Langit masih gelap ketika Azlan keluar dari toko Ziyad. Jalanan kota mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan dengan cepat, entah karena kedinginan atau karena tak ingin terlibat dalam urusan yang bukan urusan mereka.
Ia menggenggam kertas tugas yang diberikan Ziyad. Menyembuhkan seseorang tanpa diketahui? Itu bukan hal yang sulit baginya, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Siapa orang ini, dan mengapa banyak pihak menginginkan dia tetap hidup? Azlan menyusuri gang-gang sempit menuju distrik selatan. Tempat ini berbeda dari pusat kota yang penuh kemewahan. Di sini, rumah-rumah reyot berdiri berdesakan, jalanan kotor, dan bau anyir bercampur dengan sisa-sisa makanan busuk. Orang-orang yang berlalu-lalang menatapnya dengan penuh curiga, namun Azlan tetap melangkah tanpa terganggu. Tujuannya adalah sebuah rumah kecil di ujung gang buntu. Cahaya redup dari lilin di dalamnya bergetar tertiup angin. Ia berhenti sejenak, mendengarkan suara-suara di dalam. Ada seseorang yang mengeluh kesakitan, suaranya lemah. Azlan mengetuk pintu pelan, lalu menunggu. Tak ada jawaban. Setelah beberapa saat, ia mendorong pintu perlahan, membiarkan engsel tua itu berdecit lirih. Di dalam, seorang pria tua terbaring di atas kasur lusuh. Nafasnya berat, matanya tertutup rapat. Di sampingnya, seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun menunduk, menggenggam tangan pria itu erat-erat. Wajahnya dipenuhi kelelahan dan kecemasan. Azlan melangkah masuk tanpa suara. Gadis itu tersentak dan langsung beranjak, bersiap membela diri. "Siapa kau?" suaranya penuh kewaspadaan. "Aku datang untuk menolong," kata Azlan singkat. Gadis itu menatapnya tajam. Jelas sekali ia tak mempercayai orang asing begitu saja. Azlan menghela napas, lalu berlutut di samping tempat tidur pria tua itu. Ia menyentuh pergelangan tangannya, merasakan denyut nadi yang lemah. "Penyakit paru-paru," gumamnya. "Sudah cukup parah." "Ayahku tak punya uang untuk berobat," kata gadis itu lirih. Azlan tidak menanggapi. Ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan biru yang diberikan Kirana. Ramuan ini sangat kuat, dan hanya butuh sedikit untuk menyembuhkan orang yang sekarat sekalipun. Ia membuka botol itu, menuangkan satu tetes ke dalam air, lalu menyentuh bibir pria tua itu dengan ujung sendok. Dengan susah payah, pria itu menelan cairan tersebut. Beberapa menit berlalu. Gadis itu menatap dengan waspada, sementara Azlan tetap tenang, memperhatikan setiap perubahan. Perlahan, nafas pria tua itu mulai membaik. Wajahnya yang tadi pucat kini mulai mendapatkan kembali warna aslinya. Dan kemudian, mata pria itu terbuka. Gadis itu terkesiap, matanya berkaca-kaca. "Ayah!" serunya. Pria tua itu menatap sekeliling dengan kebingungan. "Aku… masih hidup?" Azlan berdiri. "Kau sudah sembuh. Tapi butuh waktu untuk pulih sepenuhnya." Gadis itu berbalik ke arah Azlan, wajahnya penuh harapan dan terima kasih. Namun sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, suara ketukan keras di pintu membuat mereka terkejut. "Dokter sudah datang!" terdengar suara di luar. Azlan menyipitkan mata. Ini berarti waktunya untuk pergi. Ia melangkah mundur, bergerak menuju pintu belakang. Ketika pintu depan terbuka, seorang dokter muda masuk bersama dua pria berbadan besar. Ia melihat pria tua itu yang kini sudah sadar dan langsung terkejut. "Mustahil!" serunya. "Keadaannya seharusnya memburuk, bukan membaik!" Gadis itu menatap dokter itu bingung. "Apa maksudmu? Ayahku sudah sembuh!" Dokter itu dengan cepat menenangkan dirinya, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja, aku yang menyembuhkannya. Aku membawa ramuan yang tepat. Beruntung aku datang tepat waktu." Azlan yang kini berada di gang belakang hanya bisa tersenyum kecil. Inilah yang dimaksud dengan permainan tarik-ulur. Ia melakukan pekerjaan berat, tetapi pujian jatuh ke tangan orang lain. Ia melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan distrik selatan dengan misi yang berhasil. Keesokan harinya, Azlan kembali ke toko Ziyad. Pria itu sudah menunggunya dengan secangkir teh di tangannya. "Jadi?" tanyanya. "Sudah selesai," jawab Azlan santai. Ziyad tertawa kecil. "Aku sudah dengar. Dokter muda itu sekarang dielu-elukan sebagai penyelamat." Azlan hanya mengangkat bahu. Ziyad menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kau tahu, aku suka caramu bekerja. Kau bisa melakukan sesuatu dengan sempurna, tanpa meninggalkan jejak." "Jadi, sekarang kau akan memberiku informasi?" Ziyad mengangguk. Ia mengambil sebuah map dari laci, lalu mendorongnya ke arah Azlan. "Ada banyak rumor tentang warisan yang kau cari. Beberapa mengatakan itu hanyalah legenda, tapi aku punya sumber yang lebih dapat dipercaya." Azlan membuka map itu. Di dalamnya ada peta, beberapa foto, dan selembar catatan tangan. "Menurut sumberku, warisan itu bukan hanya sekadar harta. Itu lebih dari sekadar emas dan permata. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang membuat banyak pihak ingin menguasainya." Azlan membaca catatan itu dengan seksama. Salah satu kalimat menarik perhatiannya: "Warisan itu tersembunyi di tempat yang tidak pernah kau duga. Orang yang memiliki kuncinya bahkan tidak menyadari apa yang mereka miliki." Azlan mengerutkan kening. "Apa maksudnya?" Ziyad tersenyum misterius. "Itulah yang harus kau cari tahu." Azlan menatap map itu lama, lalu menutupnya perlahan. "Apa langkah selanjutnya?" tanya Ziyad. Azlan berdiri. "Aku akan mencari tahu sendiri." Ziyad mengangkat cangkir tehnya. "Kalau begitu, semoga berhasil, Pewaris yang Tersembunyi." Azlan hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar. Di luar, angin berhembus lembut, membawa serta awal dari perjalanan baru yang penuh misteri.Azlan menatap sosok pria berjubah hitam yang kini berdiri tegak dengan ekspresi datar. Meskipun pertempuran sudah berhenti, udara masih terasa tegang, seolah-olah hanya butuh satu percikan kecil untuk kembali meledakkan situasi.Reina dan Kirana tetap di tempat mereka, tidak ingin mengganggu percakapan antara Guru dan pria misterius itu.Azlan menarik napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertarungan tadi."Aku tidak paham," akhirnya Azlan berkata. "Siapa sebenarnya dia? Dan apa maksudnya tentang gerbang terakhir?"Guru tidak segera menjawab. Ia menatap pria berjubah hitam itu dengan pandangan penuh pertimbangan."Aku adalah penjaga gerbang," pria itu akhirnya berbicara, suaranya masih memiliki gema aneh seperti sebelumnya. "Tugas utamaku bukan untuk melawanmu, Azlan, melainkan memastikan bahwa hanya orang yang layak yang bisa melewati tahap ini."Azlan mengerutkan kening. "Tahap?""Benar," pria itu mengangguk. "Kau mungkin belum sadar sepenuhnya, t
Suara langkah kaki itu terdengar begitu berat, bergema di sepanjang lorong gelap yang kini mulai dipenuhi retakan dan debu beterbangan. Azlan menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam mengarah ke sosok yang kini muncul dari kegelapan.Reina dan Kirana menahan napas. Bahkan sosok berjubah putih yang selama ini terlihat tenang, kini menggenggam tongkatnya lebih erat.Dari balik bayangan yang semakin pekat, sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, balutan jubah hitam berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah lorong. Wajahnya setengah tertutup tudung, namun sorot matanya tajam seperti pisau.Namun yang paling mengerikan bukanlah penampilannya.Tetapi auranya.Gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya, menekan udara sekitarnya seperti pusaran badai yang siap menelan segalanya.Azlan menghela napas. Entah kenapa, ia merasa pria ini bukan orang biasa.“Jadi, kau akhirnya menyadari siapa dirimu?” suara pria itu terdengar dalam dan menggema, seolah berasal dari dua ar
Azlan berdiri diam di depan patung besar yang menyerupai ayahnya. Matanya menelusuri setiap ukiran pada patung itu, mencoba memahami pesan yang tersirat. Sosok berjubah putih di sampingnya menatapnya dengan tenang."Jawabannya tidak ada di tempat ini… tetapi di dalam dirimu sendiri."Kata-kata itu masih menggema di benaknya. Apa maksudnya? Bagaimana mungkin kunci terakhir untuk menjaga segel itu ada dalam dirinya?Reina melangkah maju, menyentuh bahu Azlan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Azlan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi jika kata-kata orang ini benar, maka aku harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatanku.”Kirana yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Mungkin kita harus melihat lebih dalam ke dalam ingatanmu. Ada teknik yang diajarkan guruku… sebuah cara untuk membuka ingatan tersembunyi.”Sosok berjubah putih itu menoleh ke Kirana, matanya berbinar seolah menyetujui. “Itu bisa berhasil. Tetapi metode itu berisiko. Jika kau tidak cukup kuat, kau bi
Tangga batu yang mereka turuni semakin menyesakkan udara di sekitar. Dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tampak bercerita, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Azlan melangkah lebih dulu, diikuti Kirana dan Reina yang tetap waspada. Cahaya obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara sisanya tertelan dalam kegelapan yang pekat.“Tempat ini… seperti makam,” gumam Reina sambil menyentuh salah satu ukiran di dinding.Kirana mengangguk. “Tapi ini bukan makam biasa. Lihat simbol-simbolnya, ini mirip dengan yang ada di kitab kuno yang pernah diajarkan guru.”Azlan memperhatikan dengan saksama. Simbol yang terukir bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga tulisan kuno yang tampaknya menjadi bagian dari mantra perlindungan.“Aku merasa seperti sedang diawasi,” bisik Kirana.Azlan tidak menjawab, tetapi ia juga merasakan hal yang sama.Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Atapnya tinggi dengan pilar-pi
Angin malam berhembus dingin di desa tersembunyi itu. Azlan masih duduk diam di dalam rumah lelaki tua yang baru saja mengungkapkan sebagian kebenaran tentang garis keturunannya.Kirana dan Reina duduk tak jauh darinya, sama-sama mencerna informasi yang baru mereka dapatkan."Kau baik-baik saja?" tanya Reina akhirnya, memecah keheningan.Azlan mengangkat kepalanya. "Aku hanya... merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya."Lelaki tua itu mengangguk. "Kau benar. Apa yang kukatakan barusan hanyalah permulaan. Jika kau ingin mengetahui seluruh kebenaran, kau harus mencarinya sendiri."Azlan menghela napas. "Dan aku yakin perjalanan itu tidak akan mudah."Lelaki tua itu tersenyum samar. "Tidak ada perjalanan menuju kebenaran yang mudah, Azlan. Tapi kau tidak akan berjalan sendirian."Azlan melirik Kirana dan Reina. Mereka berdua mengangguk mantap."Aku sudah ikut sejauh ini, aku tidak akan berhenti sekarang," kata Kirana.Reina menambahkan, "Lagipula, perjalanan ini juga berhubung
Azlan menarik napas panjang, menatap jasad lelaki yang baru saja dihabisi oleh musuh yang tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya seseorang mencoba membungkam orang yang bisa memberinya informasi. Tetapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perburuan terhadapnya.Ia merasakan Kirana dan Reina mendekat, wajah mereka masih tegang setelah pertempuran singkat tadi."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Reina. "Mereka sudah tahu lokasi kita."Azlan mengangguk. "Kita berangkat sekarang."Tanpa membuang waktu, mereka segera meninggalkan tempat itu.Di perjalananAzlan, Kirana, dan Reina melangkah cepat menyusuri hutan lebat yang diterangi cahaya bulan. Mereka berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri."Azlan," kata Kirana tiba-tiba.Azlan menoleh."Kau sadar, kan? Mereka menyebutmu pewaris sesuatu yang tidak seharusnya ada," lanjutnya. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan masa lalumu?"Azlan terdiam sejenak. "Mungkin.