Masuk
***
Desa Aokami diselimuti kabut pagi yang tipis. Matahari baru saja terbit, memancarkan sinarnya yang keemasan melalui celah-celah pepohonan lebat yang mengelilingi desa. Burung-burung kecil berkicau riang, tapi suasana hati Itachi tidak seceria pagi itu. Itachi menarik napas panjang, lalu mengencangkan ikatan kain lusuh di pinggangnya. Kaki-kakinya yang kurus melangkah pelan melewati jalanan tanah yang becek. Di kejauhan, suara gemuruh terdengar, anak-anak seusianya sedang berlatih di Lapangan Api. “Itachi! Mau ke mana kau?” teriak seseorang. Itachi menoleh. Di belakangnya berdiri Aishi, anak kepala desa, dengan tubuh kekar dan tatapan meremehkan. Di sampingnya, beberapa anak lain ikut terkekeh, seolah sudah tahu jawaban yang akan keluar. “Aku… aku hanya ingin menonton latihan,” jawab Itachi, mencoba terdengar percaya diri. Aishi mendengus. “Menonton? Hah! Sudah berusia lima belas tahun tapi masih belum bisa menyalakan percikan api. Lebih baik kau berhenti bermimpi menjadi Petarung Elemen.” Anak-anak lainnya tertawa keras. Itachi menundukkan kepala, wajahnya memanas. Tapi dia tidak membalas, hanya melangkah pergi menuju bukit kecil di tepi lapangan, tempat biasa ia duduk sendiri. Di lapangan, para pemuda Aokami tengah berlatih dengan semangat. Ada yang mengendalikan api merah membara, ada yang memanggil pusaran angin, bahkan ada yang mampu menggoyangkan tanah di bawah kakinya. Setiap gerakan mereka penuh kekuatan, seolah-olah mereka telah ditakdirkan untuk menjadi pejuang hebat. Sementara Itachi, hanya mampu merasakan hawa hangat tanpa bisa mengendalikannya. Hari-hari latihannya berakhir dengan kegagalan, membuatnya dijuluki "Anak Tanpa Elemen". Tapi jauh di dalam hatinya, Itachi tahu ada sesuatu yang berbeda. Setiap malam, mimpinya dipenuhi cahaya misterius dan suara asing yang berbisik pelan. Ia tidak pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun, bahkan kepada ibunya. Pagi itu, ketika semua orang sibuk dengan latihan, Itachi mengalihkan pandangannya ke langit. Awan-awan putih perlahan bergerak, menyisakan langit biru yang luas. Angin berdesir pelan melewati kulitnya, seolah berbicara kepadanya. “Itachi.” Sebuah suara lembut terdengar di telinganya. Itachi terlonjak, menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa pun. “Itachi, dengarkan panggilan di dalam hatimu….” Suara itu kembali terdengar, lebih jelas, lebih dalam. Itachi memegang dadanya. Jantungnya berdebar keras, bukan karena takut, tetapi karena sesuatu dalam dirinya merespons panggilan itu. Tiba-tiba, langit mulai meredup. Awan hitam menggelayut cepat menutupi mentari pagi. Para pemuda yang sedang berlatih berhenti, menatap langit dengan kebingungan. “Gerhana Kosmik…” bisik seorang tetua yang berjalan tertatih-tatih ke tengah lapangan. "Sebuah pertanda… pertanda warisan kuno." Itachi meneguk ludah. Kepalanya terasa berat, penglihatannya mulai kabur. Tubuhnya lemas, lututnya bergetar hebat. Ia jatuh berlutut di tanah yang dingin. Dalam kesadarannya yang kabur, ia melihat cahaya putih menyelimutinya. Suara gemuruh terdengar dari segala penjuru. Di balik cahaya itu, siluet makhluk raksasa tampak: naga api yang meliuk ganas, harimau putih berlari di puncak salju, burung besar bersayap petir, dan sosok perempuan dengan mahkota bintang di kepalanya. "Pewarisku… akhirnya kau terbangun," suara gaib itu menggema. Tubuh Itachi terasa seperti akan meledak. Seluruh syarafnya terbakar, darahnya seperti mengalir cepat dalam nadi. Ia meraung, menahan rasa sakit yang luar biasa. Aishi dan anak-anak lain yang tadinya mengejek, kini hanya bisa menatap ngeri. Mereka menyaksikan tubuh Itachi terangkat ke udara, dikelilingi pusaran energi yang tidak dapat mereka pahami. Angin berputar kencang, tanah berguncang, kilatan petir menghiasi langit, dan air dari sungai terangkat membentuk pusaran raksasa. “Itachi! Itachi!” suara ibunya, Nari, terdengar berlari dari arah rumah mereka. Wajahnya pucat pasi melihat pemandangan mengerikan itu. Namun mata Itachi kini bersinar keemasan. Tangan-tangannya menyatu di depan dada, membentuk simbol kuno yang tak pernah diajarkan siapa pun padanya. "Putra langit…" Tetua desa terjatuh berlutut. "Dia… dia mewarisi kekuatan alam semesta." Dalam sekejap, kabut hitam tersedot masuk ke dalam tubuh Itachi, langit kembali cerah, dan tubuhnya perlahan turun ke tanah. Ia terbaring diam, nafasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat. Semua orang mendekat, takut sekaligus penasaran. Tak ada lagi yang berani menertawakannya. Dengan sisa tenaga, Itachi membuka matanya, tatapannya tidak lagi kosong seperti biasanya. Ia merasakan semuanya—angin yang berhembus, panasnya api jauh di perut bumi, aliran air di sungai, getaran tanah, bahkan bisikan bintang di angkasa. Di dalam dirinya, sesuatu telah bangkit. Dan hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Itachi berdiri beberapa saat di depan gerbang batu yang kini telah kembali tertutup. Permukaan batu itu terlihat biasa saja, seolah tidak pernah ada ujian apa pun di baliknya. Namun tubuh Itachi masih merasakan sisa dingin dari roh kegelapan yang menyatu dengannya.Aoka melangkah mendekat. Ia tidak menyentuh Itachi, hanya berdiri di sampingnya, memastikan bahwa keberadaannya nyata.“Kau benar-benar berubah,” kata Aoka pelan. “Auramu… berbeda.”Itachi mengangguk. “Aku tidak merasa lebih kuat,” jawabnya jujur. “Tapi pikiranku lebih tenang. Suara-suara yang biasanya muncul saat aku ragu… sekarang lebih sunyi.”Aoka menatap wajah Itachi. Ia tahu perjalanan barusan bukan ujian biasa. Roh kegelapan tidak meninggalkan bekas luka fisik, tetapi selalu meninggalkan bekas di dalam diri.“Fenrir?” panggil Aoka.Cahaya biru pucat muncul di udara di depan mereka. Wujud Fenrir masih belum sepenuhnya solid, namun sinarnya lebih stabil dari sebelumnya.“Ujian roh kegelapan telah selesai,” kata Fenrir.
Gelap itu terus membesar sampai memenuhi seluruh ruang. Tidak ada lagi arah, tidak ada atas atau bawah. Itachi seperti berdiri di tengah pusaran kegelapan yang berubah menjadi dinding cair, mengalir pelan seperti tinta hidup.Perlahan-lahan, kegelapan itu mulai merayap ke kakinya. Bukan seperti kabut, tetapi lebih seperti tangan-tangan halus yang mencoba menariknya masuk, menggigit pikirannya dari bawah.Itachi menggertakkan gigi, memaksa tubuhnya tetap tegak. Namun setelah beberapa detik, lututnya mulai menekuk. Nafasnya terputus-putus. Setiap udara yang ia hirup terasa dingin dan berat, seperti sedang menarik asap tajam ke paru-parunya.“Jangan runtuh… jangan runtuh…” katanya pada dirinya sendiri.Tapi suara gulungan kegelapan itu semakin keras—seperti angin ribut tanpa arah, namun tanpa suara nyata. Hanya getaran di kepala.Tiba-tiba, dari dalam pusaran gelap, muncul dua mata. Bukan mata manusia. Mata itu seperti dua lubang hitam yang berputar pelan, menarik cahaya yang tidak ada.
