Share

Membawa Sepotong Ilmu

Aku, Abdullah dan Hasan menyusuri jalan terjal ke arah barat daya. Mereka sampai di desa yang masih selamat dari amukan Tartar dan Mongol, tempat tersebut berada di dekat gunung yang terpencil jauh dari peradaban.

 

Seluruh penghuni desa melihat kami dengan wajah penuh keheranan. Kami pun datang dan menyapa mereka. Mereka pun juga menyapa kami dan berlaku ramah terhadap kami. Akhirnya aku bisa beristirahat tenang bersama manusia yang lain.

 

Mereka terlihat begitu kusut dan banyak yang kurus. Wajah mereka terpancar ketenangan dan keceriaan dalam hidup. Aku pun berkenalan dengan mereka.

 

“Assalamu’alaykum. Semoga Allah merahmati kalian.” Salam ku terhadap mereka.

 

“Wa’alaykumussalam, semoga Allah juga merahmati kalian, musafir .”

 

“Apakah kami bisa beristirahat di sini?” tanyaku.

 

“Tentu saudaraku, berasal dari mana kalian?” tanya salah satu dari mereka.

 

“...Dari Ashgabat,” jawabku.

 

“Ayo masuk kesini, engkau akan kami menjamu kalian dengan makanan terlezat asli dari sini, jangan khawatir, okey?”

 

Aku, Abdullah dan Hasan saling pandang, lalu kami pun saling tersenyum senang.”

Kami lalu diajak menuju rumah yang paling besar di desa ini, lalu kami saling memperkenalkan diri.

 

“Ada berita apa di luar sana, musafir?”  tanya kepala suku.

 

“Desa kami diserang pasukan Mongol dan Tartar, kami menyelamatkan diri ingin menuju Baghdad. Apakah kalian tidak mempersiapkan diri untuk mengungsi?” tanya Abdullah balik.

 

“Mahasuci Allah! Kalau begitu ini situasi yang sulit. Tempat kami memang terpencil dan jauh dari peradaban. Tapi jika mereka mengetahui kami disini pasti kami akan merasakan apa yang kalian rasakan.” Lalu ruang makan kami menjadi gaduh.

 

Berbagai makanan enak disini seperti ashresteh, jigar, kebab, balal, dan makanan enak lainnya menjadi kurang berselera bagi perut kami. Kepala suku melihat kami dalam keadaan sedih.

 

“Ayo makanlah lagi, tidak mengapa, jadikanlah Allah sebagai penolongmu, karena Dialah sebaik-baik penolong.” Ajak kepala suku agar kami tetap makan dan menetramkan hati kami agar tetap tenang.

 

“Untuk sekarang kalian aman disini. Aku dan rakyatku akan mendiskusikannya setelah ini. Kalian istirahatlah dirumah sebelah sana!” Lalu beliau keluar ke arah depan pintu dan menunjuk ke arah luar di dekat sungai yang disana terdapat rumah kecil untuk menetap sementara.

 

...

 

Sore telah berlalu dan gelapnya malam mulai menyelimuti. Warga desa mulai menyalakan obor di depan rumah mereka. Anak-anak yang sedari tadi berlarian di halaman rumah langsung ditarik oleh ibu-ibu mereka agar cepat-cepat pulang ke rumah. Adzan maghrib menggema dan seluruh laki-laki di tempat ini bersegera menuju masjid. Sebagian menunggu di luar untuk berjaga-jaga jika ada serangan serigala gunung yang akhir-akhir ini sering menyerang warga. Kami bertiga lalu bergegas menuju masjid untuk beribadah.

Setelah kami selesai sholat maghrib, kepala suku yang menjadi imam sholat menyampaikan wejangannya kepada jama’ah.

 

“Persiapkanlah untuk pergi dari sini, karena Tartar dan Mongol akan datang membawa kehancuran.”

 

Seluruh jama’ah lalu bergegas keluar dan membawa bekal perjalanan menuju tempat yang aman. Ketakutan menyebar ke seluruh sudut desa, lalu datang dari arah timur seorang penunggang kuda berlari dengan cepat dengan bersimbah darah segar mengucur segar di lengannya yang terkena anak panah. Sambil berteriak untuk mengajak penduduk desa segera pergi dari sini.

 

“Sepasukan tentara Mongol dalam perjalanan ke sini! Cepatlah menyelamatkan diri!” Kemudian dia jatuh dari kudanya dan langsung meninggal. Jasadnya tergeletak begitu saja tanpa ada yang mengurusinya.

 

Aku, Abdullah dan Hasan langsung menggotong jasadnya di pinggir jalan agar tidak terinjak.

 

Hasan melihat jasad lelaki tadi lalu mengecek bagaimana keadaanya. Ternyata lelaki ini berasal dari dinasti Khwarizmia. Ia mengambil sebilah pedang persia, busur dan anak panah yang kemudian ia berikan kepadaku.

