Home / Fantasi / Pewaris Langit Ketujuh / Bab 39 - Napas Terakhir Mentor

Share

Bab 39 - Napas Terakhir Mentor

Author: Andi Iwa
last update Last Updated: 2025-08-06 08:30:38

Aroma dupa lembut bercampur bau darah segar memenuhi aula tua itu. Cahaya senja menyelinap di antara retakan dinding batu giok, membentuk siluet yang menyayat. Di tengah altar giok kuno, tubuh Maestro Yu Heng berdiri kaku. Tak bernapas. Tak bergerak. Tapi juga tak tumbang.

"Dia... membatu?" bisik Qin Rouye dengan suara serak, masih berlutut, setengah jiwanya hilang, tubuhnya gemetar.

Yue Xiulan menggigit bibir. Tangannya berlumur darah dari luka dada yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi matanya tak berkedip menatap tubuh tua itu. "Itu bukan batu. Itu... teknik penyaluran terakhir. Jiwa dipadatkan agar bisa mengalirkan kekuatan terakhirnya."

Gohan berdiri terpaku, jantungnya berdetak lebih keras daripada dentum guntur di luar. Tubuhnya masih terasa setengah tertarik ke portal dunia iblis yang tadi menyedot Han Bei. Tapi hatinya... seolah tertinggal di altar ini.

"Kenapa dia... memilih mati berdiri?" tanyanya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 46 - Jalan Kembali Tertutup

    Petir menganga di langit ungu, menyambar ke tanah Mitian yang kering dan retak. Awan-awan berputar dalam pusaran gelap di atas kepala Gohan Lee. Di tangannya, Pedang Langit yang kini berwarna hijau giok bergetar, seolah merasakan sesuatu yang bahkan ia belum mampu mengerti. "Kenapa kau... menolak?" gumam Gohan pelan. Suaranya tercekat. Matanya menatap pedang yang bergetar seperti makhluk hidup. Bias cahaya gioknya bersinar redup, lalu hilang sama sekali. Xiulan terbaring tak jauh darinya. Nafasnya tersengal, tubuhnya dikelilingi kelopak-kelopak hitam dari sisa kutukan teratai yang masih belum sepenuhnya padam. Di sisi lain, Qin Rouye berlutut, mencoba menyembuhkan luka-lukanya dengan sisa energi spiritual yang ia miliki. "Pedang itu... menolakmu?" tanya Rouye dengan napas berat. "Tapi kau adalah pewarisnya..." Gohan tak menjawab. Ia hanya menatap portal yang bergetar di udara—jalan pulang ke Ranah Bu

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 45 - Kutukan Teratai Memakan Tuan

    Langit Rahasia, atau Mitian, tak pernah benar-benar diam. Ia berdenyut, bernafas dalam kesunyian magis yang bahkan para kultivator tertinggi enggan pahami. Namun malam ini, detaknya tak lagi lirih. Alam menangis. Aura iblis dan roh bercampur menjadi satu. Angin tak sekadar berhembus, melainkan menjerit seperti seribu roh yang tersesat. Di bawah kanopi bintang yang gemetar, Gohan berdiri di tepi Tebing Jiwa, tatapannya terpaku pada pusaran energi hitam keunguan yang menggantung di tengah udara. Aroma teratai terbakar memenuhi langit, menciptakan rasa perih di mata, dan membakar kenangan-kenangan indah yang tersimpan di dalam dada. "Xiulan..." Namanya nyaris tak terdengar, hanya bisikan di antara deru angin. Tapi dunia mendengarnya. Dari pusaran itu, Yue Xiulan tergantung bagai boneka yang diikat takdir. Rambutnya terurai, tubuhnya melayang tanpa daya, dan matanya... kosong. Tapi bukan itu yang menakut

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 44 - Ritual Mata Emas

    Langit Mitian tak pernah benar-benar terang. Di atas langit kelam yang membentang, awan-awan darah menggantung seperti luka yang belum sembuh. Di kejauhan, gemuruh suara tangisan bayi masih menggema dari lembah batu, tempat darah iblis pertama kali menyentuh tanah. Gohan berdiri di atas tebing curam, napasnya memburu. Tangannya masih gemetar, bekas menyentuh bayi iblis yang memanggilnya “Ayah Kedua.” Tubuh mungil itu kini digendong oleh sosok berjubah hitam dengan mata segelap arang dan senyum mengerikan. Zhao Wuji. “Terima kasih telah membawa takdirmu ke sini, Gohan Lee,” ucapnya ringan, seolah ia sedang menyambut tamu kehormatan, bukan musuh bebuyutan. “Apa yang kau lakukan pada bayi itu?” Gohan berteriak, namun suaranya tersembunyi oleh deru angin dari jurang bawah. Wuji menoleh pelan. “Bayi ini... bukan sekadar anak. Ia adalah kunci ritual Mata Emas. Dan siapa pun yang memilikinya, bisa melihat semua kemu

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 43 - Planet Bayangan & Bayi Iblis

    Gelap. Bukan sekadar kehilangan cahaya, ini adalah gelap yang menelan bentuk, suara, bahkan pikiran. Gohan membuka matanya… atau setidaknya mencoba. Tidak ada langit, tidak ada tanah, hanya kehampaan tak berujung. Tubuhnya melayang, tapi dadanya terasa berat seperti diikat rantai dari dalam tulang. Lalu, dari kejauhan, muncul seberkas cahaya. Bukan putih… melainkan merah redup, berdenyut seperti jantung. Ia mencoba bergerak menuju sumbernya, namun setiap langkah seperti menembus lumpur pekat. Nafasnya membeku di tenggorokan. Tubuhnya mulai goyah, dan pandangannya kabur. "Mitian…?" suaranya pecah. Tak ada jawaban, hanya gema suara sendiri yang terdengar seperti orang asing. Tiba-tiba, sebuah siluet muncul di tengah cahaya merah itu. Sosok setinggi dua kali manusia biasa, kulitnya kelabu seperti abu, matanya kosong tapi memantulkan darah. Ia ber

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 42 - Exodus ke Langit Rahasia

    Cahaya hijau giok memercik liar di udara hancur Zhongtian. Retakan langit yang baru saja menelan tubuh Gohan masih memancarkan kilatan liar, seolah tak rela melepaskan mangsanya. Angin spiritual berputar ganas, menarik debu, batu, dan sisa bangunan seperti pusaran tak berbatas. Di dalam kegelapan celah itu, tubuh Gohan melayang bebas. Darah di pelipisnya menetes dan langsung menguap sebelum jatuh. Suara dentingan logam samar terdengar di telinganya, Pedang Langit, masih terikat pada genggamannya, bergetar seperti menuntunnya ke arah tertentu. “Aku… di mana?” suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh kehancuran. Napasnya tersengal. Punggungnya perih akibat benturan tak kasat mata yang menghantam berkali-kali. Di kejauhan, cahaya putih samar muncul. Bentuknya membesar, memanjang, lalu terbelah menjadi dua seperti gerbang. Suara gema kuno menyusup langsung ke dalam tulang belakangnya. Gerbang Mitian… warisan terakhir par

  • Pewaris Langit Ketujuh   Bab 41 - Runtuhnya Zhongtian

    “Kau pikir langit akan diam setelah darah itu terserap?” Suara itu—bukan suara manusia, bukan suara iblis, bukan pula gema dari langit—berbisik dari ujung pedang yang kini bersinar hijau giok. Gohan tidak menjawab. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena takut. Melainkan karena getaran dari tanah di bawah kakinya. Tanah yang tak seharusnya ada karena Zhongtian bukanlah negeri yang bersandar pada bumi. Ia melayang. Ia berdiri di atas lautan awan. Namun kini, awan itu berdenyut. Langitnya membiru, lalu menghitam, lalu... merah darah. Gema guntur meletus dari segala arah. “Tidak!” seru Qin Rouye, berlari dari balik pilar naga yang retak. “Segel terakhir retak! Kau membangunkannya terlalu cepat!” Dari belakangnya, Yue Xiulan tertatih-tatih. Tiga lubang di dadanya hasil serangan ritual tiga matahari sebelumnya masih belum pulih sepenuhnya, meski jiwanya dipinjam oleh Gohan untuk menyelamatkannya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status