Begitu kakinya masuk melewati batas bayangan, cahaya dari luar langsung menghilang. Itachi tidak bisa melihat lantai, dinding, atau bahkan tangannya sendiri. Ruangan itu benar-benar gelap total. Suara dari dunia luar juga langsung hilang. Tidak ada suara langkah, tidak ada suara tumbuhan, bahkan napasnya sendiri terasa teredam.“Tenang,” katanya pada dirinya sendiri. “Ini cuma ujian.”Namun, beberapa langkah kemudian… suara samar muncul.“Ta… chi…”Itachi menoleh cepat. Itu suara yang sangat ia kenal—suara Aoka. Suara itu terdengar seperti Aoka sedang terluka dan menahan tangis.“Kenapa… kamu tinggalkan aku?” suara itu berkata pelan.Itachi mengepalkan tangan.“Itu bukan nyata. Itu cuma ilusi.”Suara Aoka semakin jelas.“Aku selalu mendukungmu… tapi kau malah membiarkan aku mati…”Itachi menggertakkan gigi dan terus berjalan. Langkahnya mantap, namun dadanya terasa berat.Beberapa detik kemudian, muncul lagi suara lain—kali ini suara Guru Shunri.“Itachi… kau mengecewakanku. Aku menye
Awan perlahan menutup kembali setelah ujian roh angin selesai. Ao Lie menggerakkan tangan, dan jembatan awan yang mereka injak mulai menyusut, kembali terurai oleh angin. Kini mereka berdiri di sebuah dataran kecil yang dipenuhi angin timur, namun suasananya jauh lebih berat dibanding sebelumnya. Ao Lie memandang jauh ke arah barat tengah, ke tempat kabut hitam menggumpal seperti dinding besar. “Itu adalah batas menuju Titik Roh Kegelapan. Tidak ada elemen lain yang berkumpul di sana… hanya kegelapan murni.” Aoka menggigit bibirnya. “Kegelapan yang seperti apa? Apakah sama dengan yang menguasai kuil Guru Shunri?” Ao Lie menggeleng pelan. “Tidak. Kegelapan di kuil hanya pecahan kecil. Yang ini… adalah sumber dari semuanya.” Zentarion menghunus pedangnya. “Kalau begitu, kita harus siap dari sekarang.” Ao Lie menoleh pada Itachi. “Tubuhmu sudah menyatu dengan roh langit dan angin. Tapi titik roh kegelapan tidak akan menerima kekuatan itu dengan mudah. Jika kau masuk dengan car
Angin malam berhembus lembut di puncak altar awan setelah Itachi menuntaskan titik roh langit. Cahaya biru yang masih tersisa di tubuhnya perlahan mereda, namun alirannya tetap terasa sampai ke ujung jari. Ao Lie memandangi Itachi dengan tatapan penuh penilaian. “Bagus. Kau sudah membuka gerbang roh langit. Sekarang, kita menuju titik kedua—Titik Roh Angin.” Aoka menghela napas lega. “Untung angin bukan elemen yang agresif seperti api atau kegelapan…” Ao Lie memandangnya sekilas. “Angin bisa sangat berbahaya bila tidak dikendalikan. Ujiannya tidak kalah berat.” Zentarion mengangguk sambil menyampirkan pedang di bahunya. “Aku sudah merasakan getarannya sejak tadi. Angin timur sedang tidak wajar.” Ao Lie melangkah maju, menyapu udara dengan tongkatnya. Dalam sekejap, jalur putih memanjang terbentuk di udara, seperti jembatan dari awan. Itachi menatapnya dengan kagum. “Ini… jalur angin?” “Bukan. Ini celah antara dua arus udara,” jelas Ao Lie. “Hanya bisa dilewati mereka yang sudah
Malam semakin dalam ketika rombongan Itachi turun dari puncak altar awan putih. Cahaya biru yang tersisa di tubuh Itachi masih terlihat samar, terutama di sekitar bahu dan dada. Fenrir tidak muncul dalam bentuk visual, namun auranya menempel kuat seperti pelindung besar yang tidak pernah tidur. Ao Lie berdiri di depan mereka, tongkatnya memancarkan cahaya tipis untuk menerangi jalan setapak menurun menuju lembah batu. “Titik Roh Bumi berada jauh di bawah tanah,” kata Ao Lie. “Jika Titik Langit menguji kestabilan roh, maka Titik Bumi akan langsung menguji tubuhmu.” Itachi mengangguk meski napasnya masih sedikit berat. Aoka memperhatikan wajah Itachi dengan cemas. “Kekuatan Fenrir baru saja aktif penuh. Apa tubuhmu tidak terlalu tertekan?” Itachi tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja.” Zentarion menimpali sambil menepuk pedangnya. “Kalau ada bahaya, aku langsung tolong kau.” Ao Lie melirik mereka berdua sebentar. “Jangan terlalu banyak bicara. Kita belum melewati batas aman.”







