Pisah Terindah #30"Dara, nanti sekitar pukul sepuluh tolong ke kantor Mas Lindan, ya. Cuma ngasihin beberapa dokumen aja. Cuman, harus diterima sama Mas Lindan langsung," ujar Mbak Tania yang baru saja datang. "Aku udah terlanjur ada janji sama calon klien. Padahal aku pengen ngobrol serius sama dia," lanjutnya lagi. "Baik, Mbak. Kantornya yang di deretan ruko biru, kan, Mbak?" "Iya, yang itu. Kamu ingat, kan orangnya? Yang dua hari yang lalu ke sini?" "Iya, Mbak. Aku ingat. Yang waktu itu pakai jas abu-abu?" "Ya, benar. Nanti ingatin aku lagi, ya." Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Kukira Mbak Tania akan langsung masuk ke ruangannya setelah menyampaikan tugas yang harus kulakukan. Ternyata dia malah menarik kursi yang ada di hadapanku dan duduk dengan posisi nyaman. "Oh, iya, Dara, kemarin Windi ada ke sini, nggak?" Aku menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Aku nggak ketemu." Mbak Tania menarik napas berat. "Kalau kamu sempat ketemu sama dia, tolong nasihatin, tuh anak s
Pisah Terindah #31Rasa penasaran makin menjadi-jadi menghampiriku. "Apa dibuka aja?" "Tapi ...." Entah kenapa aku harus membuat bingung diri sendiri. Padahal urusan apa pun di kantor Mbak Tania tidak ada kaitan apa-apa dengan kehidupanku. Aku cukup melakukan apa yang diperintahkan oleh orang mempekerjakan aku. Selain itu, aku tidak ada hak untuk ikut campur. Aku juga tidak punya kapasitas untuk melibatkan diri. Aku tidak mengerti apa-apa tentang pasal-pasal hukum. Apa lagi keberadaanku hanya sebagai asisten pengganti yang sifatnya sementara. Meskipun sudah mencoba menyadari tentang posisiku, satu sisi pikiranku yang telah dikuasai rasa penasaran hebat tidak bisa ditundukkan begitu saja. Seperti ada kekuatan lain yang menggerakkan, sehingga jariku telah berada di ujung amplop. "Daripada menanggung penasaran. Lagian juga nggak bakal keciri kalau amplop ini sempat kubuka." Begitu aku berhasil meyakinkan diri untuk mengintip isi amplop itu, telepon genggamku mengeluarkan getar. P
Pisah Terindah #32 "Dara? Lagi apa?" Jantungku seakan mau copot begitu mendengar ada suara yang menyerukan namaku. Tanpa melihat pun aku tahu siapa yang sedang ada di pintu. Meskipun berada pada situasi genting aku tidak boleh memperlihatkan kepanikan selayaknya orang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak benar. Hal itu penting untuk menghindari kecurigaan. Sayangnya aku tak pernah mempelajari ataupun memahami teori-teori ilmu psikologi yang berkaitan dengan penguasaan diri. Namun, sebisa mungkin kucoba untuk mengontrol diri untuk mengkamuflasekan apa yang kurasa saat ini. Aku mencoba menyiasati agar tidak terlihat seperti orang yang panik. Langkah pertama kucoba untuk tetap tenang tanpa ada gerakan tergesa-gesa yang nantinya akan memperlihat kegugupan. Lalu, setelah menarik napas perlahan, aku mengulas senyum dan mengarahkan pandangan dengan serileks mungkin ke arah Mbak Tania. "Ini, Mbak, lagi nyari HP. Barangkali ketinggalan di sini," ujarku spontan. Padahal in
Pisah Terindah #33 POV LalisaLelah! Lelah raga dan terlebih lagi lelah jiwa. Kupikir takkan seperti ini jalan hidupku. Takkan seperti ini kehidupan pernikahan yang akan kujalani. Memang, menjadi istri dari seorang Danar Aryo Bintang adalah sesuatu yang tak lagi terpikirkan olehku. Namun, tanpa sepenuhnya direncanakan takdir membuatnya menjadi sebuah kenyataan. Menjadi wanita kedua, wanita mana di dunia ini yang benar-benar mau berada pada posisi itu. Jelas tidak ada. Namun, lagi-lagi takdir yang berkata terjadi. Maka semuanya pun terjadi hingga saat ini. Hingga sudah memasuki tahun kedua kujalani. Mas Danar, lelaki yang awalnya menikahiku secara sirri itu memang bukanlah orang baru dalam hidupku. Bertahun-tahun yang lalu dia pernah menjadi matahari bagi duniaku. Terlepas dari kesalahpahaman Papa ketika berhasil menemukan aku yang memang sengaja menghilang dari rumah, yang menjadi alasan utama terjadinya pernikahan itu, kuakui aku pun masuk ke dalam jerat pesona mantan. Hampir
