Share

Celeste Mafia?

“Kekayaan bukanlah untuk memberi makan ego tetapi memberi makan orang yang lapar dan untuk membantu orang lain dalam membantu diri sendiri. Wow, Andrew Carnegie sungguh patut menjadi idola. Baik dari segi kekayaan, etos kerja, ke dermawanan, tidak seperti seseorang yang ku kenal oportunis dan sangat kapitalis.” Maxwell sengaja meninggikan suaranya sambil menutupi wajahnya dengan buku bersampulkan Andrew Carnegie.

“Diam kau Maxwell, fokus saja untuk menyelesaikan hukumanmu atau aku akan menghancurkan kartu kreditmu dan menarik kembali mobil sport yang telah ku berikan padamu.” Celeste Winston menatap Maxwell dengan tajam.

Suara dinginnya yang tajam dan menusuk membuat siapapun yang mendengarnya pasti bergidik ngeri dan ketakutan. Meski Celeste terlihat dingin dan mendapat julukan wanita besi dalam dunia bisnis tetap saja ia harus selalu berkompromi ketika berhadapan dengan adik kandungnya sendiri.

“Baiklah kakak jangan terlalu galak, aku akan menyelesaikan hukuman ini dengan sempurna.” Si tengil Maxwell membaca bukunya sambil rebahan di sofa ruang kerja Celeste.

Celeste menghela nafas frustasi menghadapi adiknya yang semakin hari bertindak semaunya. Tapi Celeste tidak bisa berbuat apapun, karena bagaimana pun kedua orangtua mereka telah meninggal sejak Maxwell berusia 6 bulan inilah yang memicu Celeste untuk memanjakan dan berkompromi pada adiknya setiap saat.

Celeste mengerutkan keningnya saat membaca laporan yang dikirimkan oleh asistennya beberapa menit yang lalu, hingga tiba-tiba drttt…drttt…

“Kak…”

Drrttt…drrrttt…

“Kak… astaga itu ponselnya bunyi di angkat dong, mengganggu konsentrasi orang belajar aja.”

Drrttt…drrrrttt

“Ya Tuhan kakak…” Max mengangkat kepalanya dari buku yang dibaca lalu melihat Celeste yang tampak tenggelam dalam pikirannya lalu bergegas ke arah Celeste dan menepuk pundaknya.

“Kak….”

Celeste kaget “Kenapa Max?” lalu melihat ke arah ponselnya yang sedari tadi rupanya berbunyi. Celeste  melihat id callernya, mengenakan jaket yang tersampir di kursi kerjanya lalu mengambil kunci mobil dan meninggalkan Max yang  menganga melihat kakaknya yang panik dan terburu-buru.

Ini adalah pertama kalinya Max melihat kakaknya yang tenang dan terkendali kalang kabut. Bahkan ketika dia dan kakaknya di kejar gangster dalam perjalanan pulang dari sekolah jumat lalu, kakaknya tampak tenang dan sekali-kali menembakkan pistol dengan raut datar khasnya.

Terkadang Max bingung apakah kakaknya ini perempuan atau mafia karena secara kemampuan bertarung kakaknya unggul bahkan melebihi pembunuh bayaran dan yang paling mengerikan lagi kakaknya adalah penembak jitu bidikannya tidak pernah gagal. Dibalik wajah cantik bak malaikat itu tersimpan jiwa bar-bar. Maxwell bergidik ngeri lalu melanjutkan aksi rebahannya kembali.

Celeste tidak memiliki waktu untuk memperhatikan ekspresi Max pikirannya tertuju pada satu orang. Celeste menyematkan airpod di telinganya lalu mengendarai mobil meninggalkan garasi yang menyimpan koleksi mobil mahal dan limited editionnya.

“Oh c’mon answer me please.” Celeste mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, berulang kali Celeste melakukan panggilan tetap saja tidak di angkat. Celeste berharap memiliki kekuatan teleportasi sehingga bisa tiba di sana dalam hitungan detik.

