Langit memekik. Bumi mengerang.
Kilatan petir membelah cakrawala tepat saat Pedang Langit di tangan Gohan kembali bersinar, liar seperti jiwa yang telah dibangunkan dari tidur panjangnya. Di arena utama Sekte Langit, ribuan mata menatap satu titik: bocah berlumuran debu dengan mata bersinar emas. "Itu... bukan kekuatan murid tingkat dasar!" "T-tidak mungkin! Arena!" Retakan pertama muncul di tengah gelanggang batu giok. Lalu yang kedua. Ketiga. Suara retaknya bukan sekadar bunyi; itu ratapan tanah yang kalah. Gohan terdiam. Di tangannya, pedang bergetar keras, seolah hendak meledak. Lalu bumi di bawah kakinya benar-benar hancur. BRAKHHH! Tanah membelah. Cahaya hijau pekat menyembur dari celah-celahnya. Aroma purba menguar seperti bau darah naga yang telah lama terkubur. Semua tetua berdiri. "Itu... Formasi Naga Hijau? Tapi formasi itu sudah tersegel ribuan tahun!" Bayangan seekor naga raksasa muncul dari retakan. Bukan tubuh, tapi ilusi hijau berkilau yang melilit arena seperti pelindung kuno yang bangkit. Matanya kosong, lalu perlahan menoleh ke arah Gohan. "Dia... membangunkannya..." Bibir Gohan bergerak, tetapi tak ada suara keluar. Pandangannya terfokus pada retakan terdalam, di mana pusaran energi berbentuk lingkaran mulai muncul. Di dalamnya, sesuatu berkilau seperti es. Cermin. Tertanam di dasar tanah, cermin itu tampak membeku dalam waktu. Tapi yang mengejutkan bukanlah keberadaannya, melainkan pantulannya. Gohan melihat wajahnya sendiri. Tapi berbeda. Kulitnya lebih pucat. Matanya merah. Di dahinya, bukan lagi sigil langit, tapi lingkaran iblis berduri. Sosok itu menyeringai. "Belum waktumu, Gohan," bisik pantulan itu, namun terdengar jelas di telinga semua yang menyaksikan. Pecahkan segel. Bangkitkan darah sejati. Maka kau akan melihat siapa dirimu. CRAAKK! Cermin retak sedikit demi sedikit. Energi hitam dan hijau menyembur. Dan dalam sekejap, semua tetua bersenjata. "Segel Iblis Bangkit! Tutup arena! Tutup sekarang!" Namun sudah terlambat. Naga hijau meraung. Ilusinya membesar sepuluh kali lipat. Murid-murid tingkat rendah langsung pingsan. Guntur meledak di langit ketiga. Gohan berdiri di pusat retakan, tubuhnya seperti tertarik pada pusaran di bawah. Lalu sesuatu melompat dari pusaran itu. Sebuah gulungan naga, terbuat dari sisik giok, melayang ke udara dan melilit pedang Gohan. Cahaya emas dan hijau bercampur. Dalam sekejap, Pedang Langit berubah bentuk: lebih panjang, lebih berat, dan di bilahnya terukir tulisan kuno: Langit Ketujuh Takluk Pada Darah. Seketika, dunia terdiam. Tetua Kedua menggertakkan gigi. "Jangan biarkan dia menyatu dengan pedang itu. Jika jadi, kita semua akan kehilangan hak atas pewaris." Tetua Pertama melangkah ke depan. "Tidak. Biarkan. Kita perlu tahu seberapa besar ancaman ini." Gohan menatap pedangnya, lalu ke arena, lalu ke langit. Cahaya dari pedangnya menyinari seluruh sekte. Dalam sekejap, seluruh pedang murid yang tersembunyi dalam sarung bergegas keluar, terbang ke langit, dan bersujud ke arahnya. "Semua... semua pedang tunduk padanya?" Suara itu berasal dari Qin Rouye, putri pewaris Sekte Naga Surga, yang selama ini menonton di balkon kehormatan. Matanya gemetar. "Tak mungkin. Ini tak adil." Tapi Gohan bahkan tak menyadarinya. Suara di kepalanya kembali muncul. Bukan dari pantulan cermin. Bukan dari pedang. Tapi dari dalam darahnya sendiri. Waktumu hampir tiba. Tapi segel iblis masih kuat. Buka satu pintu lagi, dan kau akan lihat… siapa yang pernah kau bunuh. Wajah Gohan memucat. "Siapa aku sebenarnya...?" Langit bergetar. BRAAAK! Awan membelah. Sosok berjubah hitam turun dari langit, diikuti aura dingin yang membekukan napas semua tetua. Tanah menghitam. Langkahnya ringan, tapi setiap jejak meninggalkan retakan. Zhao Wuji. "Terlambat kau bangun, pewaris. Tapi belum terlambat untuk dibunuh." Gohan menegang. Tapi pedangnya bergetar pelan, seperti bersiap untuk menyambut takdir. Wuji menatap pedang Gohan lalu menyeringai. "Akhirnya muncul. Pedang Langit yang membakar tangan iblis. Tapi kali ini, tangan itu milikku." Ia mencabut senjatanya. Sebilah tombak bertatahkan mata merah. "Waktunya menebas masa lalumu." Dua senjata surgawi bersinar bersamaan. Arena pecah menjadi dimensi tak dikenal. Semua penonton tersedot ke luar, menyisakan Gohan dan Wuji dalam ruang tanpa waktu. #PewarisLangitKetujuh #KekuatanTersembunyi #CultivationReborn #PedangLangit #TakdirPewarisHening itu mematikan.Ujung pedang emas bergetar di leher Rouye, nyaris menyentuh kulit. Cahaya dari bilahnya berdenyut, bukan sekadar cahaya. Melainkan desakan, dorongan haus darah yang kian kuat. Seakan pedang itu sendiri ingin segera menenggelamkan diri ke dalam daging sahabat yang kini berdiri sebagai pengkhianat.“Han,” suara Rouye lirih, senyumnya anehnya tenang. “Kau tidak berani. Karena di balik semua keberanianmu, kau masih bocah desa yang takut kehilangan satu-satunya orang yang pernah menatapmu sebagai saudara.”Gohan menggertakkan gigi. Jantungnya berdegup gila, seakan ingin merobek dadanya. Xiulan di sisi ruangan berteriak, air mata berkilat di wajahnya.“Jangan lakukan itu! Jika kau mendengarkan pedang, kau akan kehilangan dirimu!”Tapi bagaimana mungkin ia tidak mendengarkan? Bisikan pedang itu seperti gelombang yang menghantam terus-menerus. Masuk lewat telinga, meresap ke dalam nadi.“Tebas. Dia adalah bayangan.
Angin malam menyapu hening kuil. Sisa-sisa cahaya dari pedang emas masih berdenyut samar, namun di balik keindahan itu ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Gohan meremang. Bisikan halus yang menghantam pikirannya tidak sepenuhnya hilang, ia hanya bersembunyi, menunggu. “Gohan,” suara Xiulan lirih, “matamu… masih berubah-ubah warnanya.” Ia mengusap sudut wajah Gohan, seakan ingin memastikan lelaki itu masih utuh. Gohan hanya mengangguk, menutup matanya sejenak untuk menahan denyutan gelap di dada. Rouye berdiri di pintu kuil, matanya tajam menatap kegelapan malam. “Aku merasakan sesuatu. Ada yang mengintai. Sekte Bayangan… mereka tidak akan tinggal diam setelah kau menguasai pedang itu.” Gohan mengangkat kepalanya. Kata-kata itu langsung membuat napasnya berat. Sekte Bayangan, sekte kuno yang dipercaya telah lenyap ratusan tahun lalu, terkenal karena doktrin licik mereka: ‘Bayangan lebih tajam daripada pedang.’ Mereka tidak m
Gohan terduduk, tubuhnya gemetar, pedang emas di tangan seperti membakar kulit. Napas tersengal, jantung berdegup liar, dan dunia di sekelilingnya terasa melayang, kuil Langit Ketujuh lenyap, menyisakan ruang hampa dan cahaya. “Tidak… tidak mungkin,” desisnya. Kepala berat, suara dalam pikirannya berputar, bukan lagi kabut kuil. Itu… suara pedangnya. “Gohan… kau lemah,” bisik lembut tapi menusuk. “Kau tak pantas mewarisi ini. Ikuti aku… semua penderitaan akan berhenti.” Cahaya emas memudar, berganti semburat hitam pekat berputar di udara, menyentuh kulit dengan dingin mengerikan. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuh gemetar. Pedang itu… hidup. “Bicara padaku?” suaranya serak. Tubuh menggigil, pandangan menelan kuil sunyi, setiap detak terdengar seperti gendang perang. “Tidak, aku bicara melalui kau. Aku tersegel ribuan tahun, menunggu pemilik kuat dan putus asa. Kini aku bangkit.” Suara berbaur dengan det
Udara di sekeliling Gohan seolah berhenti berputar ketika kakinya menjejak tangga terakhir. Setiap langkah menggemakan suara asing, seperti batu-batu kuno itu mengenali siapa yang berjalan di atasnya. Di hadapannya menjulang bangunan yang tak bisa digambarkan dengan kata manusia, Kuil terakhir di Langit Ketujuh. Pilar-pilarnya menggantung di udara, berkilau seperti potongan bintang yang membeku, atapnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang bergerak samar, seakan bernapas. Gohan menelan ludah, rasa logam masih tersisa di lidahnya dari darah yang belum sempat kering sejak pertempuran terakhir. Tubuhnya sakit, teknik terlarang yang dipakai menuntut balasan, tapi matanya tak bisa lepas dari cahaya kuil itu, emas, sama dengan pedang yang dulu jatuh di depannya di desa sepi. “Ini… tujuan akhir…” bisiknya serak. Xiulan di sisi kiri menatapnya teguh meski pucat, Rouye di kanan, tangan terkepal hingga buku jarinya memutih. Keduanya
Darah terasa seperti mendidih di seluruh tubuh Gohan. Nafasnya terhuyung, seperti paru-paru menolak udara. Teknik terlarang yang barusan ia ciptakan masih bergetar di setiap serat ototnya, memaksa tubuhnya menerima beban yang tak pernah diciptakan untuk ditanggung. Setiap denyut nadi adalah cambuk. Setiap gerakan adalah hukuman.Matanya mengabur. Pandangan terbelah antara dunia nyata dan sesuatu yang lain, sebuah ruang yang tak memiliki warna. Bising dari pertempuran tadi lenyap, terganti oleh keheningan yang terlalu dalam untuk disebut damai. Langkah-langkah ringan terdengar di belakangnya, tapi kaki itu tak pernah menyentuh tanah. Suaranya seperti bisikan dari balik pintu yang tak pernah terbuka.“Gohan… apa kau pikir kau bisa menghapusku dengan membunuh tubuhku?”Suara itu membuat tengkuknya kaku. Ia tahu suara itu. Suara yang dulu mengajari, lalu mengkhianati. Suara yang ia pastikan sudah membeku bersama tubuh pemiliknya di dasar jurang maut lima tahun
Gohan terhuyung, pandangannya kabur, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Suara langkah-langkah asing terdengar samar, bercampur dengan napasnya yang berat."Hei, anak muda... kau bahkan berdiri pun tak sanggup," suara itu serak namun mengandung sesuatu yang menusuk hatinya.Gohan memaksa menoleh. Di hadapannya berdiri seorang lelaki renta berbalut jubah compang-camping, matanya redup seperti nyala lilin di ujung malam. Namun anehnya, tatapan itu memancarkan pengenalan, bukan pada dirinya, tapi pada darah yang mengalir di nadinya.“Ayahmu... pernah menyelamatkan seluruh lembah ini,” gumam lelaki itu, membuat Gohan membeku. Dunia tanpa dewa ini mestinya tak mengenal kisah tentang Langit Ketujuh, tapi kata-kata itu menusuk seperti tombak perak.“Kau... mengenal ayahku?” suara Gohan bergetar, tubuhnya goyah, dan sebelum jawaban itu datang, pandangannya menghitam.Ia terbangun di tengah gubuk reyot yang berbau asap kayu. Tubuhnya basah oleh