Hari-hari berlalu, dan Nathaniel kembali memutuskan untuk mengunjungi klinik Arissa setelah merasa tubuhnya semakin lelah akibat pekerjaan yang terus-menerus menumpuk. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang sedikit berbeda. Pijatan yang diberikan Arissa malam itu tidak hanya meredakan kelelahan fisiknya, tetapi juga memberikan ketenangan batin yang selama ini ia cari tanpa menyadarinya.
Setelah tiba di klinik, Nathaniel langsung menuju ruang pijat yang sudah familiar baginya. Arissa, yang sedang merapikan alat-alat pijat, menatapnya sejenak sebelum mengangguk dengan sopan. "Selamat malam, Nathaniel. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tetap hangat meski ia tahu betul Nathaniel adalah sosok yang lebih suka menjaga jarak. "Baik," jawab Nathaniel singkat, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia duduk di atas meja pijat dan menunggu Arissa untuk memulai sesi seperti sebelumnya. Arissa mempersiapkan segalanya dengan teliti, memastikan bahwa minyak pijat yang digunakan cukup hangat dan suasana di ruang itu terasa nyaman. Meski dirinya terbiasa dengan klien yang memiliki beragam kepribadian, kehadiran Nathaniel selalu membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, ia merasa bahwa ia harus profesional, tetapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang terus berkembang tentang pria ini. Sosok yang penuh rahasia dan selalu terkesan dingin. Tanpa banyak bicara, Arissa mulai memijat bahu Nathaniel dengan gerakan lembut namun penuh kekuatan. Nathaniel menahan napas sejenak, merasakan otot-ototnya yang kaku mulai meregang, perlahan-lahan merasakan kenyamanan yang datang bersama pijatan Arissa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia bisa merasakan ketenangan tanpa harus memikirkan pekerjaan atau masalah yang selalu mengelilinginya. Namun, meskipun tubuhnya mulai rileks, Nathaniel tetap memelihara sikap kaku. Ia tidak terbiasa mengungkapkan rasa terima kasih secara verbal, dan lebih memilih untuk menunjukkan apresiasi dengan cara yang berbeda. Arissa, yang sudah lama terbiasa dengan beragam reaksi klien, tetap fokus pada pekerjaannya dan tidak mengharapkan banyak percakapan. "Apa kamu sering menerima klien seperti saya?" Nathaniel akhirnya bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu—seolah berusaha mencari topik pembicaraan meski ia tidak nyaman dengan keheningan yang ada. Arissa tersenyum kecil, tanpa berhenti memberikan pijatan yang semakin dalam. "Saya sudah cukup lama bekerja di sini," jawabnya dengan suara tenang. "Ada berbagai macam orang yang datang ke sini, dengan berbagai masalah. Setiap orang punya kebutuhan yang berbeda, dan saya hanya berusaha membantu sebisa saya." Nathaniel mengangguk, meski pandangannya lebih terfokus pada langit-langit ruangan. Ia merasa aneh bisa begitu terbuka dalam percakapan seperti ini. Biasanya, ia selalu menjaga jarak, tetapi entah mengapa, dengan Arissa, percakapan terasa mengalir begitu saja. Mungkin karena Arissa tidak menuntutnya untuk menjadi seseorang yang lebih dari apa yang dia tunjukkan. Saat sesi pijat berlanjut, Nathaniel mulai merasakan tubuhnya semakin ringan. Semua ketegangan yang mengikatnya perlahan mulai mencair. Setiap gerakan Arissa, meski sederhana, terasa begitu efektif. Ia tidak bisa lagi menahan rasa terima kasih yang muncul dari dalam dirinya, meskipun tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Beberapa menit kemudian, Arissa selesai dengan sesi pijatnya. Nathaniel duduk di atas meja pijat, merasakan efek relaksasi yang cukup mendalam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu asing di mulutnya. Sebagai gantinya, ia merogoh kantong jas dan mengeluarkan sejumlah uang. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan sejumlah tip yang cukup besar di meja. Arissa yang melihatnya hanya mengangguk dengan sopan. "Terima kasih, Nathaniel. Saya senang bisa membantu," katanya, meskipun ia tahu Nathaniel tidak akan mengatakan apapun lebih lanjut. Itu sudah cukup. Dengan tip yang besar itu, ia merasa pekerjaannya dihargai. Nathaniel berdiri dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. "Sampai jumpa," katanya, suaranya terkesan tegas, tetapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang sedikit lebih lembut daripada sebelumnya. Arissa tersenyum kecil, meskipun Nathaniel sudah berbalik dan berjalan keluar. Ia tidak perlu banyak kata-kata untuk memahami bahwa pria itu merasa sedikit lebih baik, meskipun keengganannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih tetap ada. Arissa menyadari bahwa, meskipun sikap Nathaniel selalu terlihat kaku, ada perubahan yang terjadi dalam dirinya—sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar fisik. Sebelum Arissa menutup pintu klinik, ia melihat sekilas uang tip yang ditinggalkan Nathaniel. Ia tidak terlalu memikirkannya, tetapi ada perasaan hangat yang tumbuh dalam dirinya. Arissa tahu bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri dalam mengungkapkan rasa terima kasih. Bagi Nathaniel, itu mungkin cara terbaik yang ia bisa lakukan. Saat Arissa menutup klinik dan membersihkan ruangan, pikirannya terus melayang pada pria yang baru saja meninggalkan tempat ini. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Arissa tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—kehadiran Nathaniel dalam hidupnya mulai memberikan warna yang berbeda. Ia tidak hanya sekadar klien, tetapi entah bagaimana, ada perasaan bahwa hubungan mereka akan berkembang lebih jauh, meskipun ia harus terus menjaga batas profesional di antara mereka. Nathaniel melangkah keluar dari klinik dengan langkah lebih ringan, namun pikirannya tetap bergelut dengan kekosongan yang sulit ia ungkapkan. Pijatan yang diberikan Arissa memang menenangkan, tapi entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang ia rasakan, sesuatu yang lebih dari sekadar fisik. Setiap sentuhan yang diberikan Arissa seakan menggugah emosi yang selama ini ia coba sembunyikan jauh di dalam dirinya. Di dalam mobilnya, ia duduk dengan pandangan kosong, terhanyut dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sosok Arissa, yang selama ini ia anggap hanya seorang terapis, mulai muncul dalam pikirannya dengan cara yang berbeda. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya merasa lebih hidup. Bahkan, rasa sakit fisiknya yang selama ini terus mengganggu tampak sedikit lebih ringan setelah pertemuan singkat itu. Namun, Nathaniel berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia tahu dirinya tidak bisa begitu saja terperosok dalam perasaan yang tidak pada tempatnya. Pekerjaannya sebagai CEO sudah cukup menyita seluruh waktunya, dan ia tak ingin membiarkan hal-hal pribadi merusak keseimbangannya. Lagipula, apa yang bisa ia harapkan dari seseorang seperti Arissa? Seorang wanita yang hidup sederhana dan bekerja keras, jauh dari dunia bisnis yang penuh intrik dan tekanan. "Kenapa aku malah berpikir tentang ini?" gumam Nathaniel pada dirinya sendiri, seolah mencoba menenangkan hati yang bergejolak. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan pikiran yang tidak menentu. Mungkin, ia hanya butuh lebih banyak pijatan untuk mengatasi tekanan yang ia hadapi—itu saja. ________________________________________ Di sisi lain, Arissa mengunci pintu klinik setelah Nathaniel pergi. Ia merasakan kelelahan setelah hari yang panjang, namun ada perasaan yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang jarang ia rasakan setelah melayani klien. Nathaniel bukanlah klien biasa, dan ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai muncul setiap kali ia berada di dekat pria itu. Sambil