Seminggu kemudian, malam hampir berakhir ketika Arissa mematikan lampu utama di ruang kliniknya. Suasana remang-remang menyelimuti ruangan, menandakan bahwa klinik pijat kecil yang ia kelola telah resmi tutup untuk hari itu. Dengan langkah tenang, ia merapikan peralatan, memastikan semuanya siap untuk esok hari. Meski tubuhnya lelah, ada kepuasan tersendiri yang menghangatkan hatinya—hari ini ia berhasil membantu beberapa klien merasa lebih baik. Baginya, melihat senyum lega di wajah mereka setelah sesi perawatan adalah kebahagiaan yang sederhana namun berarti.
Namun, ketenangan itu pecah ketika pintu klinik terbuka dengan suara nyaring. Arissa spontan menoleh, matanya membulat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Nathaniel Alvaro.
CEO sukses yang sebelumnya hanya ia kenal lewat layar berita itu kini berdiri di sana, tapi penampilannya jauh dari kesan sempurna yang biasa melekat padanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, lengan digulung asal, dan rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan. Wajahnya yang selalu terlihat percaya diri kini tampak letih, seolah terbebani sesuatu yang berat.
Arissa terdiam beberapa detik, tak percaya pria ini kembali muncul, dan kali ini dalam keadaan yang berbeda.
"Arissa," suara Nathaniel memecah keheningan. Nada suaranya berat, namun tetap berusaha tenang. "Saya... saya butuh perawatan sekarang."
Arissa mengernyit. "Pak Nathaniel, kami sudah tutup. Semua jadwal hari ini sudah selesai."
Nathaniel melangkah lebih dekat. Meskipun ekspresinya tetap tegas, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Arissa enggan langsung menolaknya. Mata itu memancarkan kelelahan yang dalam, seolah ia telah berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat.
"Saya tahu ini mendadak," katanya, suaranya sedikit lebih rendah. "Tapi tubuh saya benar-benar terasa sakit, dan saya... saya tidak tahu harus ke mana lagi."
Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuat Arissa terdiam. Ia bukan seseorang yang mudah terbawa emosi, tapi kali ini berbeda. Ia bisa merasakan pria di hadapannya ini bukan hanya sekadar lelah—ada sesuatu yang lebih dari sekadar tekanan pekerjaan.
Tarikan napas dalam, lalu ia mengangguk. "Baiklah. Tapi hanya sebentar, Pak Nathaniel. Saya juga punya batas waktu."
Nathaniel mengangguk cepat, wajahnya sedikit lebih lega. "Terima kasih. Saya benar-benar menghargainya."
Arissa mempersilakan Nathaniel duduk di kursi perawatan, sementara ia mengambil minyak pijat dan mulai menyiapkan peralatan. Meskipun tetap menjaga profesionalisme, ada sesuatu dalam dirinya yang menyadari betapa canggungnya situasi ini. Seorang CEO besar datang ke klinik kecilnya di waktu larut malam dengan kondisi seperti ini? Sesuatu jelas sedang terjadi dalam hidup pria itu.
Saat tangannya mulai bekerja, Arissa bisa merasakan betapa tegangnya otot-otot Nathaniel. Bahunya terasa keras, penuh dengan simpul-simpul ketegangan yang sudah lama tertumpuk. Perlahan, ia mulai memijat dengan teknik yang tepat, berusaha meredakan ketegangan yang mengikat tubuh pria itu.
Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya suara napas yang terdengar. Nathaniel akhirnya menghela napas panjang, seolah untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu ia bisa sedikit melepaskan beban yang ia pikul.
"Kapan terakhir kali Anda benar-benar beristirahat?" tanya Arissa, suaranya lembut, lebih sebagai refleksi daripada pertanyaan sungguhan.
Nathaniel terdiam, seolah merenungkan jawabannya. "Saya tidak ingat," katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.
