Home / Fantasi / Pewaris Kekuatan Alam Semesta / Bab 9: Bayangan Kutukan di Desa Mati

Share

Bab 9: Bayangan Kutukan di Desa Mati

Author: Raden Arya
last update Last Updated: 2025-07-18 13:47:45

Matahari baru saja muncul dari balik pegunungan bersalju ketika langkah kaki Itachi dan Aoka menapaki jalan setapak yang mengarah ke lembah terpencil. Setelah tiga pekan berlatih di puncak gunung bersama Aoka, perjalanan baru dimulai.

Tujuan mereka adalah sebuah kuil kuno yang konon menyimpan rahasia elemen kuno—energi purba yang diyakini mampu menandingi kekuatan para dewa kegelapan.

“Lembah di bawah sana adalah jalur tercepat menuju kuil kuno,” ucap Aoka sambil menunjuk peta lusuh yang digenggamnya. “Namun kita harus melewati desa Mirasha… atau lebih tepatnya, bekas desa itu.”

Itachi mengernyit. Ia pernah mendengar nama desa itu dalam bisikan para pengelana. Desa Mirasha dulunya makmur, namun sejak beberapa bulan lalu dikabarkan hancur tanpa jejak kehidupan. Penyebabnya? Serangan brutal dari pasukan iblis kegelapan.

Saat mereka menuruni bukit menuju dataran rendah, hawa di sekitar berubah drastis. Tidak lagi sejuk dan menyegarkan seperti biasanya, melainkan sunyi mencekam dengan udara pengap yang menyesakkan dada. Pohon-pohon kering, rumput layu, dan sisa bangunan hangus menyambut mereka begitu menginjak batas desa.

“Itachi… hati-hati. Ada jejak kutukan di sini,” Aoka berbisik waspada, jemarinya sudah bersiap mengendalikan elemen esnya.

Desa itu benar-benar mati. Tak ada suara burung, tak ada binatang liar. Hanya puing-puing rumah, sumur kering, dan bekas luka medan perang. Itachi merasakan bulu kuduknya meremang. Kegelapan di tempat ini terasa berbeda, lebih pekat dan jahat.

Mereka menyusuri lorong-lorong sempit antara bangunan yang roboh. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah sendiri menolak kehadiran mereka. Lalu, di tengah reruntuhan sebuah rumah besar, Aoka mendadak menghentikan langkah.

“Dengar itu?” bisiknya.

Itachi memasang telinga, samar-samar terdengar suara lirih… sebuah tangisan. Mereka bergegas mengikuti sumber suara, hingga tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang sebagian tertutup puing.

Dengan kekuatan gabungan es murni Aoka dan kekuatan fisik Itachi, mereka berhasil membersihkan jalan masuk dan menuruni tangga gelap itu.

Di sudut ruangan lembab, mereka melihatnya—seorang anak perempuan kurus, rambutnya panjang acak-acakan, kulitnya pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari. Di tubuhnya tampak guratan hitam seperti akar yang menjalar dari dada ke tangan.

“Dia… masih hidup,” Aoka berlutut mendekat, menyalakan cahaya biru dari telapak tangannya.

Itachi menyentuh gadis kecil itu perlahan. Suhu tubuhnya aneh—dingin namun ada hawa panas jahat yang mengalir melalui garis hitam di tubuhnya.

“Ada kutukan iblis penghancur di dalam dirinya,” desis Aoka. “Kutukan yang berasal dari kekuatan kehancuran absolut… ini bukan kutukan biasa.”

Anak itu membuka matanya perlahan. Mata yang seharusnya bening malah berwarna kelabu, penuh penderitaan. “Tolong… sakit… aku… tidak bisa mengendalikannya…”

Aoka menggertakkan gigi. “Jika kutukan ini terus menyebar, tubuhnya akan meledak menjadi wadah iblis penghancur,” ucapnya dengan ngeri.

Tanpa pikir panjang, Itachi menggendong anak itu. “Kita harus membawanya keluar dari sini,” tegasnya. Aoka mengangguk.

Keluar dari desa mati tidak semudah masuk. Udara di sekitar mulai bergemuruh, tanah bergetar pelan, dan bayangan gelap muncul di balik reruntuhan. Para pelayan kegelapan yang tersisa rupanya menyadari kehadiran mereka.

Itachi menghunus pedangnya, aura es murni yang baru ia kuasai mulai membungkus bilah tajamnya. Di sisi lain, Aoka membentuk dinding es yang menghalau makhluk-makhluk bayangan yang merangkak dari tanah.

“Cepat Itachi, kau bawa anak ini keluar lebih dulu, aku akan menahan mereka,” seru Aoka.

Namun Itachi menggeleng. “Kita keluar bersama. Kita berdua jauh lebih kuat dari makhluk-makhluk ini.”

