Senapati Lintang langsung memberikan isyarat kepada Saketi dan para prajuritnya, agar mereka diam dan tetap bersembunyi. Sebelah tangannya ia angkat sambil terus fokus mengamati gerak-gerik empat orang pendekar bertubuh kekar yang ada di depan rumah tua itu.
"Itu hanya perasaanmu saja, tidak mungkin ada orang yang berani datang ke tempat ini," kata pendekar lainnya.
"Tapi aku merasakan ada gerakan manusia di sekitar tempat ini."
"Mungkin itu hanya pergerakan binatang yang menghuni hutan ini," sahut kawannya.
Dengan demikian, pendekar itu pun kembali mundur ke tempat semula. Keempat pendekar itu berdiri tegak di depan pintu rumah kosong tersebut.
Saketi dan Senapati Lintang, terus memperhatikan gerak-gerik keempat orang pendekar. Pedang panjang menyanggul dipunggung mereka, menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan yang terbiasa menganiaya lawan-lawannya dengan senjata tersebut. Kemudian, mereka kembali masuk ke dalam rumah tua itu.
"Pangeran, apakah kita tidak salah? Apa benar rumah kosong ini yang dimaksud ayahandamu?" tanya Senapati Lintang tampak ragu.
"Iya, Paman. Ini adalah tempatnya," jawab Saketi. "Ini adalah satu-satunya rumah tua di sekitar hutan ini," sambung Saketi meyakinkan sang senapati.
Senapati Lintang mengerutkan kening, kemudian berkata lagi, "Tapi, mengapa rumah itu kosong? Kata gusti prabu, ini adalah rumah padepokan silat."
"Aku juga bingung, bagaimana mungkin kita bisa berjumpa dengan Ki Wiradana, sedangkan tempat ini sudah kosong, dan dijaga oleh orang-orang yang tidak kita kenali," sahut Saketi.
"Paman rasa, rumah ini sudah ditinggalkan lama oleh penghuninya," kata Senapati Lintang berkesimpulan.
"Bagaimana kalau kita hampiri saja para pendekar itu, Paman! Kita tanya kepada mereka, ke mana para penghuni rumah itu. Siapa tahu mereka adalah orang-orang Ki Wiradana," saran Saketi lirih.
"Baiklah, tapi ingat! Kita harus hati-hati!" jawab Senapati Lintang.
Kemudian, Saketi berpaling ke arah belakang. Ia menggerakkan tangan kepada para prajurit yang ikut dengannya sambil berkata dengan suara rendah, "Kalian ikut semua. Tapi, kalian harus berpencar!"
"Baik, Pangeran," sahut salah seorang dari para pengawalnya.
Demikianlah, para prajurit itu langsung melangkah maju, dan segera berpencar ke segala penjuru arah. Gerakan mereka sangat gesit dan ringan sekali.
Dalam waktu sekejap saja, rumah kosong itu telah dikepung oleh sepuluh prajurit khusus pengawal pribadi sang pangeran.
"Hai, Ki Sanak. Keluarlah!" teriak Senapati Lintang berdiri gagah di halaman rumah tua itu.
Mendengar seruan dari Senapati Lintang, akhirnya keempat orang pendekar itu bergegas keluar.
"Siapa kalian? Apakah kalian mau cari mati datang ke tempat ini?" bentak salah seorang dari mereka tampak jemawa sambil berdiri angkuh menghadap ke arah Senapati Lintang dan Saketi.
"Maaf, Ki Sanak. Kami datang ke sini bukan untuk mencari musuh, kami hanya ingin mempertanyakan tentang keberadaan para penghuni rumah ini," jawab Senapati Lintang masih tetap bersikap tenang
Namun, para pendekar itu justru bersikap sebaliknya, mereka malah membentak sang senapati dengan kasarnya.
"Bedebah! Kami tidak peduli dengan apa yang kalian katakan. Pokoknya setiap yang datang ke tempat ini, itu tandanya mau setor nyawa!" tegas pria yang mengenakan ikat kepala merah sesumbar dengan suara lantang.
"Langsung serang saja mereka, Paman!" pinta Saketi, ia merasa geram mendengar perkataan orang tersebut.
"Baik, Pangeran." Senapati Lintang mengangkat tangan sebagai isyarat, agar para prajuritnya segera menyerbu empat orang pendekar itu.
