Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah.Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana."Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat.Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel."Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu."Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya."Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya.""Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu saat itu, Nak. Baiklah aku menantikan aksimu selanjutnya. Selamat istirahat," kata Tuan X mengakhiri provokasinya.Denzel menghempaskan diri ke atas kasur. Ia dibuat pusing dengan berbagai masalah yang berputar di kepalanya. Batinnya mengalami pergulatan antara sisi terang dan gelap. Ada rasa menyesal sekaligus kecewa ketika ia mengingat wajah Rose. Dialah yang mendidik dan mendampingi Rose hingga tumbuh menjadi wanita yang kuat. Namun hampir tiba waktunya ia harus memetik mawar yang sedang mekar itu.Dilema macam apa ini? Tidak seharusnya ia jatuh terlalu dalam pada hubungannya dengan Rose. Mungkin kerisauannya adalah efek dari kebersamaan mereka yang telah terjalin selama bertahun-tahun. Sebagai penerus keluarga Adams, tidak seharusnya ia bersikap sentimental."Maafkan aku, Rose. Aku tidak punya pilihan karena kamu adalah satu-satunya keturunan Louis Brown,gumam Denzel.***Rose tergesa-gesa masuk ke kelas melukis. Ia hampir terlambat karena bangun kesiangan. Semalam matanya sulit sekali terpejam. Pikirannya melayang dan mengembara tak tentu arah. Sebentar memikirkan hubungan kedua orang tuanya, sebentar terpikir tentang konser biola, kemudian beralih pada Denzel.Entah kenapa perubahan sikap Denzel semalam membuatnya tidak nyaman. Ia lebih suka Denzel yang menunjukkan kepedulian sebagai kakak tanpa keinginan melakukan kontak fisik.Rose membuang pandangan ke sembarang arah, mencari kursi yang masih kosong. Di kelas melukis kali ini kursi para mahasiswa disusun melingkar. Bagian tengah atau titik sentral akan diisi oleh Mr. Zack dan tamu pentingnya.Minggu kemarin Mr. Zack, dosen kelas melukis, mengumumkan bahwa mereka akan kedatangan tamu spesial. Seorang pelukis muda yang karyanya tengah viral dan diminati kalangan pecinta seni. Bisa jadi sang pelukis akan menjadi objek lukisan mereka. Atau dia yang akan memberikan tantangan kepada para mahasiswa untuk menggambar objek tertentu.Karena sebagian besar kursi sudah terisi, Rose terpaksa memilih kursi yang masih kosong. Kursi itu berada tak jauh dari tempat Mr. Zack biasa berdiri. Dari arah berlawanan, terlihat Anneth sedang memperhatikan gerak-gerik Rose layaknya detektif yang mengawasi targetnya."Rose, aku kira kamu absen hari ini," ucap Gwen menepuk bahu Rose dari belakang."Gwen, kamu membuat jantungku hampir copot," sahut Rose menjatuhkan peralatan melukisnya.Gwen terkekeh pelan."Itu karena kamu melamun sejak tadi. Apa kamu sedang jatuh cinta?" tanya Gwen menggoda temannya yang polos itu."Aku mencari ide tentang tema lukisanku nanti," sanggah Rose mengeluarkan kuas dan cat minyak dari tasnya."Mencari ide sampai melamun. Sepertinya fantasimu terlalu tinggi, Rose. Padahal hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Kamu tidak perlu repot-repot berkhayal."Suara langkah sepatu yang mendekat ke pintu, membuat Gwen menghentikan ucapannya."Rose, Mr. Zack sudah datang. Aku kembali ke kursiku dulu," bisik Gwen beranjak pergi."Selamat pagi semuanya," terdengar suara melengking Mr. Zack. Pria berdarah campuran Afrika itu selalu bersemangat sehingga membawa aura positif untuk murid-muridnya."Pagi, Pak," jawab para mahasiswa antusias.Rose masih sibuk menyiapkan palet dan peralatannya yang lain. Ia hanya mendengarkan suara dosennya tanpa mengangkat kepala."Nah, seperti janji saya kemarin. Hari ini kita kedatangan tamu. Dia seorang pelukis sekaligus arsitek muda yang baru saja tiba dari Michigan. Lukisannya unik, punya ciri khas tersendiri, dan pernah menjadi trending di media sosial. Silakan masuk Tuan Luke Brown," kata Mr. Zack bersemangat.Rose tersentak. Apa dia sedang berhalusinasi sehingga mendengar nama Luke disebut-sebut oleh dosennya?Karena penasaran, Rose pun menaikkan tatapannya. Darahnya berdesir cepat ketika melihat pria yang tengah berdiri di samping Mr. Zack.Tak salah lagi pria itu adalah Luke Brown--orang yang paling ingin dihindarinya di muka bumi!'Sial!'
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut."Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian."Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu a
Setelah menimbang-nimbang, Rose memutuskan untuk tetap melukis Taj Mahal. Ia tidak peduli menang atau kalah. Toh di kelas melukis banyak mahasiswa yang memiliki bakat luar biasa. Yang terpenting adalah mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati. Seorang seniman sejati harus bisa mengendalikan emosi, bukan membiarkan diri terlarut di dalamnya. Rose mulai mencampur cat minyak dan menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Tidak ada gunanya ia terlalu mencemaskan Luke. Belum tentu juga pria itu mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam keadaan yang berbeda. Sementara itu, Mr. Zack dan Luke sudah sampai pada gadis yang duduk di samping kiri Rose. Mereka berhenti untuk menanyakan apa yang akan dilukis gadis itu. "Jean, apa yang akan kamu lukis?" tanya Mr. Zack. "Saya akan melukis Machu Picchu, Sir." "Pilihan yang bagus. Selamat bekerja, Jean," puji Mr. Zack. "Semoga berhasil," timpal Luke memberikan semangat. Ia berlalu mengikuti Mr. Zack menuju ke kursi Rose. Rose sud
Rose sontak menoleh. Sekarang ia tahu benar siapa orang yang menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa? Tolong lepaskan saya. Jika saya berteriak maka orang-orang di kampus ini akan berdatangan dan membawa Tuan ke kantor polisi," ancam Rose.Luke terkekeh pelan. Ia mengendurkan genggamannya lalu melepaskan tangan Rose."Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tidak berminat padamu. Aku hanya ingin bertanya kenapa sekretaris Miss Black kuliah di fakultas seni. Ini tidak masuk akal."Luke menajamkan sorot matanya seolah ingin menguliti Rose hidup-hidup. Jika saja mentalnya tidak terlatih, tentu Rose akan lari dari tempat ini secepatnya. Namun, itu untungnya tak terjadi. Melihat itu, senyum sinis tersungging di wajah Luke."Denzel mengatakan kalau kamu adalah mahasiswi semester akhir. Aku kira latar belakang pendidikanmu berkaitan dengan bisnis atau arsitek, sehingga kamu diterima bekerja di perusahaan ayahku. Tapi, aku menemukanmu di kelas melukis. Lalu siapa yang konyol disini, Miss B
Luke menambah kecepatan mobilnya agar lekas sampai di kantor Brown Group. Sengaja ia tidak menghubungi Denzel terlebih dahulu. Ia akan memberikan kejutan besar kepada pria itu sekaligus memeriksa apa yang sedang dikerjakannya di kantor.Luke yakin bila Denzel telah meraup banyak keuntungan dari perusahaan. Pasalnya selepas kepergian ayahnya, Denzel-lah yang menjalankan roda perusahaan tanpa ada yang mengawasinya. Mungkin juga ia menjalin hubungan gelap dengan Miss Black sehingga mendapatkan kekuasaan yang tak terbatas.Kala itu Luke tidak mempedulikan soal harta warisan karena masih menemani ibu angkatnya menjalani kemoterapi di rumah sakit. Ia juga tidak berminat mengurusi perusahaan karena disibukkan oleh berbagai macam kegiatan kuliah.Begitu tiba di kantor Brown Group, Luke langsung menuju ke lantai sepuluh. Security maupun resepsionis tidak ada yang berani menghalangi langkahnya. Mereka tahu bahwa pria ini adalah putra pemilik perusahaan. Jika tidak menghormatinya, tentu mereka a
