Share

Part 5

Pisah Terindah

#5

Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi.

Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya.

"Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa saja itu hanya alibi semata. Sedangkan kenyataannya dia berada di rumah wanita itu. Terhanyut dalam pelukan wanita yang telah membuat dia tega menyakiti aku.

Lagi-lagi aku membuang napas berat. Dalam hati aku kembali  merutuki ketidakpekaan serta keacuhanku selama ini. Aku yang tak pernah ingin mencari tahu apa-apa tentang aktivitas Mas Danar di luar rumah. Aku benar-benar percaya dengan apa yang dikatakan Mas Danar. Terlalu poloskah aku? Naif? Atau memang aku ini bego, seperti yang dikatakan Windi beberapa saat yang lalu.

"Iya," jawabku pelan.

Shahna langsung berlari meninggalkan aku dan masuk ke rumah.

"Papa ...!"

Terdengar lengkingan suara Shahna. Begitu aku sampai di dalam rumah, Shahna sudah berada dipelukan Mas Danar.

"Dari rumah Tante Windi?" tanya Mas Danar lalu mencium kedua pipi Shahna secara bergantian.

Shahna mengangguk dan tertawa geli karena ulah Mas Danar.

"Seru nggak main di rumah Tante Windi?"

"Seru, ada Kak Aliya juga."

"Nanti cerita, ya, tadi main apa aja sama Kak Aliya," pinta Mas Danar dengan memasang ekspresi antusias.

Memang begitulah yang biasa kami lakukan pada Shahna. Tujuan kami adalah membiasakan Shahna terbuka pada kami. Dalam hal apa pun. Kami sepakat untuk juga menempatkan diri sebagai sahabat bagi Shahna.

Aku berdiri tidak jauh dari mereka. Aku sengaja menunggu Shahna selesai melepas rindu dengan papanya. Setelah itu langsung mau mengajaknya mandi.

"Kita ke meja makan, yuk! Papa bikin sesuatu yang spesial. Shahna pasti suka."

Terlihat Mas Danar mencubit gemas pipi gembul putri semata wayang kami.

"Biar Shahna tebak. Pasti Papa bikin spaghetti!" ungkap Shahna dengan wajah semringah.

"Yah, langsung ketebak. Pintar banget, sih, anak Papa."

Shahna mengembangkan senyum lebar mendengar pujian dari papanya.

"Kita langsung makan sekatang, ya!" lanjut Mas Danar.

Shahna mengangguk senang.

"Ayo, Mama!" ajak Shahna padaku seiring tatapan Mas Danar yang juga tertuju padaku.

Aku masih mematung. Pikiranku bercabang antara mau langsung ke kamar atau mengikuti ajakan Shahna. Jujur, aku sangat malas untuk berdekatan dengan Mas Danar. Tiba-tiba saja rindu yang beberapa saat yang lalu masih menggebu-gebu sirna begitu saja. Bunga-bunga cinta yang beberapa waktu yang lalu masih bermekaran di hatiku, sekarang seketika layu. Yang ada hanya rasa muak dan perih yang menggerogoti hati.

"Ayo, Mama." Shahna mengulangi ajakannya karena aku masih tidak bereaksi apa-apa.

"Iya. Ayo," jawabku pelan

Demi Shahna aku menyingkirkan egoku. Aku melangkah pelan bermaksud untuk berjalan di belakang mereka. Namun, Mas Danar juga menggantung langkah. Sepertinya dia sengaja agar kami berjalan beriringan.

Sesampai di dapur aku sedikit dibuat takjub. Di meja makan sudah tertata perlengkapan makan dengan hidangan utamanya adalah spaghetti kesukaan Shahna.

Shahna sangat antusias. Tak butuh waktu lama, spagetti yang berpindah ke piring di depannya langsung dimakan dengan lahap. Mas Danar juga mengisi piring di depanku dengan menu yang sama.

"Ayo, Sayang, dimakan," ujar Mas Danar padaku.

Aku hanya memasang ekspresi datar. Selama menemani Shahna makan aku hanya berdiam diri. Seperti biasa, Shahna tak hentinya berciloteh. Hanya kalau gadis kecil itu bertanya aku ikut menimpali. Selebihnya aku diam dan tidak terlalu mengikuti pembicaraan ayah dan anak itu.

Sesekali kupergoki Mas Danar mencuri-curi pandang padaku. Aku membalas tatapannya dingin.

"Kok nggak dimakan, Ma?" Pandangan heran Shahna tertuju padaku.

"Dimakan, kok," balasku sambil menyendok sedikit makanan khas negara Italia itu.

"Biasanya Mama lahap makannya."

"Makannya buruan dihabiskan, Sayang. Habis itu kita mandi. Ntar keburu malam," ujarku mengalihkan pembicaraan dengan Shahna.

Shahna mengangguk tanda mengerti.

"Mama ke kamar dulu, ya." Aku segera berdiri sebelum Shahna bertanya  banyak lagi.

***

"Dara." Aku sedikit terperanjak karena Mas Danar sudah ada di belakangku. Sama sekali tidak kudengar derit suara pintu dibuka. Entah Mas Danar yang sangat pelan membukanya atau memang aku yang terlalu hanyut dalam lamunan.

"Dara ... Aku mau--"

"Aku mau memandikan Shahna." Segera aku bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki. Seketika itu juga tangan Mas Danar sudah menahan lenganku.

"Shahna sudah selesai kumandikan. Dia tengah menonton kartun di kamarnya. Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi." Mas Danar berucap pelan dan hati-hati.

Tumben-tumbennya Mas Danar mengambil alih mengurus Shahna. Biasanya dia tidak seinisiatif itu.

Aku menarik napas panjang. Setelah menatap Mas Danar dari kepala hingga ujung kaki, aku menarik pelan tanganku hingga tangan Mas Danar terlepas.

Aku bergeser satu langkah ke samping. Lalu mengayunkan langkah ke pintu. Ternyata jarak yang kubuat kurang jauh. Bahuku dan bahu Mas Danar bersentuhan tipis.

"Dara! Bisa nggak, sih, kamu tidak menghindari masalah?" Nada bicara Mas Danar menyiratkan kekesalan. Meskipun begitu, aku tak memedulikannya.

Selama pernikahan kami, sama sekali aku tidak pernah membantah ataupun mengabaikan Mas Danar. Aku selalu taat padanya, sebagaimana harusnya seorang istri yang wajib mematuhi suaminya. Namun, tidak untuk kali ini dan mungkin juga untuk selanjutnya.

Aku berhanti sejenak setelah menoleh pada Mas Danar aku kembali melenggang. Samar kudengar decak keluar dari mulut Mas Danar. Dalam hati aku berkata, bodo amat!

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahzuni
lanjut donk penasaran thor ceritanya bagus bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status