Namun hingga Celeste tiba di basement apartemen tetap saja panggilan tersebut tidak ada yang menjawab. Celeste berlari ke apartement orang yang membuatnya mengemudi dengan kesetanan.

“York…” Celeste mendapati pemandangan yang menyedihkan begitu ia memasuki apartemen. Ia melihat York seolah kehilangan jiwanya, tatapannya kosong dan tidak ada air mata yang mengalir. Ini terlihat lebih menyakitkan daripada melihat orang yang menangis dengan penuh kesedihan.

Celeste mengusap pundak York seolah menyadarkan York bahwa ia tidak sendirian sekarang. York tersadar lalu melihat ke arah Celeste, York tersenyum kecil seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Nyatanya Celeste merasa hatinya tersayat ketika melihat senyuman York, Celeste tahu bahwa York benci dikasihani sehingga Celeste hanya duduk diam menemani York.

“She’s gone Celeste dan nggak akan pernah kembali lagi.” York mulai angkat bicara setelah hampir setengah jam mereka duduk dan hanya diisi oleh keheningan. Celeste tidak memotong sedikitpun perkataan York apalagi memberikan kata-kata penghiburan karena yang Celeste tahu bahwa yang di butuhkan York saat inilah adalah di dengarkan.

“Dia sangat baik dan aku menikmati kasih sayang ini tapi ini terlalu kejam. Jika ingin meninggalkanku sendirian, tinggalkan saja! kenapa harus merancang kecelakaan pesawat? aku bahkan tidak memintanya untuk tinggal di sisiku setiap saat, bahkan aku tidak pernah menuntut apapun. Aku hanya ingin hidup normal layaknya anak yang memiliki ibu, rasanya masih sulit mempercayai jika kasih sayangnya dari dulu sampai sekarang hanyalah pertunjukan semata. Aku sangat naif, meski aku tahu bahwa kasih sayangnya adalah kebohongan diam-diam aku tetap berharap bahwa ini nyata dan murni. Bahkan aku berharap ini bisa bertahan sedikit lebih lama lagi.” Tanpa disadari air mata York meluruh membanjiri pipi putih mulusnya, tanpa York sadari ternyata ia sangat menyayangi wanita yang ia panggil ibu itu.

Celeste merasa sakit melihat York yang tampak rapuh. Ia menarik York dan membenamkannya dalam pelukannya ia menepuk-nepuk punggung York seolah memberi kekuatan.

“Apa aku tidak pantas bahagia Celeste? aku tidak ingin mempertanyakan dan mengeluh kepada Tuhan kenapa hidupku harus seperti ini tapi aku bingung harus bertanya pada siapa. Aku tidak mengerti dosa apa yang ku perbuat sampai harus menanggung hal se-kejam ini. Tunggu…” York duduk tegak dan keluar dari pelukan Celeste.

“Apa karena aku tidak membiarkan dia untuk ikut campur dalam biaya pendidikanku sehingga ia memutuskan untuk meninggalkanku sendiri? apa karena aku suka makan junk food? apa karena aku suka lupa makan? Aku harus makan sekarang iya harus makan. Makanan dimana, dimana makanan, dimana…” York semakin kacau dan mengeluarkan seluruh isi kulkas lalu melemparkannya ke lantai dengan sembarangan.

Celeste mengejar York ke dapur lalu menarik tangan York sebelum ia membalikkan kulkas, York bahkan telah membalikkan meja makan karena tidak menemukan makanan di sana.

“Lepas, lepaskan aku. Aku harus makan supaya ibu bisa kembali lepas...lepas… lepaskan aku nanti ibu makin marah dan nggak mau pulang kalau aku nggak makan…” York memberontak di pelukan Celeste.

“York sadar… sadar…” Celeste mengguncang-guncangkan tubuh York namun York tetap saja memberontak hingga akhirnya Celeste memejamkan matanya lalu menampar wajah York. York yang tadinya memberontak seketika terdiam dan kosong. Celeste lalu menggiring York ke sofa dan mendudukkannya di sofa.