Dengan kerja sama yang solid, mereka menembus gerombolan pelayan kegelapan. Pedang es Itachi menebas cepat, sementara Aoka membekukan tanah dan menciptakan pilar-pilar es yang menghancurkan musuh dari kejauhan.

Beberapa jam kemudian, mereka berhasil keluar dari wilayah terkutuk itu. Mereka beristirahat di sebuah hutan kecil, jauh dari bekas desa mati.

Anak perempuan itu tetap tak sadarkan diri, namun Aoka terus mengalirkan energi es murni ke tubuhnya, mencoba memperlambat penyebaran kutukan.

“Kutukan ini hanya bisa ditahan untuk sementara,” ujar Aoka dengan nada murung. “Jika dibiarkan, ia akan hancur dari dalam. Kita harus mencari sumber kutukan ini dan memusnahkannya, atau kutukan akan terus menyebar.”

Itachi mengangguk penuh tekad. “Siapa pun iblis yang melakukan ini… aku akan menghentikannya.”

Aoka menatap Itachi. “Perjalanan kita baru saja dimulai. Namun sekarang, bukan hanya untuk menimba ilmu elemen kuno… tapi juga untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa.”

Di bawah langit senja yang berwarna kelam, mereka tahu, pertempuran sejati menanti di hadapan mereka—pertempuran yang tidak hanya menuntut kekuatan, tetapi juga keteguhan hati untuk melawan kehancuran yang ingin melahap dunia.

Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, tanah di bawah kaki mereka kembali bergetar. Udara mendadak terasa berat, seolah seluruh desa mati menggeliat hidup. Aoka memicingkan mata, tangannya refleks membentuk perisai es.

“Tunggu… ini… ada yang tidak beres,” gumam Itachi. Tatapannya menyapu sekeliling, menyadari sesuatu yang ganjil—langit perlahan berubah merah gelap, puing-puing desa yang tadinya hancur perlahan pulih, berdiri megah seperti sebelum kehancuran.

Aoka menggigit bibir bawahnya. “Ini… ilusi tingkat tinggi!” serunya, namun suara itu bergema aneh di udara yang menyesatkan.

Tiba-tiba, jeritan-jeritan manusia bergema di sekitar mereka. Bayangan-bayangan penduduk Mirasha muncul, berlarian ketakutan, menjerit meminta tolong. Di antara mereka, muncul sosok-sosok iblis bertaring, berkulit hitam pekat dengan tatapan merah menyala, menebas dan membantai tanpa belas kasihan.

Itachi menghunus pedangnya, melangkah maju. Tapi saat ia menebas salah satu bayangan iblis, sosok itu berubah menjadi seorang anak kecil yang tubuhnya terpotong dua di hadapannya. Darah panas menyembur ke wajahnya.

“Tidak… ini… bohong!” Itachi meraung, mundur dengan napas terengah.

“Tenangkan pikiranmu!” Aoka berteriak. Namun suaranya terdengar jauh, terdistorsi, dan tiba-tiba Itachi tidak melihat Aoka di dekatnya.

“Aoka! Aoka!” teriak Itachi panik. Pandangannya berputar-putar, desa mati berubah menjadi neraka yang membara. Sosok ibunya yang telah lama meninggal muncul di hadapannya, menatap dengan mata penuh air mata, “Mengapa kau tak mampu melindungiku, Itachi?”

“Tidak… ini bukan kenyataan… kalian sudah lama pergi…” bisik Itachi dengan suara gemetar. Pedangnya terasa berat, tubuhnya bergetar antara amarah dan kesedihan.

Sementara itu, Aoka sendiri terjebak dalam dunia ilusi yang berbeda. Ia melihat dirinya kembali di istana salju, ayah dan ibunya masih hidup, kerajaan Salju Murni utuh. Mereka tersenyum padanya, memeluknya, berbicara seolah tak pernah terjadi kehancuran.

“Putriku… semua baik-baik saja… kembalilah, tinggalkan perjalanan penuh penderitaan ini… kau tak perlu membalas dendam…” bisik suara lembut ayahnya.

Aoka terdiam, air matanya mengalir tanpa sadar. Hatinya bergetar. Namun saat ia memperhatikan lebih seksama, ia melihat bayangan hitam samar-samar merayap di balik istana salju megah itu, menebar racun hitam ke udara.

“Tidak… ini hanya jebakan!” Aoka berteriak dan menghentakkan kakinya ke tanah, mengeluarkan ledakan aura es murni yang menghancurkan sebagian ilusi.

Namun ilusi tidak menghilang sepenuhnya. Sebuah suara dalam gelap terdengar, dingin dan dalam, “Kalian adalah jiwa yang rapuh… tidak bisa melawan bayangan terdalam kalian sendiri…”

Itachi bergumul dengan ilusi masa lalunya, tubuhnya gemetar. Tangannya meremas pedang erat. “Aku… bukan lagi anak lemah yang ditindas masa lalu… aku… sudah melampaui penderitaanku!” teriaknya.

Menggertakkan gigi, Itachi melepaskan energi gabungan dari elemen es murni dan kekuatan elemen alam semesta dalam dirinya, menciptakan gelombang kejut yang menggulung ilusi menjadi retakan-retakan cahaya biru.

Di sisi lain, Aoka menutup matanya, membiarkan kenangan menyakitkan mengalir dalam dirinya, lalu perlahan menghembuskan napas panjang. “Kalian… hanya kenangan kosong… aku berjalan untuk masa depan, bukan masa lalu!” Energi es murninya berdenyut tajam, menghancurkan bayangan orangtuanya yang palsu.

Dua ledakan energi membelah ruang ilusi, menciptakan retakan di udara yang semula kelam.

Aoka berhasil menemukan Itachi yang hampir terjerembab dalam lingkaran bayangannya. “Bangun, Itachi!” teriak Aoka, menarik tangannya.

Itachi membuka mata, melihat Aoka berdiri di depannya, cahaya biru dari es murni menyelimuti mereka berdua. Perlahan, kekuatan ilusi mulai runtuh, langit kembali abu-abu kelabu, bangunan desa kembali hancur seperti semula.

Dari balik kabut, suara tawa berat terdengar. “Menarik… dua manusia yang berani melawan kegelapan batin mereka sendiri…”

Bayangan besar perlahan menampakkan diri, sosok berjubah kegelapan dengan tatapan merah darah. “Kalian tidak akan pernah bisa membawa gadis kutukan itu pergi… kalian milik bayangan sekarang.”

Aoka dan Itachi saling menatap, lalu sama-sama mengangguk. Mereka tahu, permainan ilusi mungkin sudah mereka lewati, tapi kekuatan kegelapan belum selesai menguji mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 70. Masa Lalu Artheon

    Guru Shunri tersenyum hangat. “Bukan mengendalikan, Itachi. Tapi menyatukan. Kau bukan penguasa alam, kau bagian dari alam itu sendiri. Jika kau bisa memahami hal itu, maka tak ada kekuatan yang bisa melawanmu.” Kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menghangatkan kulit. Dan di tengah ketenangan itu, Itachi menatap cakrawala merasakan bahwa hari itu bukan sekadar latihan, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Roh-roh di udara berbisik lembut seolah menyambut kebangkitannya. Sementara dari kejauhan, Guru Shunri memejamkan mata, bergumam pelan, “Artheon… pewarismu telah mulai memahami bahasa dunia. Kini, takdir akan mulai bergerak lagi.”Udara malam di Kuil Roh Puncak Sembilan Langit terasa begitu tenang. Angin berhembus lembut membawa aroma dupa dan dedaunan kering, sementara kabut putih menari di antara lentera-lentera batu yang berjejer di halaman. Itachi duduk bersila di bawah pohon suci, di depan kolam roh yang memantulkan cahaya bulan samar.Namun mal

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 69. Pelatihan Elemen Roh Dasar

    Pagi hari di Kuil Roh diselimuti kabut lembut yang bergulung seperti tirai sutra putih. Embun menggantung di ujung dedaunan, dan hawa spiritual yang tenang menyelimuti seluruh puncak. Cahaya mentari pertama menembus awan tipis, memantulkan warna keemasan di atas atap kuil kuno itu.Di tengah halaman batu yang luas, Itachi berdiri dengan tubuh tegap. Di hadapannya berdiri Guru Shunri, sang pengendali roh agung, berpakaian jubah putih panjang dengan bordiran simbol spiral yang melambangkan keselarasan antara alam dan jiwa. Tatapannya lembut, namun penuh kedalaman seperti samudra yang tak terukur.Di sisi lain, Aoka dan Nala berdiri memperhatikan dari bawah pohon suci. Keduanya tampak menahan napas, karena atmosfer pelatihan hari itu terasa berbeda. Aura spiritual yang begitu pekat memenuhi udara.“Elemen roh,” ucap Guru Shunri perlahan, suaranya bergema lembut namun penuh wibawa, “adalah elemen tertua yang lahir sebelum bahkan api dan air diciptakan. Roh adalah nafas alam semesta, pengh

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 68. Kepercayaan Roh Kuno Qilin Kepada Itachi

    “Guru,” katanya perlahan, “apakah… aku akan mengalami hal yang sama?”Guru Shunri menatapnya lama. “Tak ada dua jalan takdir yang benar-benar sama, Itachi. Namun sejarah memiliki kebiasaan buruk ia selalu mencoba berulang, menunggu seseorang yang cukup kuat untuk memutus rantainya.”Aoka menatap Itachi, hatinya berdesir tak tenang. Ia bisa melihat kegelisahan di mata pemuda itu, bayangan Artheon seolah menempel di dalam dirinya.Shunri lalu berdiri, berjalan ke arah Itachi dan menepuk pundaknya.“Artheon gagal karena ia tak bisa menyeimbangkan hati dan kekuatannya. Kau berbeda. Kau memiliki rasa takut… dan itu baik. Karena hanya orang yang takut kehilangan, yang benar-benar tahu arti melindungi.”Zentarion muncul sepenuhnya, menatap Shunri dan mengangguk hormat. “Ia mungkin belum sehebat Artheon… tapi aku tahu, api dalam dirinya berbeda. Ia bukan hanya ingin melawan kegelapan, ia ingin mengubahnya.”Guru Shunri tersenyum. “Maka biarlah sejarah memberi kesempatan kedua bagi semesta ini

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 67. Pewaris Kekuatan Elemen Semesta Pertama

    Aoka tersenyum haru. “Itachi… kau sudah melangkah jauh sekali.” Nala yang duduk di sampingnya juga menatap kagum, “Rasanya… auramu kini seperti bukan manusia biasa.” Guru Tua kemudian menepuk bahu Itachi dengan lembut. “Istirahatlah malam ini. Besok, aku akan memperkenalkanmu pada Roh Penuntun Langit, roh yang hanya akan muncul di hadapan mereka yang benar-benar selaras dengan dirinya.” Sambil menatap langit sore yang mulai memerah, Itachi menggenggam Reizenkai dan berbisik lirih, “Zentarion… terima kasih. Aku tahu, perjalanan ini baru dimulai.” Roh pedang itu menatapnya tenang. “Dan aku akan terus di sisimu… sampai hari di mana langit dan bumi berhenti berputar.” Pada keesokan harinya... Langit pagi di puncak Kuil Roh tampak tenang, namun hawa spiritual di sekitarnya terasa berat dan dalam. Kabut lembut menari di antara pilar-pilar batu, seolah menyembunyikan rahasia ribuan tahun di balik tempat suci itu. Itachi, Aoka, dan Nala berdiri di hadapan Guru Tua Shunri, sang pen

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 66. Pertemuan Kembali Dengan Guru Shunri

    “Aku... takut suatu saat segel kutukan ini membuatku kehilangan kendali. Sama seperti bagaimana Api Abadi mencoba menguasaimu.” Itachi menatapnya lembut. “Kalau itu terjadi, aku akan ada di sana untuk menahanmu.” Aoka menambahkan dengan senyum penuh keteguhan, “Dan aku akan melindungimu, bahkan kalau itu berarti harus melawan seluruh langit.” Nala tersenyum kecil, air matanya hampir jatuh. “Kalian berdua... selalu bicara seperti pahlawan. Tapi... terima kasih.” Itachi memandang dua orang yang kini sudah seperti keluarganya sendiri. Dalam hatinya, ia berjanji tak akan membiarkan siapa pun lagi menderita seperti dulu. Di langit, bintang jatuh melintas sejenak, meninggalkan jejak cahaya putih keperakan di udara. Aoka menatapnya dan berkata pelan, “Kau lihat itu, Itachi? Itu pertanda.” “Pertanda apa?” “Bahwa perjalanan kita belum selesai.” Itachi menatap jauh ke cakrawala, di mana langit dan bumi bertemu. Dalam hatinya, suara Zentharion bergema pelan suara yang hanya bisa ia deng

  • Pewaris Kekuatan Alam Semesta   Bab 65. Antara Keraguan Dan Nyala Tekad

    Aoka dan Nala saling berpandangan. Ada rasa tenang yang aneh di sekitar pria tua itu, tapi juga kekuatan yang begitu dalam, seperti lautan tanpa dasar. Sementara Ba Xian duduk di atas bahu Itachi sambil tertawa kecil. “Hati-hati, ya. Kalau beliau mulai bicara soal keseimbangan alam semesta, siap-siap kepalamu berasap.” Guru tua itu tersenyum tipis mendengar celoteh si kera, lalu menatap kembali pada Itachi. “Baiklah, anak pewaris elemen semesta. Malam ini kalian akan beristirahat di bawah atap langit. Besok, pelajaran pertama akan dimulai, bukan tentang kekuatan, tapi tentang diri kalian sendiri.” Suasana mendadak hening. Hanya terdengar suara hewan-hewan roh yang bernafas lembut di sekitar mereka, dan langit yang perlahan diselimuti cahaya bintang. Itachi menatap ke langit, lalu ke arah kuil yang berdiri megah di hadapannya. Ia tahu… langkah berikutnya akan menjadi awal dari ujian baru, bukan hanya melawan kegelapan di luar, tapi juga kegelapan yang tersembunyi di dalam dirinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status