Share

Pewaris CEO yang Terbuang
Pewaris CEO yang Terbuang
Penulis: Risca Amelia

Identitas Tersembunyi (Part 1)

"Rose, cepat ganti bajumu lalu memasak makan siang. Aku sudah kelaparan!"

Setelah berteriak, gadis manja bertubuh tambun itu kembali bertumpu pada satu tangan sambil menyandarkan kepalanya di sofa. Ia pun meraih bungkus potato chips dari meja lalu merobeknya sembarangan.

"Sebentar lagi, Chloe. Aku mau ganti baju," jawab Rose hendak berlalu ke kamarnya.

Seragam sekolahnya basah kuyup karena siang itu, hujan turun dengan deras di luar. Rose yang selalu pulang sekolah dengan berjalan kaki terpaksa menerobos hujan, hingga payung usang yang dibawanya tidak dapat menahan terjangan air. 

Mendengar jawaban Rose, Lili--sang tante--tiba-tiba keluar dari dapur. Dengan cepat, perempuan itulangsung mencengkeram tangan Rose.

"Jangan membantah! Lakukan apa yang Chloe perintahkan. Jika tidak, aku tidak akan memberimu makan hari ini," kata Lily melotot.

"Tapi, aku basah, Auntie. Aku perlu menjemur sepatu dan mengganti baju sebelum memasak. Jika tidak, aku akan mengotori dapur."

Lily memandangi kondisi keponakan suaminya yang tampak menyedihkan itu. Namun, tidak ada rasa kasihan sama sekali. Yang ada, ia justru merasa jijik.

"Benar juga. Cepat sana mandi, baumu membuatku ingin muntah. Tapi ingat, aku hanya memberimu waktu lima belas menit. Setelah itu cepat ke dapur!"

"Baik, Auntie," jawab Rose buru-buru menyingkir. Ia takut bibinya akan berubah pikiran.

*****

"Mom, kenapa membiarkan Rose mandi? Apa sekarang Mommy mulai menyayangi Rose lebih daripada aku?" tanya Chloe sambil mengunyah chips di dalam mulutnya begitu Lili tiba di depan kamar gadis itu.

"Tidak mungkin, Honey. Sampai kapan pun, Mommy tetap membenci Rose. Dia adalah benalu di keluarga kita. Jika bukan karena ayahmu bersikeras mengajaknya tinggal disini, Mommy tidak akan mengizinkannya," ucap Lily berapi-api.

"Rose terkena air hujan. Kalau dia tidak membersihkan badan, nanti kita akan sakit perut saat memakan masakannya," sambung Lily mengemukakan alasannya.

"Oh, begitu. Tapi Mom, ada gunanya juga Rose berada di rumah kita. Paling tidak, kita memiliki pembantu yang bisa disuruh-suruh. Nanti malam aku juga akan memaksa Rose mengerjakan tugas Sains dari Mr. Taylor."

"Hahaha ... betul."

*****

Setengah berlari, Rose menuju ke belakang rumah lalu menjemur sepatunya yang basah. Itu adalah sepatu satu-satunya yang ia miliki. Bila besok pagi belum kering, mungkin ia tidak dapat berangkat ke sekolah.

Rose mandi dengan cepat lalu merendam seragam sekolahnya dengan air sabun. Ia masih punya banyak pekerjaan rumah tangga yang harus diselesaikan. Pertama memasak makan siang, kedua mencuci seragam, dan ketiga membersihkan kamar tidur bibinya dan Chloe. Setiap menit yang berlalu akan sangat berharga bagi Rose.

Tangan terampil Rose sudah terbiasa meracik bumbu dan bahan. Karenanya tidak butuh waktu lama, Rose berhasil menyelesaikan masakannya.

"Auntie, Gwen, makan siangnya sudah siap," kata Rose menghidangkan sup jamur dan ikan tuna di atas meja.

Lily dan Gwen bergerak dengan malas dari ruang tengah. Rose menarik dua buah kursi untuk ibu dan anak itu. Dengan santainya, Lily dan Gwen duduk di meja makan sambil menikmati hidangan yang menggugah selera. Sungguh mereka bagaikan Nyonya dan Nona Besar yang memiliki pelayan setia. Mereka tidak mempedulikan Rose yang berdiri di pojokan sambul menelan salivanya.

