Share

Part 5

Penulis: Hanina Zhafira
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-15 15:10:31

Pisah Terindah

#5

Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi.

Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya.

"Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa saja itu hanya alibi semata. Sedangkan kenyataannya dia berada di rumah wanita itu. Terhanyut dalam pelukan wanita yang telah membuat dia tega menyakiti aku.

Lagi-lagi aku membuang napas berat. Dalam hati aku kembali  merutuki ketidakpekaan serta keacuhanku selama ini. Aku yang tak pernah ingin mencari tahu apa-apa tentang aktivitas Mas Danar di luar rumah. Aku benar-benar percaya dengan apa yang dikatakan Mas Danar. Terlalu poloskah aku? Naif? Atau memang aku ini bego, seperti yang dikatakan Windi beberapa saat yang lalu.

"Iya," jawabku pelan.

Shahna langsung berlari meninggalkan aku dan masuk ke rumah.

"Papa ...!"

Terdengar lengkingan suara Shahna. Begitu aku sampai di dalam rumah, Shahna sudah berada dipelukan Mas Danar.

"Dari rumah Tante Windi?" tanya Mas Danar lalu mencium kedua pipi Shahna secara bergantian.

Shahna mengangguk dan tertawa geli karena ulah Mas Danar.

"Seru nggak main di rumah Tante Windi?"

"Seru, ada Kak Aliya juga."

"Nanti cerita, ya, tadi main apa aja sama Kak Aliya," pinta Mas Danar dengan memasang ekspresi antusias.

Memang begitulah yang biasa kami lakukan pada Shahna. Tujuan kami adalah membiasakan Shahna terbuka pada kami. Dalam hal apa pun. Kami sepakat untuk juga menempatkan diri sebagai sahabat bagi Shahna.

Aku berdiri tidak jauh dari mereka. Aku sengaja menunggu Shahna selesai melepas rindu dengan papanya. Setelah itu langsung mau mengajaknya mandi.

"Kita ke meja makan, yuk! Papa bikin sesuatu yang spesial. Shahna pasti suka."

Terlihat Mas Danar mencubit gemas pipi gembul putri semata wayang kami.

"Biar Shahna tebak. Pasti Papa bikin spaghetti!" ungkap Shahna dengan wajah semringah.

"Yah, langsung ketebak. Pintar banget, sih, anak Papa."

Shahna mengembangkan senyum lebar mendengar pujian dari papanya.

"Kita langsung makan sekatang, ya!" lanjut Mas Danar.

Shahna mengangguk senang.

"Ayo, Mama!" ajak Shahna padaku seiring tatapan Mas Danar yang juga tertuju padaku.

Aku masih mematung. Pikiranku bercabang antara mau langsung ke kamar atau mengikuti ajakan Shahna. Jujur, aku sangat malas untuk berdekatan dengan Mas Danar. Tiba-tiba saja rindu yang beberapa saat yang lalu masih menggebu-gebu sirna begitu saja. Bunga-bunga cinta yang beberapa waktu yang lalu masih bermekaran di hatiku, sekarang seketika layu. Yang ada hanya rasa muak dan perih yang menggerogoti hati.

"Ayo, Mama." Shahna mengulangi ajakannya karena aku masih tidak bereaksi apa-apa.

"Iya. Ayo," jawabku pelan

Demi Shahna aku menyingkirkan egoku. Aku melangkah pelan bermaksud untuk berjalan di belakang mereka. Namun, Mas Danar juga menggantung langkah. Sepertinya dia sengaja agar kami berjalan beriringan.

Sesampai di dapur aku sedikit dibuat takjub. Di meja makan sudah tertata perlengkapan makan dengan hidangan utamanya adalah spaghetti kesukaan Shahna.

Shahna sangat antusias. Tak butuh waktu lama, spagetti yang berpindah ke piring di depannya langsung dimakan dengan lahap. Mas Danar juga mengisi piring di depanku dengan menu yang sama.

"Ayo, Sayang, dimakan," ujar Mas Danar padaku.

Aku hanya memasang ekspresi datar. Selama menemani Shahna makan aku hanya berdiam diri. Seperti biasa, Shahna tak hentinya berciloteh. Hanya kalau gadis kecil itu bertanya aku ikut menimpali. Selebihnya aku diam dan tidak terlalu mengikuti pembicaraan ayah dan anak itu.

Sesekali kupergoki Mas Danar mencuri-curi pandang padaku. Aku membalas tatapannya dingin.

"Kok nggak dimakan, Ma?" Pandangan heran Shahna tertuju padaku.

"Dimakan, kok," balasku sambil menyendok sedikit makanan khas negara Italia itu.

"Biasanya Mama lahap makannya."

"Makannya buruan dihabiskan, Sayang. Habis itu kita mandi. Ntar keburu malam," ujarku mengalihkan pembicaraan dengan Shahna.

