Azlan berjalan menyusuri jalanan kota dengan langkah mantap, meninggalkan rumah besar tempat ia baru saja menyelamatkan nyawa seorang pria kaya yang bahkan tidak mengetahui siapa penyelamatnya. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau mungkin hanya perasaannya saja yang semakin berat.
Ia telah melakukan sesuatu yang benar, tetapi hasilnya justru menyembunyikan kebenaran. Dokter lain mendapatkan pujian atas kesembuhan yang seharusnya menjadi bukti kemampuannya. Namun, bukankah ini yang memang ia inginkan? Tidak menarik perhatian? Tidak membiarkan orang-orang mengetahui siapa dirinya? Tapi mengapa dadanya terasa sesak? Azlan menghela napas dan mengusir pikiran itu. Ia harus melanjutkan perjalanan. — Keesokan paginya, ia tiba di sebuah penginapan kecil di pinggir kota. Tempat itu sederhana, hanya terdiri dari beberapa kamar dengan jendela menghadap ke jalan utama. Ia membayar dengan uang tunai dan memilih kamar di lantai atas, jauh dari keramaian. Begitu memasuki kamar, ia langsung duduk di tepi ranjang, mengeluarkan gulungan kecil yang diberikan Suri. Di dalamnya tertera beberapa nama yang bisa ia percayai di dunia luar. Salah satu nama menarik perhatiannya. Ziyad Rahman – seorang pedagang yang dikenal memiliki jaringan luas di dunia bawah, tetapi tetap menjaga prinsipnya. Azlan mengingat bagaimana Suri berkata bahwa Ziyad bisa menjadi tempat yang aman jika suatu saat ia membutuhkan bantuan. Mungkin sudah saatnya ia mencari seseorang yang bisa memberinya informasi tentang dunia luar, tentang siapa yang mungkin menjadi ancaman, dan terutama—tentang keberadaan warisan yang selama ini tersembunyi. Dengan keputusan itu, ia menggulung kembali kertasnya dan bersiap untuk pergi ke kota berikutnya, tempat Ziyad tinggal. — Dua hari kemudian, Azlan tiba di Luthadel, sebuah kota dagang yang jauh lebih besar dari tempat sebelumnya. Jalanannya ramai dengan pedagang yang menjajakan barang-barang dari berbagai wilayah, aroma rempah-rempah bercampur dengan wangi makanan yang menggugah selera. Ia berjalan dengan tenang, memastikan setiap langkahnya tidak menarik perhatian. Meskipun mengenakan pakaian sederhana, auranya tetap berbeda dari orang biasa. Setelah bertanya kepada beberapa orang, akhirnya ia menemukan tempat yang dicarinya—Toko Rahman & Rekan. Bangunan itu terlihat mewah dibandingkan toko lain di sekitarnya. Tidak terlalu besar, tetapi jelas menunjukkan kelasnya. Ia mendekati pintu dan mengetuk pelan. Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun membukakan pintu. Matanya tajam, sikapnya penuh perhitungan, tetapi ada sedikit kehangatan di sana. "Siapa kau?" tanyanya tanpa basa-basi. Azlan merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah koin perak yang diberikan Suri. Simbol kecil di koin itu hanya dikenali oleh orang-orang tertentu. Mata pria itu menyipit, lalu tanpa berkata apa-apa, ia melangkah mundur dan membiarkan Azlan masuk. "Jadi, kau kenal Suri?" katanya setelah menutup pintu. "Dia salah satu orang yang aku percaya," jawab Azlan. Pria itu—Ziyad Rahman—tersenyum tipis. "Kalau begitu, kau bukan orang sembarangan. Apa yang kau butuhkan?" Azlan berpikir sejenak sebelum menjawab, "Informasi. Tentang dunia luar. Tentang siapa yang menguasai jaringan bawah tanah saat ini. Dan juga tentang… warisan tersembunyi." Ziyad terdiam. Ia menatap Azlan lama sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa memberimu informasi, tapi semuanya ada harganya." Azlan mengangguk. "Aku tahu." Ziyad tersenyum, lalu berjalan menuju meja di sudut ruangan dan mengambil secarik kertas. "Kalau begitu, sebelum kita mulai berbicara soal informasi, aku punya satu tugas untukmu. Anggap saja ini ujian untuk memastikan bahwa aku tidak sedang berbicara dengan orang yang salah." Azlan menerima kertas itu dan membaca isinya. "Ada seseorang yang sakit parah di distrik selatan. Orang ini penting bagi banyak pihak. Jika kau benar-benar sehebat yang aku kira, sembuhkan dia tanpa ada yang tahu bahwa kau yang melakukannya." Azlan tersenyum kecil. Tantangan ini terdengar familiar. "Baik," katanya. "Aku akan melakukannya." Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah keluar. Dalam hatinya, ia tahu satu hal: permainan tarik-ulur ini baru saja dimulai.Azlan menatap sosok pria berjubah hitam yang kini berdiri tegak dengan ekspresi datar. Meskipun pertempuran sudah berhenti, udara masih terasa tegang, seolah-olah hanya butuh satu percikan kecil untuk kembali meledakkan situasi.Reina dan Kirana tetap di tempat mereka, tidak ingin mengganggu percakapan antara Guru dan pria misterius itu.Azlan menarik napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertarungan tadi."Aku tidak paham," akhirnya Azlan berkata. "Siapa sebenarnya dia? Dan apa maksudnya tentang gerbang terakhir?"Guru tidak segera menjawab. Ia menatap pria berjubah hitam itu dengan pandangan penuh pertimbangan."Aku adalah penjaga gerbang," pria itu akhirnya berbicara, suaranya masih memiliki gema aneh seperti sebelumnya. "Tugas utamaku bukan untuk melawanmu, Azlan, melainkan memastikan bahwa hanya orang yang layak yang bisa melewati tahap ini."Azlan mengerutkan kening. "Tahap?""Benar," pria itu mengangguk. "Kau mungkin belum sadar sepenuhnya, t