Perut Rose sudah keroncongan minta diisi. Namun seperti biasa ia harus menunggu sampai bibi dan sepupunya selesai makan. Ia hanya diperbolehkan menyentuh makanan sisa, kecuali saat pamannya ada di rumah.

"Hmmmm, aku kenyang. Aku mau ke kamar untuk istirahat," kata Chloe beranjak pergi.

Lily menghabiskan minumannya lalu menatap Rose dengan tajam.

"Kamu boleh makan. Jangan lupa cuci piring dan bersihkan meja makan."

Rose mengangguk. Dengan patuh, gadis itu melakukan titah bibinya. Ia tidak keberatan diperlakukan sebagai pembantu karena ia memang hidup menumpang di rumah pamannya. Barangkali hanya dengan cara ini, ia bisa membalas budi baik mereka.

Perlahan Rose duduk di kursi, mengambil sendok untuk mencicipi sup jamur buatannya. Rasanya sungguh gurih dan lezat, mirip dengan sup jamur buatan mendiang ibunya.

Yah, Rose sangat merindukan ibunya yang telah tiada. Dahulu ia menghabiskan hari demi hari yang bahagia bersama sang ibu meskipun kehidupan mereka sederhana. Sehari-hari ibunya bekerja sebagai juru masak di restoran kecil demi membiayai kehidupan mereka. Sedangkan untuk ayah kandungnya, Rose tidak pernah mengetahui identitasnya. Toh itu tidak terlalu penting. Bagi Rose memiliki seorang ibu saja sudah lebih dari cukup. Bahkan ia tidak ambil pusing dengan ejekan teman-teman sekolahnya yang menyebutnya sebagai anak haram.

Sayang sekali kebahagiaannya terenggut pada hari ulang tahunnya yang kesembilan. Ketika itu wajah ibunya mendadak pucat dan mengeluh sakit di bagian dada. Tak lama kemudian, ibunya jatuh pingsan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Karena peristiwa pahit itu, Rose tidak mau merayakan hari ulang tahunnya lagi.

Tak terasa bulir air mata jatuh ke pipi Rose. Mengingat kenangan lama membuat hati Rose berdesir hebat. Ia menghabiskan supnya lalu membereskan meja makan. Menyibukkan diri adalah jalan terbaik untuk bisa melupakan kesedihannya.

Selesai dengan pekerjaan rumah tangga, Rose membuka pintu kamarnya. Ruangan berbentuk bujur sangkar itu lebih mirip bilik seorang pelayan daripada kamar anak gadis. Tapi tidak mengapa. Yang terpenting ia masih memiliki tempat untuk bermalam.

Rose berjalan menuju laci meja. Tangannya meraba-raba untuk mencari sesuatu. Sebuah benda berwarna keperakan diambil oleh Rose dari dalam laci. Dengan hati-hati, Rose menimang benda itu di telapak tangannya. Seuntai kalung perak dengan liontin mawar hitam yang unik. Kalung itu adalah pemberian ibunya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Rose masih ingat bagaimana sang ibu meminta padanya untuk menyimpan kalung tersebut.

"Kalung apa ini, Mom?" tanya Rose kecil terkejut.

"Ini adalah kalung black rose pemberian ayahmu. Namamu diambil dari nama kalung ini. Mommy tidak pernah memberitahumu mengenai siapa ayah kandungmu. Tapi kalung inilah yang akan membawamu kepadanya."

Rose kecil menggeleng, pertanda tidak mengerti apa yang dimaksud oleh ibunya.

"Nanti pada saatnya kamu akan mengerti, Rose. Simpan kalung ini baik-baik."

Semenjak itulah, Rose selalu menyimpan kalung peninggalan ibunya. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat kalung tersebut termasuk pamannya.

"Rose, buka!" teriak Chloe menggedor pintu.

"Tunggu sebentar."

Rose segera mengembalikan kalungnya di dalam laci kemudian membuka pintu.

"Kenapa lama sekali? Aku kira kamu sedang enak-enakan tidur," sembur Chloe menunjukkan ekspresi marah.

Chloe membawa setumpuk kertas dan tiga buah buku di tangannya. Dengan kasar, ia meletakkan barang bawaannya di atas kasur Rose hingga menimbulkan bunyi gedebuk.

"Kerjakan tugas sains dan matematika ini sampai selesai. Jika belum selesai, kamu tidak boleh makan malam. Mengerti?"

"Iya, Chloe, akan kukerjakan."