 

“Ini ambilah!”

 

“aaaku tidak bisa menggunakannya....” teriakku.

 

Lalu Abdullah mengambilnya dan menasehatiku.” Kamu sudah berjanji kepadanya untuk menjadi orang yang bermanfaat. Maka inilah saatnya!” Kurasa Abdullah berubah keberaniannya setelah peperangan yang kini terjadi. Lalu busur dan anak panah ia berikan kepadaku.

 

“Untuk saat ini kita lari dari mereka karena kamu belum bisa menggunakannya.” Pernyataan Hasan membuatku sedikit hilang rasa takutku. Aku mengira aku harus menghadapimya tanpa ilmu, ternyata tidak. Uang yang ada di sakuku pun tidak jadi untuk membeli busur dan anak panah di Baghdad.

 

“Jangan kalian ambil peralatan perangnya, dia masih hidup dan dia hanyalah pingsan.“ Ketua suku mengecek tubuhnya dan memegang lukanya dan membacakan sesuatu kepadanya yang tidak kami dengar dan ketahui.

 

“Apakah kalian tidak berterima kasih kepada kami?” sindirnya kepada kami.

 

Hasan lalu bingung dan meremehkan perkataan kepala suku. “Dia telah mati, dan kami ingin mengambil senjatanya untuk kami pergunakan sebagai alat perang.”

 

“Tidak, dia masih hidup, lihatlah bola matanya yang tertutup kelopak matanya, apakah masih bergerak? Sekarang dia aku obati.” Aku dan Abdullah melihatnya dan ternyata bergerak!

 

“Berarti dia sekarang dalam kondisi kritis.” Gumamku, “Lalu bagaimana cara menyelamatkannya jika kita seluruhnya pergi dari sini?” tanyaku kepada kepala suku.

 

“Disini adalah tempat yang memiliki banyak gua, yang biasa leluhur kami mempergunakanya sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengintai. Ikutilah aku nanti kita bisa berlindung dari mereka dan keluar ketika sudah aman.”

 

“Ide yang bagus tuan.” Jawab Hasan.

 

“Ayo kita angkat tentara ini dan segeralah kita mempersiapkan bekal berlindung di dalam gua.”

 

Seluruh warga kemudian berbaris memasuki gua yang berada di atas ketinggian gunung. Dengan langkah hati-hati takut jika jatuh ke bawah, kami memasukinya pelan-pelan dengan kondisi alam yang berkabut dan gelap. Kami hanya membawa obor kecil. Dan beruntunglah kami dengan adanya kabut tebal ini sehingga sinar obor kami tidak nampak di bawah lereng.

 

Setelah semuanya masuk kami lalu menyalakan obor dan berusaha menenangkan diri dan tetap hati-hati.

Aku menengok ke pintu gua dan terlihat nyala api merah di di desa. Keberuntungan ada di pihak kami. Lalu kami terus menyusuri gua.

 

“Gua ini menembus sejauh 10 mil menuju ibu kota Khwarizmia, kota Urgenc.” Aku pun ketakutan dengan kegelapan dan tempat yang tidak nyaman ini. “Tenang saja, aku tahu jalan keluarnya.” Hibur Kepala Suku kepada kami.

 

“Hei, anak muda aku ingin mengajarimu sesuatu” Ada seorang anak seumuranku yang tiba-tiba mengagetkanku dari ketakutan ku dari kegelapan.

 

“SSSSSTTTTTT.....!!!!” seorang ibu-ibu marah dan menyuruh kami diam. 

 

“Siapa namamu?” tanyaku kepada anak tadi dengan bisik-bisik.

 

“Afif”, jawabnya. Lalu anak tersebut membawakan sebuah buku tipis dan tertulis, ‘Kitab Pengobatan ala Nabiy karangan Imam Muslim’. Anak tersebut lalu memberikannya kepada ku.

 

“Ini untukku?” aku terheran-heran.

 

“Iya, semoga buku ini menolongmu di perjalanan.” Jawabnya

 

“Terimakasih kawanku.” 

 

“Pelajarilah buku ini, yang ini yang paling akurat dari semua kitab pengobatan.”

 

“Lalu kamu bagaimana? Apakah kamu tidak butuh dengan ini?” tanyaku 

 

“Aku sudah hapal isinya. Jangan khawatir.” Bisiknya kepadaku.

 

Jalan yang naik turun selalu kami hadapi. Kelelawar bergelantungan di atas stalaktit gua menambah mencekam suasana peperangan. Malam ini kami kelaparan dan terus dihantui rasa takut dari kejaran tentara Mongol dan Tartar. Para ibu-ibu terus menenangkan anak-anaknya yang menangis. Kaum lelaki menjaga bagian depan barisan dan belakang barisan sembari menyandang senjata. Dan sekarang di dalam gua hanya tertinggal suara air menetes dan derap langkah kaki kami yang terus berjalan menuju pintu keluar.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status