mengatur perlengkapan, Arissa merasa sedikit bingung. Ia tahu betul bahwa ia harus menjaga profesionalisme dalam pekerjaan ini. Namun, Nathaniel, dengan sikapnya yang terkadang dingin dan penuh ketegasan, malah membuat Arissa semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Pria itu memiliki banyak lapisan, dan Arissa merasa, di balik semua kesuksesannya, ada sebuah sisi yang belum ia ungkapkan kepada siapa pun. Setelah membersihkan ruangan, Arissa duduk sebentar di kursinya. Matanya terpejam sejenak, berusaha menenangkan pikiran yang berlarian. Pikirannya melayang kembali pada Nathaniel, pada pandangannya yang penuh beban, namun juga pada tatapan singkat yang mengandung rasa terima kasih—meskipun itu tak pernah diucapkan dengan kata-kata. Arissa tidak bisa mengelak dari perasaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat dengan Nathaniel, meskipun ia tahu bahwa mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda. "Kenapa aku begitu penasaran?" Arissa bergumam pada dirinya sendiri, hampir tidak percaya dengan apa yang ia rasakan. Sejak pertama kali bertemu, Nathaniel selalu meninggalkan kesan yang berbeda, dan semakin sering mereka bertemu, semakin Arissa merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka. Namun, ia berusaha menepis perasaan itu. Arissa tahu bahwa dalam dunia yang ia jalani, perasaan seperti itu tidak akan mudah terwujud. Apalagi dengan pria sepertinya—seorang CEO yang selalu dikelilingi oleh tekanan dan kerumitan dunia bisnis. Arissa tahu betul bahwa ia harus menjaga jarak, meskipun hatinya terus berdebar ketika berpikir tentang Nathaniel. ________________________________________ Keesokan harinya, Nathaniel kembali ke klinik Arissa. Kali ini, ia datang tanpa janji sebelumnya, hanya berdasarkan rasa kebutuhan yang semakin kuat. Ia tahu bahwa pijatan itu memberikan kelegaan, dan meskipun ia tidak ingin mengakui, ia merasa terhubung dengan Arissa dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan. Ketika ia masuk, Arissa yang sedang sibuk mempersiapkan ruangannya segera menoleh. "Oh, Nathaniel," kata Arissa, sedikit terkejut. "Ada yang bisa saya bantu lagi?" Nathaniel mengangguk, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Sebelumnya, ia datang dengan rasa skeptis, tetapi kali ini, ia merasa lebih tenang, lebih siap untuk menikmati setiap detik dari sesi pijat itu. Ia hanya ingin merasakan kenyamanan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dalam rutinitas harian yang penuh tekanan. "Saya pikir... saya perlu lebih sering datang ke sini," kata Nathaniel dengan suara yang sedikit ragu. "Pijatanmu benar-benar membantu." Arissa tersenyum kecil, meskipun ia menyadari bahwa Nathaniel tidak akan mengucapkan lebih banyak dari itu. "Saya senang mendengarnya. Silakan berbaring, saya akan mulai." Nathaniel duduk di atas meja pijat, kali ini lebih rileks, dan Arissa mulai memijat punggung dan bahunya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tangan Arissa terasa semakin lembut, namun dengan kekuatan yang tepat untuk melepaskan ketegangan yang ada. Nathaniel membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi pijatan, menikmati kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang tahu betul cara merawat tubuh manusia. Namun, meskipun tubuhnya semakin relaks, pikiran Nathaniel terus berkelana. Ia menyadari bahwa perasaan yang ia rasakan lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Ada sesuatu dalam diri Arissa yang membuatnya merasa diterima tanpa syarat, sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya yang penuh tekanan dan kesendirian. Meski tidak mengatakannya, Nathaniel tahu bahwa ada hubungan yang semakin berkembang di antara mereka, dan meskipun ia merasa ragu, ia tidak bisa menahan perasaan itu."Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam