‘’Menantuku? Ya ampun, kerjaannya hanya main hp saja dari pagi hingga suaminya pulang.’’ Walau berada di lantai dua, Vania mendengar jelas kalimat Yura. Mertuanya itu sedang berkumpul bersama teman-temannya. Tak terhitung berapa sudah berapa banyak Yura menjelek-jelekkan Vania. Sehingga hanya bisa mengelus dada, bersabar. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Faktanya Vania juga membantu pekerjaan Lia. Main hp hanya jika ada pesan ataupun telepon masuk saja. ‘’Mbak, kok kamu diam saja. Ada apa, Mbak?’’ Vania sampai lupa tengah menghubungi Valerie. Sangking fokusnya menguping pembicaraan Yura. ‘’Gimana kalau dijodohin saja sama anakku? Sinta baru saja pulang dari luar negeri menamatkan kuliahnya.’’ ‘’Jangan. Lebih baik dengan Nina saja. Anakku itu sudah jadi pengusaha. Cocok dengan Gavi.’’ ‘’Tidak, tidak. Ngapaian dengan wanita karir seperti anak kalian? Lebih baik dengan Sari. Dia anak yang penurut. Aku yakin, dia akan jadi istri patuh dan berbakti pada suami.’’ Wanita-wani
‘’Memangnya kenapa kalau mama minta kamu saja yang pergi? Lagi pula Gavi itu anak mama dan Gia itu cucu mama.’’‘’Lalu Vania apa, Ma? Vania menikah dengan Gavi. Vania yang melahirkan Gia. Vania istri sekaligus ibu dari cucu mama,’’ jelasnya bersama rasa sesak. Membuat Vania berkaca-kaca. Sakit harus menjelaskan padahal tak perlu dikatakan pun Yura seharusnya paham.Berbeda dengan Vania, Yura malah berdecih rendah menanggapi sikap dramatis Vania. Jelas benar menganggap Vania bersikap berlebihan.‘’Kamu berharap mama mengakui kamu sebagai menantu?’’Suka atau tidak suka, bukankah begitu kenyataannya?‘’Dengar ya, Vania. Hanya karena kamu melahirkan cucu mama. Menikah dengan anak mama. Itu semua tidak menjadikan kamu diterima di rumah ini,’’ seru Yura.Vania tak percaya bisa mendengar kalimat kejam dari wanita yang dianggap Vania seperti ibu sendiri itu.Padahal, bukan perkara mudah akhirnya memutuskan menikah dengan Gavi. Juga bukan hal remeh melahirkan Gia.Vania masih mengingat sakitn
Air mata masih setia menemani. Termasuk rasa sakit di hati.Bersama luka akibat berdebat dengan Yura, Vania menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Ruangan yang selama ini menjadi benteng pertahanannya. Di mana di sana Vania terbebas dari semua serangan sikap tak mengenakkan yang didapatnya selama ini.Lekas Vania memutar gagang pintu sesampainya di lantai dua. Buru-buru masuk dan mengambil gawai untuk mencurahkan kepedihan.Namun tiba-tiba Vania teringat pembicaraannya dengan Gavi.‘’Kenapa kamu ngambil jurusan dokter, Gav? Kenapa nggak jurusan lain saja?’’ Vania penasaran karena Gavi malas-malasan ketika kuliah. Karena itulah dulu sempat mengira G
Keesokannya…Dengan membawa hadiah sebesar bantal, Vania dan Gia datang ke acara ulang tahun si kembar. Terlihat sepi di luar ternyata di dalam begitu ramai. Sebab Raffi dan Rico juga mengundang teman-teman di sekolah.‘’Gia, kemari! Ayo bentar lagi tiup lilin.’’ Alia berteriak dan melambaikan tangannya.Siapa yang tak senang bila sahabat karib datang? Begitupula dengan Alia. Sejak tadi memang menunggu Gia.‘’Mama, boleh Gia ke sana?’’ tanya anak kecil bergaun biru tersebut.‘’Tentu saja, Sayang. Pergilah.’’‘&rsqu
Firasat seorang istri tak pernah berdusta, bahkan meleset pun jarang. Vania langsung datang ke rumah sakit dan berjanji akan kembali dalam satu jam pada Gia dan keluarga Arka.Vania tidak yakin, tapi semua harus dipastikan dengan mata kepala sendiri. Bahwa, Gavi bermain api di belakangnya.Vania sudah akan menuju ruangan Gavi, namun telinganya tak sengaja mendengar nama Sandra disebut. Sehingga kaki yang terburu-buru pun terpaksa dihentikan lajunya.‘’Sandra belum keluar-keluar juga dari ruangan Dokter Gavi?’’‘’Kayaknya belum, tuh. Ya ampun, kalau istrinya tau gimana, ya?’’‘’Tapi istrinya Dokter Gavi jarang sekali datang ke sini. Bisa dihitung pakai jari
‘’Valerie sayang. Bawa kemari minumannya, Nak.’’ Pekikan dari ruang tamu terdengar jelas sampai ke dapur. Valerie gesit mengangkat nampan berisi lima gelas air jeruk dingin dan membawanya ke depan. Minuman-minuman itu untuk tamu-tamu orang tuanya yang datang melamar sang kakak— Vania. Seulas senyum terpatri bersama tangan yang sibuk menata gelas di meja. Dan Valerie langsung mendapatkan pujian atas sikap baiknya dari keluarga besan. Setelah kembali ke dapur, Valerie langsung naik ke lantai dua untuk membereskan tempat tidur di kamar tamu. Keluarga besan akan menginap karena besok akan diadakan pertunangan dan juga penentuan hari pernikahan. Berkutat dengan sapu, pel lantai dan ember berisi air selama kurang lebih lima belas menit, akhirnya pekerjaan itu selesai. Valerie masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Merebahkan tubuh di kasur dan menutupinya dengan selimut. Dan tak lupa mematikan lampu. Masih dalam keadaan setengah terlelap, Valerie mendengar suara gagang pintu yang dig
Tak mengindahkan acara yang sedang berlangsung, Leo segera ke kamarnya. Mengambil celana tidur berbahan satin dengan rahang menegang. Membiarkan suasana ramai diiringi dengan gelak tawa dan juga obrolan riang khas keluarga di bawah sana. Waktu terasa berjalan begitu lambat seiring langkah kaki yang bergerak menuju kamar Valerie. Perasaan Leo berdebar tak karuan. Bahkan kegugupannya mengalahkan momen ketika ia mengatakan ingin menikahi Vania pada sang calon ayah mertua. Tapi bagaimanapun— ia harus memastikannya sendiri. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi tentang semalam. ‘’Val,’’ panggil Leo, pelan. Tak ada suara ataupun tanda-tanda pintu yang akan dibuka dari dalam. Jadi ia mencoba mengetuk. Tok… tok… tok ‘’Valerie.’’ Memanggil sekali lagi. Karena tak juga mendapatkan jawaban, akhirny Leo langsung masuk setelah memastikan tak ada orang yang melihat. Hati Leo seakan diremas kala mengedarkan pemandangan ke seluruh ruangan selama beberapa detik. Bukan karena ia tak mend
Setelah berada di dalam kamar, Leo lantas mengambil kemeja batik motif lain. Kemudian mengenakannya secepat kilat. Tadi, ia sempat melihat Vania yang memergokinya keluar dari kamar Valerie. Namun ia berpura-pura acuh. Jadi ia telah menyusun beberapa kalimat untuk menangkis tudingan dan kecurigaan Vania. Padahal selama ini ia tidak pernah menutupi apapun dari wanita yang sangat ia cintai itu. Mempersiapkan mental, Leo menghela oksigen berselimutkan kegelisahan. Lalu menghembuskan kegugupan berbalut karbodioksida. Berharap dapat membantunya mengatasi kegugupan. Kemudian ia keluar dari kamar, melangkahkan kaki dengan tenang. ‘’Kenapa berganti pakaian?’’ Manik Vania memandangi setelan Leo. Laki-laki itu masih berada satu langkah dari pintu. Dan Vania berada di anak tangga terakhir. Rupanya Vania masih di tempat yang sama ketika memergokinya tadi. ‘’Ada apa dengan Valerie? Kenapa kamu keluar dari kamarnya basah-basah?’’ ‘’Aku tidak sengaja melihat pintu kamar Valerie terbuka. Dia te