboh melebihi gosip ten
"Rasanya aneh, ya, Mas. Jalan tanpa Yesha," ucapku begitu keluar dari butik bridal. Baru saja kami melakukan fitting baju pengantin. Seperti biasa aku menjadi sorotan beberapa pegawai di sana. Namun sedikit beruntung, karena mindset pemiliknya sendiri berbeda dengan kebanyakan orang. Dia begitu ramah dan hanya fokus pada busana mana yang cocok dengan tubuh dan warna kulitku. "Jangan menunduk, Sayang!" Wanita dengan dress merah selutut itu mengangkat daguku. Pada dasarnya semua perempuan itu cantik. Tonjolkan kepercayaan diri itu, kamu memiliki aura kecantikan luar biasa dari dalam. Saya bisa melihat itu," lanjutnya. Aku dituntun keluar dari kamar pas. Gaun lengan panjang full brokat marun melekat di tubuh ini. "Masya Allah, cantik sekali," puji Mas Riko. Padahal hanya menjajal baju saja, belum diaplikasikan dengan riasan wajah dan tutorial hijab khusus pengantin. "Tuh, kan. Calon suami kamu saja langsung terpukau." Entah trik marketing atau apa, tapi ucapan owner butik tadi ben
Sejak kejadian tempo hari, sikap Budhe Wati berubah drastis. Terutama pada keluargaku. Sindiran, tatapan sinis dan ucapan nyinyir tak pernah kudengar lagi. Bahkan sekarang lebih banyak berdiam di rumah ketimbang nongkrong dan bergosip ria dengan tetangga lainnya. Aku tetap menjaga rapat-rapat aib itu. Termasuk pada Bapak dan Ibu, Mira pun tak tahu menahu. Namun, mereka justru aneh dengan perubahan sikap sang ibu Wanda. Bertahun-tahun kurang begitu ramah, sekarang mendadak hangat. Mungkin takut jika sewaktu-waktu aku membongkar rahasia anak dan menantunya. Kepulangan Wanda dari rumah sakit sempat menjadi perbincangan kanan kiri. Apalagi tak ada suami yang mendampingi. Namun, Budhe Wati berdalih bahwa menantunya tengah menangani pekerjaan di luar kota. Entah sampai kapan terus bertahan dalam kebohongan. Karena bangkai yang disimpan serapat apa pun lambat laun akan tercium juga. Kasihan Wanda, harus menahan luka batin berkepanjangan demi menyenangkan hati ibunya. Mulai kemarin lusa,
Malam Pertama "Jangan menunduk terus, Ran! Saya bercanda seperti itu biar kamu enggak tegang." Mas Riko mengangkat daguku, yang menyaksikan ikut senyam senyum. Mungkin terlihat manis, tapi aku malu setengah mati. Mungkin pewarna pipi ini bertambah merah akibat rona-rona yang tercipta oleh guyonan suamiku. Siapa yang tidak tegang, malam ini aku akan berbagi tempat tidur dengan orang asing. Meski telah sah, tetapi terasa aneh dan kaku. Takut bagaimana harus bersikap selayaknya pasangan suami istri. "Jangan pegang-pegang dulu, Mas. Aku malu." Tangan yang masih menempel di dagu, pelan-pelan kudorong menjauh dari wajahku. Bahu kokoh lelaki yang kini mengenakan pakaian adat Jawa itu bergoyang. Menutup mulut guna menahan ledakan tawa. Untung tidak sampai keterusan karena tamu undangan mulai berdatangan. Membentuk barisan memanjang, bergantian memberikan ucapan selamat di pelaminan. Aku tahu, bisik-bisik juga tatapan kurang menyenangkan itu masih ada. Bahkan hingga aku telah resmi menyan