Demikianlah, maka para prajurit itu langsung menyerang dengan melontarkan senjata yang sangat mematikan. Tampak sinar-sinar merah melesat dari bagian depan dan belakang rumah tersebut.
Sambaran sinar tersebut sangat berbahaya, karena itu merupakan senjata rahasia yang terbuat dari baja yang sangat tajam dan beracun yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal sang pangeran.
Empat pendekar itu, tampak kaget sekali dengan datangnya serangan mendadak. Dengan cepat, mereka langsung menghunus pedang masing-masing, dan langsung menangkis serangan tersebut dengan pedang-pedang mereka.
Trang! Trang! Trang! Terdengar gaduh suara logam berbenturan, pedang-pedang para pendekar itu menangkis serangan senjata rahasia yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal.
Namun ternyata, kekuatan pedang mereka kalah dengan kekuatan senjata rahasia dari para prajurit Sanggabuana. Pedang-pedang itu dengan mudahnya dapat dipatahkan oleh senjata kecil milik para prajurit itu.
Kemudian terdengar suara pekikan keras dari keempat pendekar itu. Mereka tak kuasa menahan gempuran senjata rahasia yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal, sehingga mereka tidak dapat menghindari serangan senjata-senjata mematikan yang menyerang deras ke arah mereka.
Akhirnya empat orang pendekar bertubuh kekar itu langsung berjatuhan, sekujur tubuh mereka bersimbah darah. Karena senjata-senjata tajam dari sepuluh prajurit khusus sudah menancap di dahi dan perut mereka, racunnya pun dengan sangat cepat menjalar ke seluruh aliran darah para pendekar itu. Hingga pada akhirnya, empat orang pendekar itu tak dapat bertahan lama, saat itu juga mereka langsung meregang nyawa.
“Pengawalmu sungguh luar biasa, Pangeran,” kata Senapati Lintang memberikan pujian kepada para prajurit pengawal yang sudah berhasil mengalahkan empat orang pendekar tersebut.
“Mereka digembleng langsung oleh paman maha patih atas perintah ayahanda. Di antara ribuan prajurit, hanya dua puluh orang yang terpilih, dan sepuluh prajurit ini dikhususkan mengawalku, sisanya mengawal Sami Aji,” terang sang pangeran.
Sejatinya dari kesepuluh prajurit tersebut merupakan pengawal pribadi sang pangeran yang ditugaskan oleh Prabu Erlangga untuk mengawal putranya yang sedang menjalankan tugas darinya.
“Kemampuan mereka setara dengan pasukan khusus Tonggon yang pernah membantai pasukan kerajaan Kundar Buana di masa lalu,” kata Senapati Lintang berdecak kagum.
Saketi hanya tersenyum. Belum sempat berkata, tiba-tiba dari arah belakang rumah tersebut keluar dua orang pria tua sambil tertawa lepas, "Hahaha...!"
Mereka meloncat tinggi, kemudian mendarat sempurna di hadapan Saketi dan Senapati Lintang.Salah seorang dari mereka berkata, “Ambuing-ambuing, begitu mudahnya kalian membunuh anak buahku dan juga murid-murid kesayangan kawanku ini." Pria tua itu menatap tajam wajah Saketi dan Senapati Lintang.
"Kalian sangat luar biasa, kalian adalah orang-orang hebat!” kata pendekar tua itu. "Tapi, harus kalian ketahui. Mereka itu tidak tewas, hanya raga mereka saja yang gugur!" sambungnya sambil terkekeh-kekeh.
Senapati Lintang dan Saketi serta sepuluh orang prajuritnya tampak bersiaga, mereka tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh pria tua itu. Meskipun demikian, mereka tidak terhanyut oleh ucapan tersebut, mereka hanya diam tidak menyahut sepatah kata pun.
“Para pendekar muda yang masih bau kencur berani bersaing dengan kita? Sungguh menjengkelkan!” kata pria tua yang satunya lagi sambil menoleh ke arah kawannya yang tampak lebih renta darinya.
Kedua pria berusia senja itu berkacak pinggang mengamati empat mayat yang bergeletakan di hadapannya.
“Mereka hanya mati jasadnya saja,” desis salah seorang dari mereka.
Senapati Lintang terus mengamati gerak-gerik kedua orang tua itu.
“Kira-kira siapa mereka, Pangeran?” tanya Senapati Lintang berbisik lirih kepada Saketi.* * *Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men