Arissa mengangguk pelan. Ia tahu dunia bisnis bisa sangat menguras energi, dan sering kali orang-orang seperti Nathaniel mengabaikan sinyal tubuh mereka sendiri. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Seperti ada pertarungan yang sedang berlangsung di dalam dirinya.
Selama beberapa menit berikutnya, Arissa melanjutkan pijatannya dengan fokus, tangannya bekerja mengendurkan ketegangan yang menyelimuti tubuh Nathaniel. Pria itu, yang biasanya penuh kendali, kini hanya bisa duduk diam dan menerima kenyamanan yang jarang ia peroleh.
Ketika sesi berakhir, Nathaniel membuka matanya perlahan. Meski wajahnya masih memancarkan kelelahan, ada sedikit ketenangan yang belum pernah Arissa lihat sebelumnya.
"Terima kasih," kata Nathaniel, suaranya tulus. "Anda sangat membantu."
Arissa hanya tersenyum tipis. "Itu pekerjaan saya, Pak Nathaniel."
Nathaniel berdiri, merapikan sedikit kemejanya. Ia tampak lebih baik, meski masih ada banyak hal yang membebani pikirannya. Tanpa banyak kata, ia berjalan menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia berhenti sejenak.
"Mungkin... saya akan kembali lagi," katanya pelan, sebelum akhirnya melangkah pergi.
Arissa menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ini bukan hanya tentang pijatan biasa. Ada sesuatu yang berbeda malam ini, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Entah bagaimana, ia merasa ini bukan pertemuan terakhir mereka.
Klinik kini sunyi kembali. Arissa duduk sejenak, meresapi kejadian yang baru saja berlangsung. Ia tahu, batas profesionalisme harus tetap dijaga. Namun, di lubuk hatinya, ia juga tahu—ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang mungkin akan membawa mereka ke perjalanan yang lebih jauh dari yang bisa ia bayangkan.
Hari-hari berlalu, dan Nathaniel kembali memutuskan untuk mengunjungi klinik Arissa setelah merasa tubuhnya semakin lelah akibat pekerjaan yang terus-menerus menumpuk. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang sedikit berbeda. Pijatan yang diberikan Arissa malam itu tidak hanya meredakan kelelahan fisiknya, tetapi juga memberikan ketenangan batin yang selama ini ia cari tanpa menyadarinya.Setelah tiba di klinik, Nathaniel langsung menuju ruang pijat yang sudah familiar baginya. Arissa, yang sedang merapikan alat-alat pijat, menatapnya sejenak sebelum mengangguk dengan sopan. "Selamat malam, Nathaniel. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tetap hangat meski ia tahu betul Nathaniel adalah sosok yang lebih suka menjaga jarak."Baik," jawab Nathaniel singkat, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia duduk di atas meja pijat dan menunggu Arissa untuk memulai sesi seperti sebelumnya.Arissa mempersiapkan segalanya dengan teliti, memastikan bahwa minyak pijat yang digunakan cukup
Setelah Nathaniel pergi, Arissa merasa sedikit canggung dan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda setiap kali pria itu datang ke kliniknya. Pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Nathaniel, sikapnya yang agak kaku namun penuh ketegasan, dan bahkan sedikit ketenangan yang ia rasakan setelah melayani pria itu. Sesi pijat tersebut terasa begitu berbeda dari biasanya.Arissa berjalan keluar dari ruangannya, mengambil secangkir teh hangat, dan mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat melangkah menuju ruang depan klinik, ia mendengar suara percakapan ringan dari beberapa kolega yang sedang berbincang di meja resepsionis."Hei, kamu tahu siapa yang baru saja datang kemarin malam?" tanya salah seorang kolega."Siapa?" jawab kolega lainnya dengan penasaran."Pria itu... yang datang dengan wajah lelah dan tampak sangat penting. Ternyata dia itu Nathaniel Alvaro, CEO Alvaro Group. Kamu tahu, yang sering muncul di berita itu!"
Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, s
Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.
Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita
Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le
Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi
Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa