Share

Kepergian Sang Rembulan

Angin malam berembus semilir melewati celah kecil jendela, menyebar udara dingin ke setiap ruangan dari sebuah rumah sederhana yang terletak di mulut hutan. Dinginnya angin menusuk ke dalam daging dan tulang, meskipun api dalam tungku berkobar sangat besar. Suara terbatuk-batuk terdengar di sela gemerisik daun serta suara binatang malam.

Di balik tirai tipis melambai, terlihat seorang pria yang menempelkan handuk lembap di atas kepala istrinya. Sudah beberapa bulan terakhir sang istri jatuh sakit, penyakit yang datang secara tiba-tiba tanpa gejala apa pun. Sudah banyak tabib dipanggil, dari yang terdekat sampai yang jauh di kota seberang. Harta keluarga kecil itu perlahan habis, tapi hasil yang baik tak pernah didapat. Penyakit sang istri tidak pernah sembuh, bahkan terlihat semakin memburuk.

Malam ini tepat tiga bulan penyakit aneh bersemayam di tubuh sang istri, hatinya ikut pilu melihat penderitaan tersebut. Sekali lagi ia memeras handuk yang sudah dicelupkan ke dalam air, lalu menempelkannya di kepala sang istri. Itu saja yang bisa dilakukan agar setidaknya panas di tubuh wanita itu sedikit menurun, meski sebenarnya justru air di dalam ember yang menghangat. Mendadak, sang istri mencekal tangannya, mengeluarkan suara yang begitu lirih.

“Terima kasih atas kesabaranmu selama ini ....”

“Tidak perlu berterima kasih, sudah tanggung jawabku,” jawab pria itu seraya mengelus rambut hitam sang istri.

“Kau pria yang kuat, Harold. Bekerja banting tulang di siang hari, dan saat malam tiba, bukannya istirahat kau justru harus mengurus orang lemah sepertiku.”

“Kau tidak lemah, Elli, kau bahkan bisa bertahan selama ini. Aku yakin sebentar lagi penyakitmu sembuh!”

Wanita itu tersenyum lemah. “Rasanya perjuanganku harus selesai sampai di sini.”

Kalimat itu terdengar seperti sambaran petir di tengah hujan yang tenang di telinga sang suami. “Apa maksudmu?”

Elli menggenggam tangan suaminya lebih erat. “Carilah pengganti setelah kepergianku nanti, Harold. Perjuanganku sudah selesai, sedangkan Phill dan Lill masih kecil, mereka masih membutuhkan seorang ibu.”

“Apa yang kau bicarakan, Elli? Kau akan sembuh, pasti sembuh! Kita harus yakin dan terus berusaha.”

“Sudah saatnya kau menikmati hidup, Sayang. Cari orang baik yang bisa memanjakanmu serta anak-anak kita.”

“Bicaramu semakin tidak jelas, kau harus istirahat!”

“Terima kasih atas semuanya, Harold, tolong jaga permata-permata kita dengan baik. Aku mencintaimu. Selamanya.” Dengan perkataan itu, mata Elli perlahan terpejam dan begitu saja, wanita itu pergi meninggalkan dunia.

“Elli?” panggil Harold yang sedari tadi duduk dengan tegang di sebelahnya. Namun, si pemilik nama tidak pernah menjawab lagi.

Pria itu tertegun, hal ini sungguh di luar dugaan, mereka masih saling bergurau beberapa jam lalu, bahkan membuat rencana-rencana kecil seandainya wanita itu sembuh. Tidak sedikit pun ada tanda-tanda bahwa wanita yang paling ia cintai akan meninggalkannya seperti ini, secepat ini. Air mata perlahan menetes meratapi jasad sang istri, sambil menggenggam erat tangannya yang mulai dingin.

Sementara itu di ruang makan, kakak beradik duduk tertib di depan meja persegi panjang. Di hadapan mereka berjejer makanan sederhana buatan sang ayah. Anak yang lebih tua bernama Phillip, usianya belum genap sembilan tahun, dia merupakan kakak dari Lillian, yang terpaut dua tahun di bawah. Mata adiknya terus menatap kentang tumbuk di atas meja, sesekali meneguk liur sendiri sambil mengusap perut yang lapar.

“Boleh kita makan sekarang, Phill?” tanya Lillian kecil kepada kakaknya.