Celeste berlari ke dapur lalu kembali dengan membawa baskom yang berisi air es dan kain untuk mengopres pipi York yang memerah akibat tamparan Celeste. Bukannya Celeste bermaksud York tapi Celeste tidak kuat melihat York kehilangan kewarasannya.

Celeste masih mengingat betapa berbinarnya mata York saat menceritakan bahwa ibunya akan mengajaknya menghabiskan malam natal di Jepang, bagaimana cerahnya senyuman dan berseri-serinya wajah York saat menceritakan tentang ibunya pada Celeste.

Celeste tidak mengerti mengapa Berly melakukan hal ini tapi Celeste yakin Berly pasti menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa di ungkapkan begitu saja seperti halnya kematian orang tuanya.

Celeste sudah menyimpulkan variabel ini namun ia belum menemukan petunjuk yang dapat membawanya ke bukti-bukti dan pemecahan masalah. Celeste yakin semua tidak sesederhana apa yang terlihat.

“Minum dulu York.” Celeste menyerahkan segelas air putih pada York.

“Terimakasih Cel.” York menghabiskan air putih dalam satu tegukan. York menarik napas memejamkan matanya lalu menghembuskan napasnya kemudian membuka matanya seolah ia telah mendapatkan ketenangannya kembali.

Celeste yang melihat York sudah tenang akhirnya menyandarkan punggungnya dengan santai ke sandaran sofa.

“Apa rencanamu York?” Celeste memandang ke arah York yang tampak sibuk memandangi langit-langit apartemen.

“Aku tidak bisa memikirkan apapun Cel.” Aku telah memikirkannya sejak kemarin malam dan mempersiapkan hatiku untuk kejadian hari ini tapi tetap saja rasanya duniaku berhenti berputar.”

“Aku tahu apa yang kamu rasakan York, ketika aku kehilangan orangtuaku aku juga merasa duniaku seolah berhenti tapi hidup harus berjalan terus kan? dengan ataupun tanpa adanya mereka disisiku.”

“Aku ingin menyingkirkan segala hal tentangnya Cel aku tidak ingin ada satu hal pun yang tersisa tentangnya kurasa aku akan meninggalkan negara ini dan memulai hidup baru di suatu tempat.”

“Pelan-pelan York, tidak masalah jika kamu ingin menyingkirkan semua kenangan bersamanya tapi lakukan secara perlahan dengan begitu kamu tidak akan tersiksa di malam hari. Aku tidak mau insomniamu semakin parah York.” Celeste sangat mengkhawatirkan keadaan York sejak ia pulang merayakan natal di Jepang bersama ibunya. Sejak saat itu, York sering melewatkan malam tanpa tidur. York tahu seberapa besar rasa sayang York pada Berly.

York telah menggantungkan seluruh kebahagiannya pada Berly jadi ketika York tahu kebenaran yang sesungguhnya York sangat terpukul. Disisi lain, York tidak berani mengkonfirmasinya pada Berly ia takut kalau Berly menjawab bahwa yang dilakukan selama ini hanyalah pertunjukan semata.

“Tenang saja Cel, i’m ok now.” Sangat terlihat bahwa York memaksakan dirinya untuk tersenyum. Celeste tidak ingin mengatakan satu kata patah pun karena Celeste sangat memahami kepribadian York yang keras kepala. Sekali ia memutuskan sesuatu tidak aka ada jalan memutar untuk kembali.

“Ok i trust you. Aku akan mengurus semua keperluan kepindahanmu malam ini, bagaimana dengan kuliahmu apakah kau ingin mengurus surat pindah juga atau seperti apa?”

“Tolong urus saja surat pengunduran diriku dari kampus Cel, aku akan ke Swiss ke rumah kakekku dan aku tidak sedang dalam mood untuk kuliah. Bagaimanapun kuliah di Boston adalah mimpi ibuku akh bukan lebih tepatnya impian wanita itu.” York tersenyum miris.

“Baiklah York, nanti aku akan mengirimkan tiket penerbanganmu lewat email. Passport dan Visamu juga telah di urus oleh sekretarisku.” Celeste mengusap pundak York.

“Terimakasih Cel, kau sangat baik padaku.”

“It’s ok York, you deserve to get the better. Aku berhutang budi padamu York, kau adalah dermawanku jika bukan karena kau Celeste saat ini tidak akan pernah ada. Aku berhutang seumur hidup padamu York.”

“Baiklah kalau begitu ikutlah aku ke swiss dan jadilah pelayanku seumur hidup nona celeste, kapan lagi coba seorang York yang bahkan belum genap berusia 20 tahun memiliki pelayan seorang CEO yang dijuluki sebagai wanita besi.” York tersenyum jenaka.

Celeste tidak merasa tersinggung sama sekali, karena Celeste tahu York sedang berusaha untuk mengubah suasana. Celeste memahami bahwa York sebenarnya tidak menyukai adegan mellow seperti sekarang “Kau memang tidak tau diri York, kau harus mampu mengalahkanku bertarung dulu baru aku akan mengakuimu menjadi tuanku.” Celeste menoyor kepala York.

York terkekeh seolah bukan dia yang mengamuk dan menangis meraung-raung beberapa menit yang lalu. Celeste memandangi wajah York dengan seksama, Celeste rasa ia akan merindukan gadis yang lebih mudah 7 tahun darinya.

Terkadang Celeste ingin mengakui York sebagai adiknya tapi urung dilakukan mengingat ketengilan York hanya berbeda 0,8% dari ketengilan Maxwell adiknya mengurus Maxwell saja Celeste sudah hampir gila setengah mati apalagi jika di tambah dengan York bisa-bisa dia dikuburkan dalam semalam. Hanya saja perbedaan York dan Max itu, kalau York itu tengil tapi hanya untuk orang-orang yang dianggapnya sebagai orang terdekatnya saja.

Kalau sedang waras York tidak terlihat seperti anak berusia 18 tahun karena kemampuan analisisnya yang tinggi dan wawasannya yang luas sedangkan Max meski IQnya tinggi tetap saja menyusahkan dengan ketengilan, kasus perkelahian, mengusili guru yang sedang mengajar, bahkan beberapa kali meledakkan labolatorium sekolah, sampai terkadang Celeste malu mengakui kalau Max adalah adiknya.

“York, tapi nanti kau akan kembali kan ke Boston?”

“Aku akan kembali, jika…” York sengaja menggantung ucapannya.

Celeste memandang wajah York dengan serius dan hati-hati “Jika apa?”

“Jika kau menikah atau meninggal dunia.” York tersenyum miring seolah ia adalah ratu gangster. Tuh kan York itu tidak pernah bisa diajak ngomong serius.

“Ekh, tapi kau tidak akan menikah ya? Mengingat kelakuanmu yang seperti ratu bandit dan suka memukuli orang jadi aku akan menunggu hari dimana kau meninggal saja.” York berbicara dengan wajah berseri-seri seolah dia baru saja mengatakan bahwa ia baru saja menyantap makanan paling enak yang pernah ada.

Ingin rasanya Celeste menjambak rambut pirang York yang sialnya semakin menambah daya pikat seorang York Portland “Berhenti memprovokasiku York atau akan mengirimmu ke Swiss lewat JNE.”

“Oh sayangku Celeste, berhentilah mengancamku atau aku akan mengkonversi hutang seumur hidupmu  menjadi saldo shopee pay.”

“Kenapa harga nyawaku hanya sekelas shopee pay? Kau benar-benar keterlaluan York aku akan membunuhmu.” Dan jadilah York dan Celeste saling berdebat sepanjang malam, dengan pedebatan yang unfaedah dan penuh cacian sampai tidak memikirkan bahwa dapur hasil mahakarya pelampiasan emosi York belum di bereskan sedari tadi.

Biarlah, toh Celeste adalah CEO kaya raya tentunya sangat sanggup untuk mempekerjakan pelayan untuk membereskan kekacauan York sementara ia dan York akan melanjutkan ajang perdebatan mereka untuk yang terakhir kalinya sebelum York berangkat ke Swiss.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status