Bab Utama : 1/2 Bab Bonus : 0/1 Kalau gems mencukupi akan ada Bab Bonus malam ini.
Angin di medan pertempuran mendadak mencekam, berdesir kencang seolah menggigilkan udara itu sendiri. Debu dan pecahan batu melayang, terbawa pusaran tak kasatmata yang lahir dari sosok mengerikan di depan Kevin—Iblis Angin Neraka.Makhluk itu mengangkat tangan kurusnya yang dilapisi kulit bersisik hitam kehijauan. Matanya—dua cahaya kehijauan menyala dari celah helm bercula—menatap Kevin tanpa emosi.Tiba-tiba, TRAANGG!! Lima pedang hitam bergerigi di punggungnya melesat keluar, berputar seperti baling-baling maut yang haus darah. Dalam hitungan detik, pedang-pedang itu membentuk formasi mematikan... satu dari atas, satu dari bawah, dua dari sisi kanan-kiri, dan satu langsung menuju jantung Kevin.WHUUSHHH!!!“Celaka!” desis Kevin, melompat mundur dengan reflek secepat kilat. Dua dari pedang itu menyayat udara hanya sejengkal dari kakinya, menyisakan riak angin yang tajam seperti cambuk.Tak sempat berpikir panjang, Kevin mengayunkan Pedang Spiritual Dewa Ilahi ke udara. Suara deru e
Langit di atas Lembah Surgawi kembali mengalirkan warna merah gelap, seolah menyapu sisa-sisa cahaya dari dunia ini. Warna itu bukan sekadar pantulan senja—melainkan amarah langit, memucat karena menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak bangkit lagi.Awan-awan tipis melingkar seperti pusaran yang malas namun kejam, membentuk spiral tak berujung, seakan langit sedang menggambar ulang sejarah dengan darah dan kehancuran. Di antara pusaran itu, aroma yang pekat mulai turun—bau darah hangus, belerang tajam, dan sesuatu yang jauh lebih tua dari waktu itu sendiri... bau kehendak Tanah Terlarang, yang selama ribuan tahun hanya tertidur, kini mulai bergolak lagi.Di tepi sebuah jurang, berdiri seorang pria muda dalam diam. Kevin Drakenis. Rambutnya yang gelap berkibar pelan dalam hembusan angin yang tidak biasa—angin yang membawa desiran jeritan tak terdengar dari lembah-lembah dalam. Jubahnya robek di beberapa tempat, sebagian masih menyimpan bekas luka pertempuran melawan Raijin Serpenta.
Langit tidak lagi sekadar kanvas biru di atas kepala. Kini ia menyala dalam warna perak dan ungu kelam, menggeliat seolah menjerit karena dua kekuatan kuno tengah berseteru di bawahnya.Raijin Serpenta, salah satu dari delapan Petir Iblis, melayang di atas tebing dengan tubuh menjulang, dikelilingi oleh gulungan kabel spiritual yang menyala seperti ular kilat. Matanya membakar biru terang—tanpa ampun, tanpa belas kasih. Petir-petir meluncur liar dari bahunya, menyambar tanah, membelah batu, dan menghanguskan udara.Di seberangnya, berdiri sosok yang tidak lagi sepenuhnya manusia—Kevin Drakenis, pewaris naga gelap, dengan aura ungu-hitam menyelimuti tubuhnya. Nafasnya menghembuskan uap qi murni bercampur kehendak iblis yang telah ia jinakkan. Di belakang punggungnya, bayangan seekor naga hitam berputar perlahan, mata merahnya terbuka, seakan menatap langsung ke tulang belakang dunia.“Kau ... apa kamu ini Arkantra Drago yang memiliki naga darah hitam?” tanya Raijin. “Tidak mungkin ... A
Langkah-langkah Kevin bergema pelan di antara lembah yang porak-poranda. Setiap hentakannya membunyikan tanah yang retak oleh sisa energi pertempuran sebelumnya. Ujung jubahnya yang compang-camping melambai tertiup angin, serupa bendera dari medan perang yang belum usai. Darah mengering di bagian bahunya, namun tatapan matanya tak berubah—tetap dingin, tajam, dan memancarkan ancaman diam yang mematikan.Pedang spiritual di tangannya berdenyut lembut, seperti makhluk hidup yang bernapas bersama nadinya. Warna biru tua dan hitam pada bilahnya tampak seperti pusaran badai malam—sebuah simbol bahwa kekuatan darah naga telah sepenuhnya menyatu dengan kehendak spiritualnya. Dalam diam, pedang itu berdesir, seolah siap melumat siapa pun yang berani menghalangi jalannya.Dari balik kabut tipis, suara langkah lain menggema. Sosok Raijin muncul, tinggi menjulang dengan tubuh yang dibalut baju zirah keperakan yang menyala oleh listrik hidup. Aura petir menari di sekujur kulitnya, dan matanya meny
Suara berat dan bergema memecah keheningan, seperti gelegar guntur dari lembah yang dalam.“Pertanda langit seperti itu…” gumam Kurozan, berdiri di belakang mereka, suaranya dalam dan bergetar oleh sesuatu yang tak hanya ketakutan, tapi juga rasa hormat. “Terakhir kali aku melihatnya... saat Perang Seribu Jiwa. Tapi kali ini…” Ia menghela napas pelan, sorot matanya tajam mengarah pada sosok yang berdiri tegak di depan. “Pertanda itu turun untukmu, Kevin.”Langit di atas mereka bagaikan lukisan yang robek—gumpalan awan gelap saling bertabrakan dari dua arah berbeda, membentuk pusaran kolosal yang menyala dengan kilatan petir merah keemasan. Angin meraung seperti makhluk kuno yang baru saja dibangkitkan, meniupkan debu dan serpihan batu dari tanah yang mulai retak.Namun Kevin tidak bergeming.Tatapannya tajam menembus cakrawala yang mengamuk, seakan menantang para dewa dan iblis yang bersembunyi di balik badai. Napasnya tertahan sejenak, lalu mengalir keluar dengan berat—seperti uap dar
Angin dingin menyisir lembah, membawa aroma logam dan kehampaan. Reruntuhan perkemahan di Lembah Surgawi kini tak lebih dari tumpukan debu, tiang-tiang kayu patah, dan kain robek yang melambai seperti bendera perang yang dikoyak sejarah. Di tengah kehancuran itulah mereka bertiga berada—Kevin, Valkyrie, dan Kurozan—bertahan di antara sisa-sisa badai yang hampir merenggut nyawa mereka.Valkyrie duduk bersila di atas batu datar yang masih menghangat oleh jejak spiritualnya. Es tipis menempel di lengan dan bahunya, mengilap dalam cahaya senja seperti sisik naga yang retak. Nafasnya berat dan berembun, tapi sorot matanya masih tajam, menembus gelapnya masa depan yang menunggu.“Kau tahu kita tak bisa tinggal di sini lebih lama, Tuan Muda...” katanya pelan, namun tegas. Suaranya serak, bercampur rasa nyeri dan keyakinan. “Tanah ini... sedang menghisap kita. Qi di sekitarnya tidak lagi netral. Seolah setiap napas yang kita hirup ingin menelan jiwa kita.”Kevin tak menjawab langsung. Ia berdi