“Belum boleh, Lill, kita harus menunggu sampai Ayah dan Ibu duduk,” jawab Phillip, mungkin sudah yang ke sepuluh kali sekarang.

Gadis kecil itu menjatuhkan kepala di atas meja sambil menggerutu. “Tapi aku sangat lapar.”

“Sabarlah sebentar lagi, Lillian.”

“Boleh tidak Si Cerewet ikut makan bersama kita?”

Phillip menatap adiknya keheranan selama beberapa saat, sampai teringat kalau Si Cerewet merupakan teman ajaib yang sering sang adik ceritakan belakangan ini. Selanjutnya bocah itu menggeleng. “Kita tidak boleh sembarangan membawa orang asing masuk untuk makan malam, Lillian.”

“Tapi dia bukan orang asing. Dia temanku!”

“Memang, tapi kenapa kau tidak memperkenalkannya padaku?”

“Sudah kubilang, dia tidak mau mengenalmu karena kau tidak percaya padanya! Sekarang kau malah sok peduli!”

Sementara gadis kecil itu bersedekap, Phillip menoleh ke kamar orang tuanya. Sudah hampir tiga puluh menit lewat jam makan malam, tapi mereka belum juga keluar. Sedangkan ia hampir tidak sanggup berdebat lebih lama dengan sang adik. Akhirnya Phillip mengalihkan pembicaraan dengan mengatakan kalau ia akan memanggil ayah dan ibu supaya mereka bisa cepat-cepat makan.

“Bilang juga pada ayah, aku ingin mengajak teman untuk makan malam. Dia orang baik, kok.” Lillian menambahkan.

Setelah mengacungkan jempol, Phillip melompat dari kursi dan berjalan mendekati pintu kamar orang tuanya. Ia mengetuk beberapa kali, tapi tak kunjung menerima jawaban, jadi anak itu memutuskan untuk langsung membuka pintu. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sang ayah sedang menangis. Phillip menjadi bingung sekaligus terhibur.

Ayah yang selalu ceria dan konyol itu bisa menangis juga?

Bocah itu terkekeh, berjinjit menghampiri sang ayah dengan niat mengaggetkan, tetapi semakin dekat, semakin jelas suara tangis ayahnya yang tertahan, dan senyum Phillip serta-merta menghilang. Anak itu mengalihkan pandangan pada ranjang, dan di sana ia melihat tubuh sang ibu terbaring kaku, matanya terkatup dengan bibir pucat, Phillip tidak melihat perut ibunya naik-turun tanda bernapas. Sebagai anak berusia hampir sembilan tahun, ia sedikit banyak sudah mengerti situasi ini. Situasi yang sangat buruk. Tanpa sadar air matanya ikut mengalir.

“Ayah, apa yang terjadi?” Pertanyaan itu tetap keluar, kalau-kalau dugaannya salah. Anak itu sangat berharap dugaannya salah.

Harold tidak terlalu kaget dengan kehadiran Phillip, pria itu bahkan membiarkan air matanya terus mengalir ketika berbalik menatap sang anak. “Ibu sudah tenang, Philly. Dia sudah berada di tempat yang lebih baik,” jawabnya dengan suara bergetar.

Sang anak bungkam, hanya air mata yang semakin deras mengalir menandakan kalau ia sangat terpukul. Namun, Harold segera menghapusnya. “Jadilah kuat, Philly. Kau mempunyai seorang adik, kau harus menjadi kakak yang tegar!”

Tentu itu adalah permintaan yang berat bagi anak berusia delapan tahun. Namun, Phillip tetap mengangguk, ia keluar dengan gontai menemui adiknya yang masih duduk di depan meja makan, mengaitkan jemari sambil menatap lurus kebawah. Saat sadar dengan kemunculan Phillip, senyuman tersungging dari bibirnya.

“Bagaimana? Sudah boleh makan, belum?” tanya anak itu. “Si Cerewet boleh ikut makan malam?”

Phillip bungkam, tidak tahu bagaimana merangkai kalimat yang baik untuk memberitahu kabar buruk ini. Lillian sangat menyayangi ibu, bagaimana mungkin dia bisa menerima kabar buruk ini? Tak kunjung menerima jawaban, Lillian menjadi bingung, apa lagi melihat kakaknya melamun dengan tatapan kosong.

“Phillip?” Sang kakak lagi-lagi tidak menjawab seruannya. Gadis kecil itu segera turun dari kursi. “Kalau kau tidak berhasil mengajak mereka, biar aku saja,” lanjutnya sambil berlari memasuki ruangan sebelum Phillip sempat mencegah. Anak itu masuk tepat saat Harold menutup jasad sang istri dengan kain, sontak Lillian berlari guna mencegah.

“Apa yang Ayah lakukan? Nanti Ibu tidak bisa bernapas!” Lillian segera membuka kembali kain itu, menampakkan sosok wanita yang terbaring kaku, tapi terlihat begitu damai seolah beban kehidupannya sudah terlepas, seolah dia lebih bahagia seperti ini. Bagi anak sekecil Lillian, sang ibu hanya sedang tertidur pulas.

“Ibu bangun, ayo kita makan malam bersama,” katanya sambil menggoyangkan jasad itu. Tidak mendapat jawaban ia pun mengulangi. “Ibu, ayo bangun! Ayah memasak makanan yang lezat, loh!”

“Ayah, kenapa Ibu tidak mau bangun?” Akhirnya gadis kecil itu bertanya, setelah percobaan ketiga sang ibu masih saja diam.

Harold yang sedari tadi mencoba menahan deru napas, menghampiri Lillian dan memeluknya. “Ibu sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang, Nak.”

“Ibu hanya sedang tidur, ‘kan, Yah?”

“Benar, Sayang, tapi sekarang Ibu harus tidur untuk waktu yang lama.”

“Seberapa lama?”

“Entahlah. Tapi coba pikirkan ... saat Ibu tidur, dia tidak merasakan sakit, bukankah itu bagus?”

Gadis kecil itu tertegun, lalu senyum tersungging di wajahnya. “Itu bagus sekali!”

“Kita bisa membuat Ibu semakin senang dengan doa, jadilah anak yang kuat, Lilly.” Harold kembali memeluk anak gadisnya, meyembunyikan tangis yang tak kunjung berhenti.

Lillian termangu dengan situasi ini, jika ibu hanya sedang tidur, kenapa ayah menangis? Bahkan Phillip juga terlihat muram. Harold meraih anak laki-lakinya untuk ikut ke dalam pelukan duka, memberitahu anak itu bahwa bukan cuma dia yang kehilangan, dia tidak sendirian.

“Sudah-sudah, Ayah tidak perlu bersedih. Kalau ibu tidak bisa ikut makan malam, besok saat ibu bangun kita bisa sarapan bersama,” celetuk Lillian.

Harold tercenung dengan kalimat itu. Namun, ia tidak melakukan apa pun selain mengelus kepala anak perempuannya. “Kau memang gadis yang kuat, Lilly.”

Keluarga kecil itu menghabiskan malam dengan duka, makan malam sederhana di atas meja sudah tidak lagi menggugah selera, kecuali bagi Lillian yang melahap semua kentang tumbuk yang ada. Harold memutuskan untuk tidur bersama anak-anaknya malam itu, tidak ingin mengganggu kedamaian tidur abadi sang istri, tapi juga tidak akan tahan menghabiskan malam sendirian. Kedua tangannya mendekap anak-anak yang terpejam pulas, dengan begitu ia masih bisa merasakan keberadaan sang istri.

“Aku akan menjaga permata-permata kita, Elli, aku janji.”

***

Keesokan harinya pemakaman Elli berlangsung cepat dengan hanya dihadiri oleh keluarga dan beberapa orang teman dari butik tempat Elli bekerja. Phillip terus menuntun sang adik selama pemakaman berlangsung sambil berusaha menjawab semua pertanyaan-pertanyaan aneh yang terlontar dari mulutnya. Seperti; “Kenapa Ibu di kubur?”, “Bagaimana cara Ibu bernapas di dalam peti?”, “Apa yang akan Ibu makan di dalam sana?”

Suasana hati Harold belum berubah, ia memegangi nisan sang istri sepanjang pemakaman berlangsung, kelopak matanya tak henti meneteskan bulir air. Phillip melirik adiknya, Lillian tidak mengeluarkan air mata sedikit pun, ia bahkan tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi sekarang. Oleh sebab itu, Phillip juga menahan air mata, bertekad membuktikan ketegarannya kepada sang ayah. Ia adalah kakak laki-laki yang kuat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status