Satu tamparan keras mendarat dipipi kananku. Semua itu disebabkan oleh note dalam gadget yang tidak sengaja terbaca oleh kakek.
Aku memiliki trauma mendalam sejak umur sepuluh tahun. Diakibatkan melihat baku tembak yang terjadi di rumah.Dalam ingatan, suara desing peluru beradu serta darah yang menggenang hampir melumuri lantai putih.Selebihnya aku tidak ingat apa yang terjadi kemudian.Kami pindah rumah ke wilayah ini untuk meneruskan hidup dengan tenang, berbagai macam rangkaian terapi rutin aku lakukan untuk menghilangkan trauma.Salah satunya dengan menulis kegiatan keseharianku, cukup ampuh mengurangi pikiran cemas yang berlebih serta menstabilkan emosi yang mudah meluap."Apa kamu pantas memiliki perasaan itu!?"Kakek membentak didepan kedua orangtuaku, tapi tidak ada satupun dari mereka merespon untuk membela.Keduanya malah terdiam sambil melayangkan tatapan menghakimi.Beruntung Thea tidak melihat semua ini, dia sedang pergi les piano.Jika saat ini dia ada, apa pandangan matanya akan sama seperti semua orang yang ada di ruangan ini.Memandangku dengan tatapan jijik."Aku membesarkanmu bukan untuk jatuh cinta padanya. Sekarang juga kamu keluar dari rumah ini!"Ada rasa sakit di dalam dada, napasku mulai naik turun secara tidak beraturan.Tanpa menunggu kakek lebih menghina diriku, detik itu juga aku angkat kaki dari rumah yang sudah delapan tahun menjadi tempat berlindung.Saat membuka pintu aku menemukannya, dia menatapku dengan mata terbelalak, terkejut.Aku pun sama, lalu pandangannya beralih pada orang-orang yang ada dibelakang."Ada apa?"Dia bertanya polos dengan raut wajah yang masih sama.Kalau aku terlalu lama menatap wajahnya, mungkin aku akan mengurungkan niat untuk meninggalkan rumah ini.Maka paksakan kakiku melenggang pergi, melewati tubuhnya begitu saja."Zee!" Ada getaran dalam suaranya yang membuat hatiku sakit.Tolong jangan panggil namaku.Dia masih terus mengikutiku. Tidak ada yang mencoba menghentikannya.Percuma saja, dia adalah orang yang tidak bisa menahan untuk segala hal yang diinginkannya.Aku mulai mendengar derap langkah kaki dibelakangku lambat laun menjadi lebih cepat."Zeyon Theodora!" Dia menangkap pergelangan tanganku."Apa yang terjadi, Zee mau kemana?"Kami berhadapan saat ini, tidak ada cara lain kalau terus begini.Aku harus membuat dia membenci diriku.Rasa sakit akan membuatnya menderita, tapi itu hanya sebentar. Hidupnya bisa kembali normal setelah ini."Aku muak liat muka mu yang sok polos!"Aku menatap matanya dengan penuh kebencian yang seharusnya aku layangkan pada tiga orang didalam."Rengekan mu yang kayak bayi sangat mengganggu telingaku."Segala perasaan yang sudah terkumpul tadi aku lampiaskan pada orang yang sangat aku cintai ini.Perlahan dia mulai melonggarkan cengkraman tangannya.Aku menepis tangan yang masih menempel itu dengan sekali hentakan.Dia terjatuh ke lantai, bersimpuh. Aku harap kamu bisa hidup dengan baik setelah kepergianku.Aku mantap melangkahkan kaki tanpa sedikitpun menoleh kebelakang untuk melihat. Terdengar Thea yang mulai terisak.Keluar dari rumah dan berjalan tanpa arah.Entah sudah berapa lama dan sejauh apa kakiku sudah melangkah. Aku juga tidak tahu ini ada dimana?Duduk ditepian trotoar untuk mengamati tempat sekelilingku.Gedung-gedung tinggi yang asing, sepertinya aku benar-benar tersesat.Baru sadar, sekarang tujuanku akan kemana?Jangankan meminta tolong pada saudara bahkan teman sekalipun rasanya sungkan.Sesuatu yang keras menghantam bagian belakangku. Seketika itu juga pandanganku kabur.Sedikit melenceng dari prediksi, terjadi lebih cepat.---Aku pingsan? Dimana aku sekarang? Bagian belakang kepala masih sakit rasanya.Penglihatan ku mulai kembali tapi masih terasa sulit untuk sekedar membalikan tubuh dari posisi telungkup.Butuh beberapa menit dan usaha yang ekstra membuat badanku terduduk.Tidak ada cahaya matahari yang masuk, hanya bohlam lampu berwarna kuning itu pun sudah sedikit redup.Semuanya dibatasi oleh dinding, hanya ada satu pintu besi yang diatasnya ada sedikit celah itu pun dihiasi dengan tiga jeruji besi sebagai penghalangnya."Ruang bawah tanah." Pikirku menyimpulkan."Anda sudah sadarkan diri?" Suara perempuan dari mana asalnya.Di salah satu ujung ternyata ada speaker, bila dilihat lebih tajam."Siapa kamu!" Aku berjalan kearah pintu memastikan bisa membukanya, aku juga sudah menendang-nendang tembok."Anda tidak perlu tahu siapa saya."Tapi keduanya sangat kokoh. Tenaga manusia tidak akan bisa merobohkan keduanya."Usaha yang anda lakukan juga sia-sia." Dia bisa melihat apa yang aku lakukan?Apa ruangan ini juga disertain cctv?"Kenapa aku ada disini? Untuk siapa kamu bekerja?""Mulai besok anda akan kami latih.""Latih? Untuk apa?""Anda akan kami keluarkan jika semua pelatihan sudah diselesaikan dan anda dinyatakan lulus oleh kami.""Aku benar-benar tidak mengerti semuanya. Lagi pula aku tidak ingin melawan siapapun""Kalau begitu anda sendiri yang akan dihabisi oleh musuh jika tidak melawan. Kita akan berjumpa lagi besok. Selamat beristirahat. Tuan Muda."Tuan Muda?Kakek? Atau ayah dan ibu? Siapapun itu aku tidak tahu alasan sebenarnya kenapa aku harus ada disini.Sempat menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarga Theodora, bukan seperti keluarga konglomerat pada umumnya.Beberapa kali aku mendapati ada orang yang mencoba membuntuti ku.Awalnya merasa bahwa akulah incaran dari para pesaing bisnis Ayah.Ternyata sanak keluarga sendiri yang menyimpan dendam.Apalagi setelah diumumkannya aku sebagai pewaris semua perusahaan Theodora.Cara pandang paman dan bibi langsung berbeda melihat diriku. Ada tatapan sinis di setiap pandangan mereka.Setelah ditelusuri ternyata semua keluarga besar Theodora tidaklah memiliki hubungan darah. Baru Paman dan Bibi yang aku pastikan.Untuk menyelidiki ayah, ibu, kakek dan Thea. Aku harus ekstra hati-hati.Lebih tepatnya belum siap bila menerima kenyataan aku memang tidak ada hubungan darah juga dengan mereka.Hingga suatu hari aku dan Thea di culik oleh orang yang tidak dikenal.Aku mulai menyadari perasaan sayangku pada Thea lebih dari sekedar seorang kakak.Mungkin itu juga salah satu sugesti. Karena menyelidiki silsilah keluarga. Malah semakin hari perasaanku padanya makin kuat.Tidak apalah jika aku memang tidak ada hubungan darah dengan mereka.Aku akan lebih leluasa untuk mengungkapkan perasaanku pada Thea.Tapi semua itu sia-sia pada akhirnya.Catatan rutinku ternyata selalu di pantau oleh Kakek. Aku baru tahu itu, setelah kejadian tadi pagi.Kesimpulannya kalau begitu, keluarga Theodora yang sesungguhnya hanya kakek, ayah, ibu dan Thea.Tapi untuk apa mereka memalsukan identitas para paman, bibi dan tentunya aku kedalam keluarga Theodora?Anggap saja itu urusan pribadi atau mereka sekedar berbelas kasihan dan juga mengayomi kami.Keberadaanku disini berarti adalah hukuman karena mencoba mencari tahu silsilah keluarga Theodora.Mudah saja untuk kakek atau ayah langsung membunuhku dan menghilangkan jejaknya dari pada mengurungku seperti hewan di sel bawah tanah ini.Oh aku tahu, mereka ingin membunuhku dengan cara menyiksa secara perlahan-lahan, hingga aku menghembuskan napas yang terkahir.Mengingat penjelasan perempuan dispeaker tadi. Aku akan berlatih.Sedari kecil aku sudah dilatih berbagai macam hal. Kali ini sejenis latihan pertahanan diri?Dengungan keras melengking ditelingaku. Bukan berasal dari speaker diujung ruangan itu. Ini berasal dari kepalaku.Kilasan balik kejadian delapan tahun kebelakang muncul dalam penglihatan ku.Bagai film yang diputarkan kembali dengan layar yang besar dihadapanku.Beberapa orang masuk kedalam rumah dangan senjata besar, isi pelurunya banyak hingga terjuntai.Laki-laki itu membombardir tembakan keseluruh penjuru rumah.Tembok rumah penuh dengan lubang dengan peluru bersarang disana, pecahan kaca berserakan di lantai."Tetaplah diam didalam hingga dia datang." Kata terkahir yang diucapkan wanita yang tengah sekarat itu."Momy!"Suara pintu besi terbuka memunculkan sesosok laki-laki jangkung. "Berdiri!" Aku tidak ada keharusan menuruti perintahnya. Siapa dia! Maka aku jawab dengan dengusan nafas.Tanpa aba-aba dia berlari kearahku dan meninju wajah bagian kiri. Apa dia sinting!Karena mendapat bogeman mentah, emosi dalam dirku juga tersulut. Aku pernah belajar seni bela diri dari korea. Sial! Tendanganku tidak mempan untuknya. Tubuh itu terlalu kekar untukku. Sekarang kakiku malah berada dalam genggamannya. Secepat kilat dia memelintir hingga tubuhku ikut terjungkal."Arghhhhhhh!" Sakit sekali rasanya. Kakiku patah. Dia terus melanjutkan aksinya. Berjalan selangkah demi selangkah untuk mengintimidasiku. Sedang akan aku mengesot menghindari.Mentok. Tembok menghalangi punggungku. Satu lagi layangan tinju. Aku pasrah. Sudah tidak tahu berapa kali dia memukuli wajahku. Terkapar. Aku berharap mati saja kali ini. Disiksa seperti ini membuatku kepayahan baik secara fisik maupun secara mental. Rasa amis dan
"Jangan berisik nanti Kakak bangun.""Kamu sedang apa disini?""Aku bosan dirumah." Suara dua orang? Kenapa berat sekali untuk membuka mata. Sekujur tubuhku semuanya terasa sakit.Aku masih hidup? Padahal aku berharap mati saja, lebih baik daripada hidup tanpa tujuan."Lihat tangannya bergerak.""Cepat panggil Kak Eva!" Genta, bocah yang aku temui diruang bawah tanah dan yang baru saja pergi tadi pastilah Raka. Ada yang aneh, aku mengenali wajah mereka, Tapi terasa berbeda auranya. Bahkan bentuk tubuh mereka sudah berbeda. Mereka bukan anak kemarin sore, mereka sudah tumbuh menjadi laki-laki muda.Hal terakhir yang aku ingat adalah Ayah memukuliku dengan tongkat besi sebelum dia akhirnya menembakkan beberapa peluru kepadaku."Untung peluru itu tidak menembus organ vital. Semuanya masih bisa diselamatkan. Mungkin butuh beberapa bulan untuk pulih."Ingin aku ucapkan terima kasih, tapi mulutku tidak bisa menyuarakan itu. Hanya erangan kosong yang tanpa arti."Tuan Muda mungkin tidak b
"Cuman ini yang bisa aku lacak." Kami sedang berkumpul di meja makan. Raka turun sambil menyerahkan tumpukan kertas yang dia jepit diatas papan dada. Aku pikir ini akan setebal aset-aset keluarga Theodora. Nyatanya kurang dari lima puluh lembar. "Apa... Enggak sesuai ekspetasi Kakak?" Raka mulai bergabung menyantap makan malam miliknya. "Aku jamin! Ini paling akurat. Kakak mau cari dimanapun engga akan seakurat yang aku temukan ini." Lanjutnya lagi."Kenapa bisa begtu?""Karen Tuan sudah menghapus dan mengganti sebagian besar data dirinya.""Wah. Aku pikir selama ini Tuan memang anak kandung dari Tuan besar.""Maksud kamu?" Tanyaku pada Genta yang mulai memperhatikan Raka. "Sepertinya kalau aku yang ngomong, kalian engga akan percaya. Gimana kalau Kak Eva aja?" Usul Raka sambil menyendokan nasi ke mulutnya. Kini lagi-lagi semua mata tertuju pada Eva. "Tuan adalah menantu Tuan besar. Sama seperti kalian. Dia adalah anak yang diselamatkan dari peperangan antar anggota mafia.""Ap
Sesuai rencana diawal, maka aku akan mulai dari tempat yang terdekat denganku.Selain untuk memudahkan ku menyusun rencana, juga menghindari agar tidak terlalu menimbulkan perhatian dari berbagai pihak.Hanya kami bertiga yang berangkat ke pelabuhan. Menurut Eva kehadiran dia dan adiknya sudah cukup bisa menjagaku.Mobil berhenti di salah satu gudang di samping pelabuhan.Aku mulai gugup, di depan pintu saja sudah ada dua orang yang berjaga."Ini." Evan yang duduk di kursi pengemudi menengok dan menyerahkan satu senjata api.Jenis Glock tapi aku tidak yakin ini tipe yang mana.Isinya bisa enam sampai delapan peluru tergantung tipe. Kecepatan dan jarak tembaknya juga berbeda-beda dalam setiap tipe. Mungkin aku harus mulai mecari tahu tentang jenis-jenis senjata api dalam waktu dekat ini."Tuan muda tidak usah diberi." Eva mengambil langsung dari tangan adiknya."Apa salahnya? Dia butuh itu sebagai jaga-jaga.""Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan, bagi Tuan muda yang belum terbias
Sudah seminggu untuk insiden akuisisi pelabuhan. Aku harus kembali kesana untuk mengisi kekosongan akibat terbunuhnya pemimpin mereka. Kata Eva mereka tidak boleh dibiarkan kebingungan. Hari ini, tidak seperti kemarin. Kami mengganti formasi. Evan tidak ikut sebab digantikan oleh Raka. Raka akan bertugas untuk menyiapkan segala keamanan gudang. Akan ada pemasangan cctv dan pemasangan kode agar tidak akan bisa sembarang orang masuk kedalam gudang nantinya. Eva masih ikut sebagai pelindungku. Itu yang dilontarkanya. "Jadi ini tempatnya?" Raka mengedarkan pandangannya. Bahkan sampai kepala dan badannya ikut berputar-putar. Mengajaknya kemari seperti mengajak anak pergi ke taman wisata. Ada dua koper berukuran besar yang ikut di dereknya."Apa ada masalah?" Tanyaku saat melihat senyuman di wajahnya tiba-tiba hilang."Hm, listriknya. Kayaknya ini gudang tua yang usang.""Kamu berharap ini apa? Taman bermain?""Seenggaknya instalasi listriknya memadailah." Setelah kami masuk mere
"Duh, ngapain kita disini sih?" Evan terlihat berjalan ogah-ogahan melintasi taman depan. "Bawa yang aku pesan?" Genta mengacungkan dua keresek besar di tangannya. Yup. Hari ini aku ingin sedikit merayakan keberhasilan kita. Merayakan diarea pelabuhan. Lebih tepatnya di halaman rumah singgah. Aku menamai rumah yang dulunya dimiliki boss dengan nama rumah singgah. Siapa pun bisa menggunakannya tidak hanya untukku saja. Satu peti kayu berisikan daging sapi segar dan yang satunya lagi berisi daging ikan. Ini adalah pemberian anak buah baruku. Kami ingin mengadakan barbeque. Genta dan Evan, aku suruh berbelanja keperluan tambahan. Seperti sayuran dan saus yang akan dipakai. Surya membantu mempersiapkan peralatan panggang dan piring yang sudah tersedia di rumah ini. Eva membantu menyiapkan meja panjang di luar ruangan untuk tempat kami menikmati hidangan nantinya setelah semua ini matang. Lagi-lagi aku teringat keluarga Theodora. Mungkin sebenarnya aku melakukannya karena meri
"Yakin?" Genta memandang orang yang mengantri di bandara. Jujur aku tidak percaya diri. Jadi aku ajak saja semuanya sekalian. Termasuk semua anak buah di pelabuhan. Dibantu oleh Eva, kami memesan khusus penerbangan umum hanya untuk perjalanan kami. Jet pribadi yang di miliki keluarga Theodora di Bali tidak mampu menampung penumpang sebanyak ini. Kami gunakan saja fasilitas umum yang dimodifikasi sedikit demi kenyamanan kami maupun penumpang lainnya. "Gunanya bawa anak buah segini banyak apa coba?" Genta kembali berkomentar. "Ya enggak apa-apa dong. Makin banyak orang makin seru perjalanan kita." Raka menimpali dengan ceria. "Aku rasa tumbal segini cukup untuk menyelamatkan kita di situasi genting." Sekarang giliran Evan yang angkat bicara. "Heh! Maksudnya tumbal apaan?" Mulai lagi. Raka dan Evan bertengkar. Disana juga semuanya sudah dikoordinasi dengan baik oleh Eva. Dia sangat berjasa untuk urusan seperti ini. Mungkin jika semuanya sudah selesai aku akan mengangkat Eva men
Pukul dua belas malam.Aku sedang berdiri di balkon. Menunggu Soraya. Konyol memang berpikir malam ini dia juga akan bersenandung disini. Sepertinya itu dia. Suara langkah kakinya semakin mendekat. "Tuan Muda.""Genta?" Aku masih mencari Soraya di balik tubuh Genta. "Sedang menunggu seseorang?""Iya. Tapi mungkin dia tidak akan datang malam ini.""Siapa?" "Dia bilang salah satu pasien VVIP rumah sakit ini?" Aku masih melihat Genta kebingungan. Apa reaksinya akan sama dengan Raka. "Aku akan minta bantuan Raka untuk mencari tahu tentang itu." Genta mulai menyamankan diri, bersandar di balkon sambil menikmati pemandangan kota. Raka? Berdoa saja semoga dia tidak heboh dan membuat dirinya berada dalam masalah, karena diam-diam menemuiku di rumah sakit. "Tuan Muda, suatu saat nanti jika semuanya sudah tenang. Bolehkah saya pergi melihat dunia?""Tentu saja. Makannya aku tidak bisa menunda-nunda hal ini lebih lama." "Terima kasih Tuan Muda sudah mengizinkanku." Ada seulas senyuman