"Bagus. Antar ke kamarku nanti."

Begitu urusannya beres, Chloe meninggalkan kamar Rose. Chloe paling malas jika harus belajar apalagi mengerjakan tugas sekolah. Beruntung sekarang dia memiliki Rose yang berotak cerdas tapi mudah ditindas.

Rose memungut buku milik Chloe dan memindahkannya ke atas meja. Tanpa mengeluh, ia mengerjakan tugas itu bersamaan dengan tugasnya sendiri.

Entah berapa lama Rose berkutat dengan pelajarannya hingga terdengar suara yang sangat dikenalnya dari balik pintu.

"Rose, kenapa tidak makan? Ini sudah jam tujuh."

"Itu Uncle Josh," gumam Rose senang. Gadis itu bangkit berdiri dan membuka pintu untuk pamannya.

"Uncle sudah pulang dari kantor?" tanyanya berbinar.

"Iya, Rose. Uncle membeli pizza kesukaanmu. Ayo kita makan."

"Aku akan menyusul, Uncle, tapi aku harus menyelesaikan tugas sekolah dulu."

Josh mengerutkan dahinya.

"Apa Chloe memaksamu lagi untuk mengerjakan tugasnya? Anak itu benar-benar pemalas."

"Tidak apa-apa, Uncle. Aku senang bisa membantu Chloe."

"Uncle melarangmu untuk menuruti kemauan Chloe. Dia harus belajar bertanggung jawab. Ayo ikut Uncle."

Josh menggandeng tangan Rose melewati ruang tengah. Disitu Lily dan Chloe sedang asyik menonton siaran gosip di televisi.

"Chloe, mulai sekarang kerjakan sendiri tugasmu. Jangan menyuruh Rose melakukannya. Apalagi melarangnya untuk makan malam," hardik Josh kepada putrinya.

Chloe mengalihkan pandangan dari layar televisi kepada Rose. Matanya melotot, menunjukkan kekesalan teramat besar pada sepupunya itu. Pasti Rose baru saja mengadu sehingga sang ayah membentaknya.

"Kenapa kamu memarahi putri kita? Tidak masalah jika Rose sesekali membantu Chloe. Itu adalah bentuk rasa terima kasihnya karena kita sudah membiayai sekolahnya. Lagipula anak kita butuh banyak istirahat, Josh," jawab Lily membela Chloe.

"Apa kamu lupa kalau Rose mendapatkan beasiswa penuh? Aku perhatikan setiap hari Chloe bermalas-malasan, tidak mau belajar. Mau jadi apa dia jika kamu terus memanjakannya?"

"Kenapa kamu terus menerus membela anak haram ini daripada putrimu sendiri?"

"Jangan merendahkan Rose. Dia adalah keponakanku, anak dari adik perempuanku."

"Bukankah perkataanku tidak salah? Buktinya tidak ada yang mengetahui siapa ayah biologis Rose," cela Lily.

Perdebatan Josh dan Lily terhenti karena melihat breaking news kasus pembunuhan seorang milyader ternama.

"Polisi masih terus memeriksa delapan orang saksi yang diduga menghadiri meeting bersama Tuan Louis Brown di hotel Mozia," ucap sang pembawa berita.

Hampir dua bulan kasus kematian Louis Brown ditangani oleh pihak kepolisian. Namun, hingga kini belum ditemukan siapa pelaku yang meracuni CEO Brown Group tersebut. Misteri pembunuhan ini telah menjadi perbincangan hangat di tengah warga kota.

"Kalau menurutku pembunuhnya adalah kerabatnya sendiri. Mereka mengincar harta kekayaan Tuan Louis, karena dia sudah bercerai dari istrinya dan tidak memiliki anak kandung," ucap Lily sok tahu.

"Belum tentu. Bisa juga salah satu karyawan atau relasi bisnisnya," sahut Josh menebak-nebak.

Stasiun televisi yang menyiarkan berita tentang Louis Brown kemudian menampilkan foto-foto pria itu. Rose ikut menyaksikannya. Louis Brown terlihat seumuran dengan pamannya, Josh, tapi parasnya jauh lebih tampan.

Rose tertarik mengamati foto pria itu. Entah mengapa ia merasa mata dan bibir pria itu mirip dengan dirinya.

"Apa ini khayalanku saja? Tidak mungkin aku memiliki kemiripan dengan seorang CEO," batin Rose menepis pikirannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status