Setelah Luke pergi, Denzel mengayunkan tinjunya ke udara. Rasanya ia ingin menghantam wajah pemuda itu jika saja ia tidak harus menjaga image di depan Rose. Berani-beraninya ia memerintah seorang Denzel Adams tanpa merasa sungkan sama sekali.Luke kini telah memperlihatkan taringnya. Ia harus menyingkirkan putra angkat Louis Brown ini sebelum menjadi duri dalam daging. Dia tidak akan membiarkan Luke mengacaukan rencananya untuk membalas dendam kepada keluarga Brown.***Seorang lelaki berkepala botak menenteng tas kopernya keluar dari bandara. Ujung mantel panjangnya bergerak-gerak tertiup angin. Pria itu menengok ke segala arah untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya.Ia berjalan menuju ke sebuah mobil merah yang telah menantinya di parkiran bandara."Cepat masuk, Hendrick!" panggil seorang wanita berambut ikal seraya menurunkan jendela mobilnya.Pria bernama Hendrick itu membuka bagasi mobil lalu memasukkan kopernya. Selanjutnya ia membuka pintu mobil dan duduk di sebelah kursi
"Luke pasti akan curiga padaku," ucap Rose ragu-ragu. "Tidak usah mencemaskan itu Nona. Saya akan membuatkan surat kuasa atas nama Miss Black untuk menjadikan Nona sebagai perwakilannya di mansion. Ingat Nona sekarang adalah Rose Carter, bukan Roseanne Black." "Terima kasih, Daddy. Aku bisa tenang sekarang. Besok aku akan segera pindah ke mansion," ucap Rose mengakhiri panggilannya. Rose menyimpan ponselnya di dalam laci. Malam ini ia akan meminta izin kepada pamannya untuk pindah rumah. Meskipun berat baginya untuk berpisah dari sang paman, Rose harus melakukannya demi mempertahankan mansion warisan ayahnya. "Uncle," panggil Rose sambil mengetuk pintu kamar pamannya. Tak lama pintu terbuka dari dalam. Namun yang muncul di ambang pintu justru Lily, bukan Josh. Dengan wajah masam, Lily menatap Rose. "Kenapa mengganggu kami malam-malam? Kamu tidak lihat jam berapa sekarang?" tanya Lily ketus. "Maaf, Auntie ada hal mendesak yang harus aku bicarakan dengan Uncle Josh." Mendengar su
Rose memasukkan kopernya ke bagasi mobil. Setelah menyalakan mesin mobilnya, Rose melambaikan tangan sekali lagi sebelum meninggalkan Lily dan Chloe.Chloe membalas lambaian tangan Rose. Rasa senang membuncah di hatinya. Pasalnya ia bebas menguasai rumah Rose dan tidak perlu membagi kasih sayang ayahnya kepada sepupunya itu. Berbeda dengan Lily yang terus memandangi mobil Rose hingga menghilang dari jalan."Mommy tidak rela kehilangan Rose?" tanya Chloe menatap ibunya."Tidak, Chloe. Mommy ingin tahu sebenarnya Rose pindah kemana. Hanya ada dua kemungkinan. Pertama dia ke rumah ayah kandungnya, kedua dia ke apartemen Tuan Denzel. Menurutmu bagaimana?"Chloe mengangkat pundaknya."Ah, aku malas menjawab pertanyaan Mommy. Aku tidak peduli Rose kemana dan tinggal dengan siapa. Itu urusannya sendiri. Aku mau siap-siap ke kampus," ujar Chloe meninggalkan ibunya yang masih berdiri di pintu."Dasar anak itu, tidak bisa diajak kerja sama. Lain kali aku akan meminta bantuan orang lain saja unt
Dengan diantarkan oleh Benjamin, Rose turun dari lantai atas untuk menemui Hendrick Brown. Meskipun jantungnya berdebar-debar, Rose tetap menunjukkan sikap tenangnya. Ia tidak akan membiarkan siapapun tahu bahwa ia adalah Miss Black, sang pemilik mansion.Ketika mendengar langkah Rose, Hendrick segera menoleh. Pandangan matanya lekat memandangi gadis muda yang cantik itu."Apakah kamu sekretarisnya Miss Black?" tanya Hendrick mengamati satu per satu bagian wajah Rose hingga ke rambut hitamnya yang panjang."Iya, Tuan, saya Rose Carter," kata Rose seraya membungkukkan badannya.Hendrick mengulurkan tangannya untuk menyalami Rose."Perkenalkan aku Hendrick Brown. Aku adalah adik dari Louis Brown sekaligus pamannya Miss Black. Aku dengar dari pemberitaan kalau keponakanku itu menetap di luar negri. Apa kamu tahu di negara mana dia tinggal dan berapa nomor ponselnya?" desak Hendrick. Ia belum melepaskan tangan Rose dari genggamannya."Saya tidak tahu, Tuan. Saya belum pernah berhubungan s