Seminggu kemudian, malam hampir berakhir ketika Arissa mematikan lampu utama di ruang kliniknya. Suasana remang-remang menyelimuti ruangan, menandakan bahwa klinik pijat kecil yang ia kelola telah resmi tutup untuk hari itu. Dengan langkah tenang, ia merapikan peralatan, memastikan semuanya siap untuk esok hari. Meski tubuhnya lelah, ada kepuasan tersendiri yang menghangatkan hatinya—hari ini ia berhasil membantu beberapa klien merasa lebih baik. Baginya, melihat senyum lega di wajah mereka setelah sesi perawatan adalah kebahagiaan yang sederhana namun berarti.
Namun, ketenangan itu pecah ketika pintu klinik terbuka dengan suara nyaring. Arissa spontan menoleh, matanya membulat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Nathaniel Alvaro.
CEO sukses yang sebelumnya hanya ia kenal lewat layar berita itu kini berdiri di sana, tapi penampilannya jauh dari kesan sempurna yang biasa melekat padanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, lengan digulung asal, dan rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan. Wajahnya yang selalu terlihat percaya diri kini tampak letih, seolah terbebani sesuatu yang berat.
Arissa terdiam beberapa detik, tak percaya pria ini kembali muncul, dan kali ini dalam keadaan yang berbeda.
"Arissa," suara Nathaniel memecah keheningan. Nada suaranya berat, namun tetap berusaha tenang. "Saya... saya butuh perawatan sekarang."
Arissa mengernyit. "Pak Nathaniel, kami sudah tutup. Semua jadwal hari ini sudah selesai."
Nathaniel melangkah lebih dekat. Meskipun ekspresinya tetap tegas, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Arissa enggan langsung menolaknya. Mata itu memancarkan kelelahan yang dalam, seolah ia telah berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat.
"Saya tahu ini mendadak," katanya, suaranya sedikit lebih rendah. "Tapi tubuh saya benar-benar terasa sakit, dan saya... saya tidak tahu harus ke mana lagi."
Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuat Arissa terdiam. Ia bukan seseorang yang mudah terbawa emosi, tapi kali ini berbeda. Ia bisa merasakan pria di hadapannya ini bukan hanya sekadar lelah—ada sesuatu yang lebih dari sekadar tekanan pekerjaan.
Tarikan napas dalam, lalu ia mengangguk. "Baiklah. Tapi hanya sebentar, Pak Nathaniel. Saya juga punya batas waktu."
Nathaniel mengangguk cepat, wajahnya sedikit lebih lega. "Terima kasih. Saya benar-benar menghargainya."
Arissa mempersilakan Nathaniel duduk di kursi perawatan, sementara ia mengambil minyak pijat dan mulai menyiapkan peralatan. Meskipun tetap menjaga profesionalisme, ada sesuatu dalam dirinya yang menyadari betapa canggungnya situasi ini. Seorang CEO besar datang ke klinik kecilnya di waktu larut malam dengan kondisi seperti ini? Sesuatu jelas sedang terjadi dalam hidup pria itu.
Saat tangannya mulai bekerja, Arissa bisa merasakan betapa tegangnya otot-otot Nathaniel. Bahunya terasa keras, penuh dengan simpul-simpul ketegangan yang sudah lama tertumpuk. Perlahan, ia mulai memijat dengan teknik yang tepat, berusaha meredakan ketegangan yang mengikat tubuh pria itu.
Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya suara napas yang terdengar. Nathaniel akhirnya menghela napas panjang, seolah untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu ia bisa sedikit melepaskan beban yang ia pikul.
"Kapan terakhir kali Anda benar-benar beristirahat?" tanya Arissa, suaranya lembut, lebih sebagai refleksi daripada pertanyaan sungguhan.
Nathaniel terdiam, seolah merenungkan jawabannya. "Saya tidak ingat," katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
Arissa mengangguk pelan. Ia tahu dunia bisnis bisa sangat menguras energi, dan sering kali orang-orang seperti Nathaniel mengabaikan sinyal tubuh mereka sendiri. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Seperti ada pertarungan yang sedang berlangsung di dalam dirinya.
Selama beberapa menit berikutnya, Arissa melanjutkan pijatannya dengan fokus, tangannya bekerja mengendurkan ketegangan yang menyelimuti tubuh Nathaniel. Pria itu, yang biasanya penuh kendali, kini hanya bisa duduk diam dan menerima kenyamanan yang jarang ia peroleh.
Ketika sesi berakhir, Nathaniel membuka matanya perlahan. Meski wajahnya masih memancarkan kelelahan, ada sedikit ketenangan yang belum pernah Arissa lihat sebelumnya.
"Terima kasih," kata Nathaniel, suaranya tulus. "Anda sangat membantu."
Arissa hanya tersenyum tipis. "Itu pekerjaan saya, Pak Nathaniel."
Nathaniel berdiri, merapikan sedikit kemejanya. Ia tampak lebih baik, meski masih ada banyak hal yang membebani pikirannya. Tanpa banyak kata, ia berjalan menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia berhenti sejenak.
"Mungkin... saya akan kembali lagi," katanya pelan, sebelum akhirnya melangkah pergi.
Arissa menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ini bukan hanya tentang pijatan biasa. Ada sesuatu yang berbeda malam ini, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Entah bagaimana, ia merasa ini bukan pertemuan terakhir mereka.
Klinik kini sunyi kembali. Arissa duduk sejenak, meresapi kejadian yang baru saja berlangsung. Ia tahu, batas profesionalisme harus tetap dijaga. Namun, di lubuk hatinya, ia juga tahu—ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang mungkin akan membawa mereka ke perjalanan yang lebih jauh dari yang bisa ia bayangkan.
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam