Share

2. Pertarungan Pertama

Suara pintu besi terbuka memunculkan sesosok laki-laki jangkung.

"Berdiri!"

Aku tidak ada keharusan menuruti perintahnya. Siapa dia! Maka aku jawab dengan dengusan nafas.

Tanpa aba-aba dia berlari kearahku dan meninju wajah bagian kiri. Apa dia sinting!

Karena mendapat bogeman mentah, emosi dalam dirku juga tersulut. Aku pernah belajar seni bela diri dari korea.

Sial! Tendanganku tidak mempan untuknya. Tubuh itu terlalu kekar untukku. Sekarang kakiku malah berada dalam genggamannya.

Secepat kilat dia memelintir hingga tubuhku ikut terjungkal.

"Arghhhhhhh!" Sakit sekali rasanya. Kakiku patah.

Dia terus melanjutkan aksinya. Berjalan selangkah demi selangkah untuk mengintimidasiku. Sedang akan aku mengesot menghindari.

Mentok. Tembok menghalangi punggungku.

Satu lagi layangan tinju. Aku pasrah. Sudah tidak tahu berapa kali dia memukuli wajahku.

Terkapar. Aku berharap mati saja kali ini.

Disiksa seperti ini membuatku kepayahan baik secara fisik maupun secara mental.

Rasa amis dan besi bercampur dalam mulutku. Muntah darah.

"Kamu terlalu lemah untuk jadi tuan muda keluarga Theodora."

"Siapa juga yang mau?!" Aku berteriak dengan sisa tenagaku.

---

Aku tidak tahu ini siang atau malam, bahkan sudah berapa hari aku terkurung disinipun aku tidak bisa menghitungnya.

Laki-laki jangkung itu terus datang ketika aku sudah mulai pulih. Dia tidak berhenti menghajarku sampai aku terkulai lemah.

Sekarang kondisiku sudah dekil dan kusam. Pakaian yang aku kenakan sudah tidak berbentuk. Compang-camping persis seperti orang gila dijalanan sana.

"Sudah sebulan anda disini. Apa anda benar-benar tidak akan melawannya?" Baru terdengar lagi suara perempuan itu di speaker.

"Kalian ingin aku mati dengan perlahan bukan, lakukan saja semau kalian." Ucapku sinis.

"Tuan muda sudah lama anda dilatih dengan penuh kebaikan dan kasih sayang. Sekarang giliran saya untuk melatih anda."

"Kamu juga tahu, bahwa aku tidak ada hubungan darah sama sekali dengan keluarga Theodora."

"Jadi lepaskan aku! Tidak, kalau pun kalian tidak akan melepaskanku dengan mudah."

"Bunuh saja aku!" Lebih baik aku mati, daripada disiksa seperti hewan.

"Ada atau tidaknya darah Theodora dalam diri tuan muda, tapi jika sekali anda masuk kedalam keluarga Theodora, anda tidak akan pernah bisa keluar walau seujung kukupun."

"Sebenarnya apa yang kalian inginkan dengan membawa anak-anak dari keluarga seperti kami yang mungkin saja kalian sendiri yang menghabisi keluarga mereka."

"Tuan muda selesaikan dulu pelatihan ini, secara bertahap saya akan memberitahu tuan muda." Hening setelahnya tidak ada suara lagi.

Benar dugaanku, mimpi-mimpi itu nyata. Mereka mencoba menutupi semua kejadian dengan dalih terapi untuk pascatrauma.

Merekalah dalang dibalik semuanya.

Membuat seolah mereka terlihat seperti malaikat yang menolong anak-anak seperti diriku, lalu dijadikan kacung dikemudian hari.

"Thea..." Tiba-tiba aku teringat dirinya.

Apakah dia juga bernasib sama sepertiku. Jika benar, maka aku harus menolongnya.

Tidak mungkin, dia anak kesayangan ayah dan ibu. Pasti Thea memiliki darah keluarga Theodora.

"Ada orang disini?" Terdengar seperti suara anak remaja laki-laki.

Dari asal suaranya, aku bisa menebak umur anak itu. Kira-kira tiga belas sampai empat belas tahun.

Tempat ini jelas bukan sembarangan tempat yang bisa dimasuki oleh orang asing.

Ada anak yang tersesat sangatlah tidak mungkin.

Terkecuali anak itu adalah salah satu anggota keluarga orang yang berada di tempat ini.

Sepengetahuanku hanya perempuan di pengeras suara tadi dan si Jangkung.

Ya, aku memanggil pria tukang hajar itu dengan sebutan si Jangkung.

Ada berapa orang lagi yang berada dalam tempat ini?

"Kakak, apa sudah sehat?" Bayangan anak itu bisa terlihat dibawah pintu jeruji besi.

"Kenapa enggak jawab, apa kakak ini pingsan lagi."

Dia mencoba membuka pintu? Bagaimana anak seusianya mampu membuka pintu besi yang cukup berat ini.

"Heh? Ternyata kakak sadar. Kakak kenapa enggak jawab aku?"

Cukup mencengangkan melihatnya berhasil membuka pintu dan berdiri disana.

"Apa Genta salah ngasih obat ya? Kakak ini sepertinya tidak bisa ngomong."

Dia bahkan sekarang duduk berhadapan denganku sambil menopang dagu.

Wajahnya sangat tampan untuk anak seusianya, matanya bulat besar dan beberapa kali dia tersenyum yang aku sendiri merinding melihatnya. Dia tersenyum untuk apa?

"Semua memanggil Kakak dengan Tuan muda. Tapi aku enggak mau. Kalau aku jadi Adik untuk Kakak apa boleh?"

"Siapa kamu?"

"Raka." Ada suara lainnya.

Satu anak remaja lagi berdiri disana. Anak ini pun menoleh kearah yang sama denganku.

"Genta!"

Dia berlari kearah anak yang bermuka masam itu. Pintu ditutup kembali seiring mereka keluar dari ruangan ini.

"Kalau Kaka Eva tau, tamat riwatayamu."

"Tapi Tuan muda kita terlihat sehat, aku senang. Aku juga ingin melihatnya secara langsung. Emangnya cuman Genta yang boleh nengokin."

"Diam! Kita harus kembali sekarang." Suara derap kaki yang makin samar.

"Lelucon macam apa ini? Sekumpulan bocah, yang benar saja."

Kedua anak itu juga akan tertangkap kamera CCTV karena sudah masuk kedalam sini.

Eva, nama perempuan di speaker itu pastilah yang disebut kedua anak tadi.

Apa hanya empat orang saja? Kalau aku berhasil melawan si Jangkung kesempatan untuk keluar dari tempat ini sangat besar.

Masalahnya sekarang aku harus memutar otakku untuk mengalahkan si Jangkung. Untuk kekuatan fisik jelas aku kalah jauh dengannya.

Menghindar! Iya aku akan menghindari pukulannya. Selain itu aku harus menggunakan ruangan ini untuk membantuku.

Benda-benda keras. Aku harus membawanya ke sudut ruangan.

Jadi ketika dia hendak melayangkan tinju, aku akan menghindar dan tinju yang sekuat tenaga telah dia siapkan akan menghantam tembok yang keras ini.

---

Aku sudah siap. Jaraknya tujuh hari, dia akan kembali menghajarku.

Hari ini pasti dia akan datang. Aku sudah menyiapkan strategi yang dibuat semalam suntuk.

Pintu kembali di buka. Dia datang. Aku sudah berdiri di tempat yang aku jadikan senjata.

Berhasil menghindar! Sesuai dengan dugaanku tinjunya mendarat ditembok yang keras itu.

"Anda sudah mulai mengerti permainan ini ya. Tuan muda."

"Jika aku Tuan muda mu, bisakah kita berdiskusi?"

"Tugasku adalah membunuh Tuan muda."

Dia tidak main-main sorot matanya sekarang berubah. Ada kesenangan dan juga gairah untuk melawanku yang sebelumnya hanya pasrah di pukuli olehnya.

Sekali dua kali mungkin rencanaku berhasil. Dia juga petarung ulung, dia langsung bisa membaca gerakan.

Sialnya lagi, kakiku yang pincang menyulitkan untuk bergerak cepat kesegala arah. Aku tertangkap!

"Apa aku akhiri saja hari ini?" Sekarang dia menindih badanku.

Apa ini akhir dari hidupku? Aku pasrah menutup mata.

Aku bisa mendengar suara tembakan. Ini akan menyakitkan tapi, tunggu! Aku membuka mata dan dia terjungkal kebelakang.

Tertembak.

"Ayah?"

"Hanya segitu kemampuanmu?" Ada dua senjata ditanganya.

Tangan kanan memegang senjata api dan ditangan kirinya memegang tongkat besi.

Apa dia datang untuk menyelamatkanku? Walau aku tidak pernah berbicara banyak dengan Ayah. Mungkin Ayah memang menganggapku sebagai putranya.

Detik ini juga aku ingin menangis terharu, tapi Ayah pernah berkata laki-laki tidak boleh menangis. Karena itu kelemahan yang sangat fatal.

"Aku tidak paham kenapa dia membawamu." Aku mengernyitkan dahi mendengarnya.

"Apa aku masih kurang untuknya hingga dia membawamu kedalam keluarga ini?"

"Sial! Kamu juga semakin bersikap kurang ajar dengan berani-beraninya menaruh hati pada putriku!"

Aku rasa Ayah datang bukan untuk menyelamatkanku. Dia tetap tidak suka padaku sejak awal.

Dia adalah malaikat maut sesungguhnya untukku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status