"Selamat pagi, Istriku!" Sebentuk tangan melingkari perut ini. Aku mengelak karena masih berjibaku dengan penggorengan. Namun Mas Riko tak mau tahu dan malah membenamkan wajah di sela pipi dan pundakku. "Mas, enggak enak kalau dilihat--" "Dilihat siapa? Bapak dan Ibu sudah pulang kampung," potong lelaki yang entah kenapa pagi ini begitu semringah. "Yesha." Biar saja bocah itu yang jadi alasan. Tiga telur ceplok pelengkap nasi goreng selesai kubuat. Namun pria ini masih saja mengintil. "Yesha!" panggil Mas Riko. Tak lama bocah itu berlari kecil menyusul ke dapur. "Kenapa, Yah?" "Ayah boleh peluk bunda, nggak?" Mas Riko ini apa-apaan bertanya seperti itu di depan anak kecil. "Boleh, dong!" Putri cantikku malah senyam-senyum. "Kalo ayah peluk bunda, Yesha tau, nggak, artinya apa?" lanjut suamiku. "Artinya, ayah sayang sama bunda." Jujur dan polos sekali jawabanmu, Nak. "Tuh, kamu denger sendiri, kan, Ran!" "Terserah Mas saja." Begitu Yesha kembali bermain di ruang tengah, M
"Ris, yang kamu maksud tadi wanita itu bukan, Ris?" Sahabatku pernah melihat mantan istri Mas Riko, pasti dia masih hafal dengan ciri-ciri wanita itu. Mata Risma mengikuti arah jari telunjukku, pada wanita berambut cokelat sebahu yang memasuki mobil. Tak lama kendaraan itu bergerak menjauh dari area sekolah. "Iya, Ran. Beneran dia orangnya. Dulu maksa banget pengen ketemu Yesha. Tapi respons Yesha juga persis kaya gini, ketakutan. Makanya sampai cekcok dengan ibunya Pak Riko." "Kenapa Yesha ketakutan ya, Ris?" Bukankah aneh? Dulu, pertama kali bertemu denganku, Yesha langsung merasa nyaman saat kupeluk. Tidak seperti anak lain yang masih takut dan merasa asing. Kukira Yesha benar-benar merindukan sosok ibu. Maka dari itu, aku memberikan perhatian lebih. Namun, kenapa sikapnya berbeda dengan wanita yang sudah jelas adalah ibu kandung. "Mungkin trauma, Ran. Begitu sang nenek pulang kampung, Yesha sempat diasuh oleh babysitter cantik berambut pirang. Suatu hari Yesha mendapatkan pe
'Mas, nanti jemput aku di rumah bapak aja. Baju untuk kondangan masih di sana.' Pesan yang kukirim untuk Mas Riko. Usai mengajar, kuputuskan untuk pulang ke rumah bapak. Pindahan kemarin, baju-baju belum terangkut semua. Sebagian besar memang kutinggal, jika sewaktu-waktu menginap tak perlu membawa baju ganti. Sekaligus menitipkan Yesha di sana. Nanti malam bocah itu tak turut serta ke undangan pernikahan. Dia tidak terbiasa tidur terlalu larut. Takut mengantuk di perjalanan. 'Oke, Sayang.' Tak lama, notifikasi balasan muncul. 'Baju Mas Riko udah aku siapin di kamar. Jadi enggak perlu nyari-nyari lagi.' Baju yang kusesuaikan dengan warna gamis brokatku nanti. Aku tak pandai memadupadankan style busana. Namun, kurasa itu yang paling cocok untuk kami pakai. 'Oke, Istriku.' Sayangku, istriku, bunda.Kadang terasa menggelitik di telinga. Namun, aku mulai terbiasa. Mungkin itu cara Mas Riko memperlakukan sang istri dengan sebaik dan semanis mungkin. Maka dari itu, malam ini aku ha
"Tidak perlu mengubah diri menjadi siapapun agar terlihat menarik di mata orang lain. Bagi saya, kamu lebih dari spesial dengan segala yang kamu miliki." Tangan besar itu membelai pipiku, menyusut sisa-sisa air mata yang sempat kuteteskan. Aku berbaring miring menghadap Mas Riko. Menangkap sepasang netra yang sempat redup oleh luka yang terkuak kembali. Luka akibat ulahku karena tak mengindahkan hal yang tidak disukainya. "Maaf, Mas. Maaf atas ketidaktahuanku tentang dalamnya luka Mas Riko di masa lalu." Perubahan penampilan karena riasan itu, telah membangkitkan kenangan menyakitkan tentang wanita yang pernah berkhianat. "Enggak papa, Ran. Yang penting sekarang kamu sudah mengerti tentang alasan saya." Terganggu dengan omongan orang, aku sampai lupa mencintai diri sendiri. Juga lupa ada seseorang yang begitu peduli tanpa tapi. "Makasih, Mas." "Silakan saja melakukan perawatan apa pun, berdandan secantik apapun. Namun, niatkan hanya untuk saya. Bukan untuk orang lain." Binar lel