Share

Rembulan yang Baru

Dua tahun kepergian Elli terasa begitu panjang bagi keluarga kecil Grace. Harold banting tulang mengurus segala hal, bekerja di kota sekaligus membesarkan kedua anaknya. Pria itu sadar ia butuh bantuan, terkadang Bibi Golda datang ke rumah. Seorang nenek murah senyum yang berjasa besar membantu kedua persalinan Elli, serta senantiasa dengan senang hati ketika dimintai bantuan menjaga kakak beradik Grace. Beliau bilang, Phillip dan Lillian sudah ia anggap sebagai cucu sendiri. Namun, sekarang wanita itu sudah terlalu tua untuk bekerja. Kakinya tidak lagi kuat menghampiri rumah keluarga Grace yang harus menempuh perbukitan kecil.

Ketika Bibi Golda sakit, Phillip dan Lillian gantian berkunjung setiap hari ke Peternakan Golda untuk menjenguk, bahkan ikut membantu mengurus hewan ternak. Saat nenek tua itu akhirnya meninggal, kehadiran Grace bersaudara tidak lagi diinginkan oleh keluarga Golda. Mereka sering bersikap sinis, serta mengeluh betapa besarnya pengeluaran tiap bulan di depan kakak beradik itu, membuat mereka segan berkunjung.

Lagi-lagi Harold harus mengandalkan Phillip yang saat itu berusia sepuluh tahun untuk bertanggung jawab. Untungnya Phillip merupakan anak yang cakap juga telaten mengurus segala hal, terutama menjaga sang adik. Meski begitu, Harold tidak mau terus-terusan merenggut masa kecil kedua anaknya. Mereka tidak sekolah maupun kursus, bahkan tidak ada anak-anak sepantaran yang bisa dijadikan teman. Phillip mulai menjadi pemurung, sementara Lillian sering menyebut-nyebut nama Si Cerewet sebagai sahabat meskipun wujudnya tidak pernah terlihat.

Anak-anaknya kesepian dan jenuh, Harold Sadar itu. Cepat atau lambat harus ada seseorang yang mengurus mereka. Mungkin pindah ke Kota Briston juga solusi yang tepat. Jika tetap tidak bisa sekolah, setidaknya Briston cukup padat untuk merasa kesepian. Anak-anaknya bisa mendapatkan banyak teman, berinteraksi dengan warga, lantas menjadi ceria kembali. Kalau saja ia bisa bekerja lebih fokus agar uang cepat terkumpul.

Lagi pula, Harold sendiri mulai lelah dengan situasi ini, ia merasa kesepian setiap malam. Pria itu sangat merindukan sang istri, dan membutuhkan seseorang yang bisa diajak berkeluh kesah. Harold mengalami perang batin begitu dahsyat selama beberapa bulan terakhir, dan tidak tahu harus membagikan masalahnya kepada siapa.

Sampai suatu hari seorang wanita di perkebunan Navis—tempat Harold bekerja—menghampirinya pada jam makan siang. Saat itu Harold tidak membawa bekal, dan seorang wanita yang bertugas di bagian lumbung penyimpanan datang mengajaknya memakan pai labu bersama. Sejak saat itu, mereka selalu menghabiskan waktu berdua. Wanita itu sangat dermawan, bahkan penuh kasih dan keibuan di mata Harold. Senyum manisnya selalu menampilkan sederet gigi bak mutiara, serta wangi embun pagi yang keluar saat rambut platinanya tertiup angin tidak mau hilang dari kepala pria itu.

Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi, wanita itu mendobrak hatinya yang tengah kosong, dan memaksa untuk tinggal. Mungkin ini saatnya mencari rembulan baru seperti pesan sang istri dulu. Harold pernah bersumpah bahwa tidak mau ada siapa pun menggantikan posisi Elli di dalam hatinya.

Namun, jika melihat kondisi saat ini, dan jantung yang berdegup kencang tiap kali membayangkan wanita itu, dengan segala sifat baik yang ia miliki, seperti sebuah hipnotis. Harold mengusap wajah, membeli seikat besar bunga lili dan mawar putih di p***r. Meletakkan bunga-bunga indah itu di atas gundukkan tanah dengan hati-hati, lalu membelai lembut nisan putih dihadapannya.

“Elli, aku tahu kau yang meminta ini, tapi aku juga tahu bahwa ini akan menyakiti hatimu, bahkan hatiku,” lirihnya sambil menatap nisan itu lekat-lekat, seolah menatap sepasang mata yang sangat dia cintai. “Aku tidak mampu menghadapi ini sendirian. Tapi jangan khawatir, aku melakukan ini untuk anak-anak kita. Percayalah cintaku hanya untukmu. Selamanya.”

***

Setelah memantapkan hati, akhirnya Harold pulang membawa wanita yang selama ini memenuhi pikirannya. Memang tidak mudah, tapi pria itu sudah membulatkan tekad untuk mengatakan pada kedua anaknya bahwa wanita ini akan menjadi pengganti sang ibu. Wanita itu bernama Miranda, dia tinggi-ramping dengan hidung lancip dan kelopak menyipit yang dihiasi manik ungu terang, rambut platina yang bergelombang terurai angkuh di atas pundaknya.

Phillip dan Lillian berdiri seperti patung di hadapan mereka. Wajah keduanya tidak terlihat senang, bahkan kelabu, tidak sesuai dengan pakaian cerah yang saat ini mereka kenakan. Sebelum itu, Harold menyuruh keduanya memakai pakaian terbaik di dalam lemari, kar mereka akan bertemu orang spesial.

Awalnya Phillip dan Lillian sangat bersemangat, Phillip pikir seorang kesatria kerajaan kenalan ayah dari kota akan datang. Sedangkan Lillian berharap sang ayah akan mengundang Putri cantik atau Ibu Peri. Namun, saat berhadapan dengan orang spesial yang dimaksud sang ayah, ekspresi mereka berubah 180 derajat.

“Perkenalkan diri kalian, Anak-anak,” pinta Harold.

Mereka tidak menjawab, bahkan tidak membuat satu gerakan kecil pun.

“Mungkin mereka malu, Sayang,” bisik Miranda.

“Baiklah kalau begitu biar aku yang memperkenalkan mereka.” Harold berjalan ke tengah-tengah kedua anaknya dan merangkul mereka. “Ini jagoanku Phillip, usianya tepat sebelas tahun minggu lalu,” ujar Harold seraya menepuk pipi kanan Phillip, “dan ini putri kecilku Lillian. Usianya sembilan. Beri salam, anak-anak.”

Phillip memperhatikan wanita itu dari atas sampai bawah. Miranda sangat cantik, tidak heran jika sang ayah tertarik padanya, tapi dari aura yang mengelilingi wanita itu Phillip tidak yakin dia baik hati. Dia lebih terlihat seperti keponakan Bibi Golda, seorang wanita tanggung yang cerewet serta gemar bersolek. Bibi Golda pernah sekali membawa keponakannya ke rumah, dia tak henti berkomentar buruk tentang segala hal di rumah keluarga Grace, juga selalu merengek minta pulang. Phillip langsung tidak menyukainya, sama seperti sekarang ia tidak menyukai wanita yang dibawa sang ayah.

“Kenapa ayah menyebutmu tamu istimewa, Nyonya Miranda?” tanya Lillian, dan itu bukan pertanyaan yang Miranda harapkan. Namun, ia tetap tersenyum.

“Kenapa aku istimewa? Entahlah ... mungkin karena sebentar lagi aku akan memiliki nama belakang yang sama dengan kalian, aku akan bertanggung jawab atas kalian, dan aku akan membacakan kalian dongeng sebelum tidur.”

“Apa maksudnya itu?” Phillip berseru ketus.

“Aku akan menjadi ibu baru kalian!” seru wanita itu sambil berjingkrak kecil. “Apakah kalian senang bertemu denganku?”

“Maaf, Nyonya, tapi tidak ada yang bisa menggantikan ibuku.”

Senyum di wajah Miranda meredup akibat kalimat Lillian barusan, meskipun sedetik kemudian wanita itu kembali menyeringai lebar. “Ibumu pasti sangat berharga, ya? Aku akan berusaha menjadi Ibu yang baik, kalian berdua sungguh manis!”

Phillip menepis tangan Miranda saat berusaha mencubit pipinya. Anak itu sangat kesal melihat ayahnya mencium kening Miranda dengan lembut, ia merasa sang ibu telah dikhianati. Mereka makan malam bersama dengan canda tawa yang hanya berasal dari Harold dan Miranda. Tidak ada alasan bagi Phillip maupun Lillian untuk ikut senang, mereka akan mendapatkan ibu tiri.

Keduanya tahu bagaimana ibu tiri, banyak dongeng yang menceritakan itu—Cinderella, Putri Salju, Si Gadis Korek Api—tidak ada satu pun ibu tiri dari ketiga dongeng itu yang memiliki sifat baik. Lillian meremas jemari sang kakak berharap perasaannya menjadi lebih tenang, tapi perasaan itu tak kunjung ia dapat, sebab Phillip sendiri sedang gelisah. Anak itu tidak menyangka sang ayah akan menikah lagi dan mengkhianati ibunya. Memikirkan apa yang akan terjadi nanti, Phillip tidak punya bayangan sama sekali.

Pernikahan Harold dengan Miranda dilangsungkan hanya berselang seminggu dari pertama kali Harold memperkenalkannya kepada anak-anak. Pria itu tidak lagi meminta pendapat kedua anaknya, sebab wajah Phillip selalu terlihat dingin, sedangkan Lillian yang biasanya cerewet, tidak akan bicara sepatah kata pun jika sang ayah sedang membicarakan calon istri barunya.

Pernikahan kedua insan itu berlangsung di bangunan kecil dekat kota Briston, hanya pernikahan sederhana yang dihadiri oleh penghulu dan beberapa saksi. Phillip dan Lillian ikut sebagai pendamping pengantin. Amarah yang memenuhi dada Phillip selama ini berangsur luntur melihat indahnya pernikahan kecil itu, terutama senyum lebar sang ayah, senyum yang sudah lama menghilang semenjak kepergian ibu.

Mau tidak mau Phillip ikut tersenyum, berusaha menikmati pernikahan itu. Jika tidak bisa bahagia karena mendapatkan ibu baru, setidaknya ia akan berusaha bahagia demi ayah. Lagi pula, Miranda mungkin orang baik, mungkin dia memang layak menjadi ibu kedua keluarga Grace. Melihat cara wanita itu mencium punggung tangan sang ayah dengan tatapan penuh kebahagiaan setelahnya, rasanya itu sudah cukup bagi Phillip. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi sang ibu di dalam hatinya. Tidak akan pernah ada. Akan tetapi, tidak ada salahnya juga memberi Miranda kesempatan untuk mencoba.

***

Beberapa bulan berlalu semejak pernikahan Harold dan Miranda. Mereka semua hidup normal, Miranda bersikap manis kepada anak-anak, Harold juga sudah mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan lebih besar. Namun, seperti kisah dongeng klise, setiap kali mereka hanya berdua dengan Miranda, sosok penyayang wanita itu serta-merta menghilang.

Senyum manisnya lenyap ditelan mata setajam elang. Intonasi suara yang lemah lembut berubah menjadi bentakan menggelegar saat menyuruh kedua bersaudara Grace untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Phillip dan Lillian belum pernah melakukan satu pun pekerjaan rumah. Dulu memang Phillip sering mendapat tugas menjaga rumah dari sang ayah, tapi hanya sebatas itu. Mereka sering kali mendapat omelan ketika membuat kesalahan, bahkan kesalahan kecil sekali pun. Lillian menjadi yang paling menderita dalam situasi ini.

Gadis itu sering terpeleset ketika sedang mengepel, mendapatkan lecet akibat terlalu lama memegang kemoceng dan sapu, bahkan sering tak sengaja mengiris tangannya dengan pisau saat memasak, itu pasti menyakitkan. Lillian sering terlihat menangis di dapur, tapi tidak pernah menunjukkannya kepada Miranda. Percuma saja mengadu jika setelahnya justru mendapat omelan lebih parah lantaran melakukan pekerjaan yang menurut Miranda tidak memuaskan.

Terkadang gadis itu berlari ke luar, menghampiri sang kakak yang bertugas memotong kayu bakar untuk mengadukan setiap kecelakaan kecil yang terjadi padanya. Tidak banyak yang bisa Phillip lakukan kepada sang adik selain membasuh atau membalut lukanya dengan robekan kain.

Kondisinya sendiri juga tidak terlalu bagus. Tugas Phillip memang hanya satu, berbeda dengan tugas rumah Lillian yang begitu banyak, tapi tumpukan kayu bakar yang menggunung seolah tak ada habisnya, dan Miranda tidak akan mengizinkan anak itu masuk sampai semua kayu bakar habis terbelah. Pekerjaan itu membuat Phillip tidak pernah ada di dalam rumah kecuali senja tiba.

Semua ini keterlauan, tapi Phillip tidak mungkin melawan. Memangnya apa yang bisa dilakukan anak berusia sebelas dan sembilan tahun untuk melawan orang tua mereka? Sang ayah tidak mengetahui segala hal yang terjadi di rumah, pria itu sibuk bekerja di bank pusat kota Briston, pergi pagi, pulang malam.