Pisah Terindah #34 Tak sia-sia rasanya meluangkan waktu dan menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk mewujudkan liburan kecil-kecilan ini. Shahna sangat bahagia. Pun dengan Mas Danar terlihat larut dalam kebersamaan kami. Sepertinya ultimatum di awal yang kukeluarkan cukup mempan. Terlebih kami juga bertemu dengan teman lama Mas Danar ketika sama-sama merintis karier dulu. Dia bersama keluarganya juga tengah menghadiri acara keluarga yang tak jauh dari lokasi villa kami menginap. Sebelum kembali pulang, mereka pun menyempatkan waktu untuk bergabung bersama kami. Apalagi juga ada anaknya yang berusia setahun lebih tua dari Shahna. Shahna semakin senang karena punya teman bermain. Tak lupa, setiap kegiatan yang kami lakukan diabadikan dalam bentuk foto maupun video. Mulai dari menunggang kuda, hiking ke air terjun, beredam air panas, makan di restoran, baik yang berkonsep modern maupun yang ala-ala suasana zaman dahulu. Tentu satu hal yang tidak boleh terlewatkan yaitu memostin
Pisah Terindah #35"Mas Daniel." Ekspresi wajah kami saat ini mungkin sama. Sama-sama tidak menyangka akan adanya pertemuan ini. "Dara di sini? Nggak nyangka bakal ketemu di sini. Apa kabar?" Mas Daniel mendekat ke arahku. "Baik, Mas," jawabku sedikit kikuk. "Mas Daniel kenal sama Dara?" Mbak Tania ikut menimpali. "Iya, dari sepuluh tahun yang lalu kayaknya, kalau nggak salah." Kami hanya sedikit berbasa-basi. Dari gelagat Mas Daniel sepertinya dia ingin bicara banyak padaku atau mungkin juga dia punya rasa penasaran tentang keberadaanku di kantor Mbak Tania, tetapi keadaannya tidak memungkinkan. Apalagi Pak Lindan terlihat seperti sedang buru-buru. Mas Daniel pun berpamitan karena sudah ada janji dengan orang lain. Kepergiannya itu menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku. Apa kaitan antara Mas Daniel dan perusahaan tempat bekerja Mas Danar sehingga tadi sempat disebut-sebut. Seawam-awamnya aku tentang dunia hukum, setidaknya aku paham kalau sudah berurusan dengan pengacara
Pisah Terindah #36 "Kamu mau tahu aku dari mana?" Mas Danar menatapku dengan tatapan sengit. "Aku dari rumah sakit. Anakku sedang terbaring di ruang perawatan bayi. Kondisinya sangat tidak stabil. Dan aku sebagai bapaknya tidak tahu sama sekali hal itu. Ya, tentu saja aku tidak akan tahu, bahkan jika terjadi hal yang paling buruk sekali pun, aku juga tidak akan tahu. Karena apa? Karena ada seorang wanita egois. Wanita yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan mengatur kehidupan orang seperti maunya dia." "Sungguh kamu keterlaluan sekali, Dara!" lanjut Mas Danar lagi dengan nada suara lebih ditekan."Mas? Kamu bilang aku egois? Egois dari mananya? Aku tidak pernah--" "Sudah cukup Dara! Mulai detik ini tidak ada lagi perjanjian-perjanjian di antara kita." Mas Danar menyambar tas yang tadi diletakkan di kursi lalu dengan langkah terburu-buru langsung keluar. Aku berusaha menyusul langkah Mas Danar. Namun langkahnya yang panjang-panjang tak mampu untuk kujangkau. Belum sempat ak
Pisah Terindah #37"Aku sungguh tidak menyangka kalau kamu akan selicik ini Dara!" "Di depanku kamu menampilkan diri bagai wanita yang berhati mulia dengan balutan penampilan yang sangat santun tetapi nyatanya hati kamu busuk!" "Mas? Kamu ngomong apa, sih?" Spontan saja aku melontarkan tanya dengan suara setengah berteriak. Aku teramat kaget mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Mas Danar. Kata-kata yang teramat menyakitkan. "Sudahlah, Dara. Cukuplah sandiwara kamu itu. Aku sudah tahu kebusukan apa yang kamu sembunyikan. Nggak usah berpura-pura polos lagi di depan aku." Lagi-lagi ucapan Mas Danar begitu mengoyak hatiku. Kupandangi lamat-lamat wajah Mas Danar. Garis-garis mukanya terlihat mengeras. Aku tahu, sesuatu telah berhasil mengibarkan emosinya. Akan tetapi apa? Dan kenapa sasarannya adalah aku. "Mas, kamu omongannya nyakitin banget, sih, Mas? Melemparkan tuduhan yang nggak jelas seperti itu. Emangnya aku ngelakuin apa?" Aku masih berusaha untuk meredam loncatan p