Suara langkah kaki itu terdengar begitu berat, bergema di sepanjang lorong gelap yang kini mulai dipenuhi retakan dan debu beterbangan. Azlan menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam mengarah ke sosok yang kini muncul dari kegelapan.Reina dan Kirana menahan napas. Bahkan sosok berjubah putih yang selama ini terlihat tenang, kini menggenggam tongkatnya lebih erat.Dari balik bayangan yang semakin pekat, sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, balutan jubah hitam berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah lorong. Wajahnya setengah tertutup tudung, namun sorot matanya tajam seperti pisau.Namun yang paling mengerikan bukanlah penampilannya.Tetapi auranya.Gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya, menekan udara sekitarnya seperti pusaran badai yang siap menelan segalanya.Azlan menghela napas. Entah kenapa, ia merasa pria ini bukan orang biasa.“Jadi, kau akhirnya menyadari siapa dirimu?” suara pria itu terdengar dalam dan menggema, seolah berasal dari dua ar
Azlan berdiri diam di depan patung besar yang menyerupai ayahnya. Matanya menelusuri setiap ukiran pada patung itu, mencoba memahami pesan yang tersirat. Sosok berjubah putih di sampingnya menatapnya dengan tenang."Jawabannya tidak ada di tempat ini… tetapi di dalam dirimu sendiri."Kata-kata itu masih menggema di benaknya. Apa maksudnya? Bagaimana mungkin kunci terakhir untuk menjaga segel itu ada dalam dirinya?Reina melangkah maju, menyentuh bahu Azlan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Azlan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi jika kata-kata orang ini benar, maka aku harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatanku.”Kirana yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Mungkin kita harus melihat lebih dalam ke dalam ingatanmu. Ada teknik yang diajarkan guruku… sebuah cara untuk membuka ingatan tersembunyi.”Sosok berjubah putih itu menoleh ke Kirana, matanya berbinar seolah menyetujui. “Itu bisa berhasil. Tetapi metode itu berisiko. Jika kau tidak cukup kuat, kau bi
Tangga batu yang mereka turuni semakin menyesakkan udara di sekitar. Dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tampak bercerita, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Azlan melangkah lebih dulu, diikuti Kirana dan Reina yang tetap waspada. Cahaya obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara sisanya tertelan dalam kegelapan yang pekat.“Tempat ini… seperti makam,” gumam Reina sambil menyentuh salah satu ukiran di dinding.Kirana mengangguk. “Tapi ini bukan makam biasa. Lihat simbol-simbolnya, ini mirip dengan yang ada di kitab kuno yang pernah diajarkan guru.”Azlan memperhatikan dengan saksama. Simbol yang terukir bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga tulisan kuno yang tampaknya menjadi bagian dari mantra perlindungan.“Aku merasa seperti sedang diawasi,” bisik Kirana.Azlan tidak menjawab, tetapi ia juga merasakan hal yang sama.Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Atapnya tinggi dengan pilar-pi
Angin malam berhembus dingin di desa tersembunyi itu. Azlan masih duduk diam di dalam rumah lelaki tua yang baru saja mengungkapkan sebagian kebenaran tentang garis keturunannya.Kirana dan Reina duduk tak jauh darinya, sama-sama mencerna informasi yang baru mereka dapatkan."Kau baik-baik saja?" tanya Reina akhirnya, memecah keheningan.Azlan mengangkat kepalanya. "Aku hanya... merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya."Lelaki tua itu mengangguk. "Kau benar. Apa yang kukatakan barusan hanyalah permulaan. Jika kau ingin mengetahui seluruh kebenaran, kau harus mencarinya sendiri."Azlan menghela napas. "Dan aku yakin perjalanan itu tidak akan mudah."Lelaki tua itu tersenyum samar. "Tidak ada perjalanan menuju kebenaran yang mudah, Azlan. Tapi kau tidak akan berjalan sendirian."Azlan melirik Kirana dan Reina. Mereka berdua mengangguk mantap."Aku sudah ikut sejauh ini, aku tidak akan berhenti sekarang," kata Kirana.Reina menambahkan, "Lagipula, perjalanan ini juga berhubung
Azlan menarik napas panjang, menatap jasad lelaki yang baru saja dihabisi oleh musuh yang tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya seseorang mencoba membungkam orang yang bisa memberinya informasi. Tetapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perburuan terhadapnya.Ia merasakan Kirana dan Reina mendekat, wajah mereka masih tegang setelah pertempuran singkat tadi."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Reina. "Mereka sudah tahu lokasi kita."Azlan mengangguk. "Kita berangkat sekarang."Tanpa membuang waktu, mereka segera meninggalkan tempat itu.Di perjalananAzlan, Kirana, dan Reina melangkah cepat menyusuri hutan lebat yang diterangi cahaya bulan. Mereka berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri."Azlan," kata Kirana tiba-tiba.Azlan menoleh."Kau sadar, kan? Mereka menyebutmu pewaris sesuatu yang tidak seharusnya ada," lanjutnya. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan masa lalumu?"Azlan terdiam sejenak. "Mungkin.