Miranda menyuruhnya untuk tidak usah memikirkan apa-apa kecuali pekerjaan. Dia menjadi semanis malaikat saat jam menunjukkan pukul delapan malam, menyuruh Phillip dan Lillian membersihakn diri, dan membuat kedua anak tirinya tersenyum saat menyambut ayah mereka pulang. Miranda selalu bisa melakukan itu, atau lebih tepatnya dia selalu bisa memaksa mereka.

Melihat kedua anaknya tersenyum gembira menyambut kepulangannya, Harold menjadi sangat bahagia. Pria itu beralih kepada Miranda, menatap sang istri penuh rasa terima kasih karena telah menjaga anak-anaknya dengan baik, sebuah ciuman hangat mendarat di kening wanita itu sebagai wujud penghargaan. Miranda sangat andal memainkan peran, suasana makan malam keluarga terasa hangat.

Phillip dan Lillian bahkan melupakan semua kejadian buruk yang menimpa mereka seharian, dan menikmati makan malam seperti seharusnya keluarga yang bahagia. Ketika malam semakin larut, dengan lembut Miranda meminta kedua anak tirinya untuk segera tidur. Wanita itu mengantar mereka ke kamar. Senyum hangat masih terlihat di wajahnya sehingga Lillian tanpa ragu mengambil sebuah buku bersampul cokelat dari bawah bantal dan menyodorkannya kepada Miranda.

“Maukah Ibu membacakan dongeng sebelum tidur untukku?” pinta Lillian.

Senyum hangat segera luntur dari wajah Miranda, berganti dengan tatapan sedingin es. “Tidak.”

“Tapi aku tidak bisa tidur tanpa dongeng.”

“Kalau begitu ini akan menjadi malam yang panjang bagimu!”

“Aku mohon, Bu ...”

“Dengar, jangan sok manja di depanku, kalian bukan bayi lagi! Sebaiknya simpan tenaga untuk besok. Banyak pekerjaan menanti,” ketusnya sebelum membanting pintu kamar.

Wajah Lillian terlihat sangat kecewa, juga menyesal telah mengotori mulutnya dengan permintaan konyol itu. Phillip bangun dari ranjang dan mendekati sang adik.

“Tidak apa-apa, biar aku yang membacakannya.” Lillian tidak menjawab, hanya memberikan buku ceritanya kepada Phillip. “Cerita mana yang ingin kau dengar?”

“Cinderella.”

Phillip menarik napas panjang untuk mulai membaca, tapi adiknya kembali bergumam. “Phill, apa menurutmu semua Ibu baru jahat seperti Ibunya Cinderella? Apakah kita akan bernasib sama seperti Cinderella?”

Phillip terdiam mendengar pertanyaan adiknya. Miranda tidak jahat seperti ibu Cinderella, dia lebih buruk. Lebih seperti seekor serigala yang sedang menyamar menjadi domba. “Tentu saja tidak, jika kita bersikap baik pada Miranda mungkin lambat laun dia akan balik menyayangi kita. Lagi pula, cerita Cinderella berakhir bahagia. Setidaknya jika nasib kita sama seperti Cinderella, kita akan bahagia pada akhirnya.”

“Kau yakin?”

Phillip kembali terdiam, “Tidak juga.”

“Aku merindukan Si Cerewet.” Lagi-lagi gadis itu menyela ketika Phillip menarik napas panjang hendak memulai cerita. Ia menggaruk kepala, sang adik tidak pernah terlihat begitu sendu, bahkan tidak ketika kepergian ibu.

“Mungkin karena usiamu sudah sembilan tahun.” Hanya itu kalimat yang terpikir oleh Phillip.

“Apa hubungannya?”

“Kau tahu ... teman imajinasi akan menghilang seiring bertambah usia.”

Lillian menghela napas kecewa. “Jadi, dia benar-benar cuma imajinasiku saja, ya?”

“Hanya kau yang bisa melihatnya, Lill. Bahkan aku tidak pernah melihatnya barang sekelebat, padahal kita selalu berdua di rumah ini.”

“Mungkin karena dia hanya mau berteman denganku ....”

“Mungkin karena dia hanya hasil ciptaan kepalamu.”

Gadis itu meninju bantalnya, lalu berbaring. “Padahal aku yakin dia nyata, aku berharap dia nyata. Aku ingin punya teman.”

“Hey, aku kan bisa menjadi temanmu.”

Lillian tersenyum sendu menyadari nada kekecewaan dari ucapan sang kakak, menyadari anak laki-laki itu juga menginginkan hal yang sama. Setelah percakapan singkat tadi, Phillip benar-benar memulai kisah Cinderella, di mulai dari ‘Pada zaman dahulu’. Namun, perhatian sang adik sudah tidak tertuju padanya, maupun pada cerita Cinderella.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status