Shahna mengangguk tanda mengerti.

"Mama ke kamar dulu, ya." Aku segera berdiri sebelum Shahna bertanya  banyak lagi.

***

"Dara." Aku sedikit terperanjak karena Mas Danar sudah ada di belakangku. Sama sekali tidak kudengar derit suara pintu dibuka. Entah Mas Danar yang sangat pelan membukanya atau memang aku yang terlalu hanyut dalam lamunan.

"Dara ... Aku mau--"

"Aku mau memandikan Shahna." Segera aku bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki. Seketika itu juga tangan Mas Danar sudah menahan lenganku.

"Shahna sudah selesai kumandikan. Dia tengah menonton kartun di kamarnya. Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi." Mas Danar berucap pelan dan hati-hati.

Tumben-tumbennya Mas Danar mengambil alih mengurus Shahna. Biasanya dia tidak seinisiatif itu.

Aku menarik napas panjang. Setelah menatap Mas Danar dari kepala hingga ujung kaki, aku menarik pelan tanganku hingga tangan Mas Danar terlepas.

Aku bergeser satu langkah ke samping. Lalu mengayunkan langkah ke pintu. Ternyata jarak yang kubuat kurang jauh. Bahuku dan bahu Mas Danar bersentuhan tipis.

"Dara! Bisa nggak, sih, kamu tidak menghindari masalah?" Nada bicara Mas Danar menyiratkan kekesalan. Meskipun begitu, aku tak memedulikannya.

Selama pernikahan kami, sama sekali aku tidak pernah membantah ataupun mengabaikan Mas Danar. Aku selalu taat padanya, sebagaimana harusnya seorang istri yang wajib mematuhi suaminya. Namun, tidak untuk kali ini dan mungkin juga untuk selanjutnya.

Aku berhanti sejenak setelah menoleh pada Mas Danar aku kembali melenggang. Samar kudengar decak keluar dari mulut Mas Danar. Dalam hati aku berkata, bodo amat!

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahzuni
lanjut donk penasaran thor ceritanya bagus bgt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pisah Terindah   Part 62

    Pisah Terindah #62Meski malam semakin larut, tetapi rasa kantuk belum juga datang menyambangi. Biasanya jam seperti ini aku sudah terlelap baik itu karena kelelahan atau karena harus bangun lebih pagi lagi esok harinya dengan kondisi yang bugar. Namun kali ini sepertinya aku akan terjaga lebih lama lagi. Pikiranku masih belum bisa dijinakkan. Aku kembali terbawa ke masa-masa yang telah berlalu. Tentu hal-hal yang dulu sempat terbesit di benakku atau lebih tepatkan pernah kuharapkan untuk terjadi. Mas Danar. Ya, lagi-lagi tentang lelaki itu mengusikku. Dulu, di saat masih dalam fase terpuruk aku meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa bangkit bahkan tumbuh menjulang tinggi. Sedangkan dia, dia yang telah menyakiti kuyakini akan menuai hasil taburannya. Bak roda, kehidupan itu juga berputar. Begitu ungkapan yang diwariskan turun temurun semenjak nenek moyang. Bahwa yang sekarang bersenang-senang suatu hari nanti akan menangis. Yang menindas suatu hari pasti juga akan merasakan ditinda

  • Pisah Terindah   Part 61

    Pisah Terindah #61"Bu Dara, ini Pak Danar. Sewaktu-waktu jika saya berhalangan, Pak Danar ini yang akan mewakili saya." Aku tetap berdiri dalam bisu. Jujur, aku tidak tahu harus memberi reaksi apa. Haruskah aku melebarkan tangan, mengucapkan selamat bertemu lagi, lalu menyebut namanya selayaknya dua orang yang sudah saling kenal bertemu lagi, atau malah harus pura-pura berkenalan lagi selayaknya orang baru pertama kali bertemu? Mas Danar sepertinya juga tidak jauh berbeda denganku. Dia pun tampak canggung setelah didahului oleh ekspresi kaget. Perlahan Mas Danar mendekat. Sementara aku yang masih setia dengan posisi berdiri sejak awal. Untuk beberapa saat aku mempertahankan tatapan yang tertuju pada Mas Danar. Dia pun sama. Hingga akhirnya jarak yang tersisa antara kami hanya seukuran meja. Aku pun buru-buru menyibukkan diri dengan memindahkan map dari tangan kiri ke tangan kanan dan menaruhkannya ke meja guna menghindari kontak fisik dengan Mas Danar. Aku berharap dengan begit

  • Pisah Terindah   Part 60

    Pisah Terindah #60 Aku pun membenahi penampilan. Ini akan menjadi kali pertama aku bertemu dengan klien dengan status sebagai pengacara. Kalau biasanya aku hanya sekadar tahu dan membantu. Sekarang, aku menjadi salah satu tim inti yang harus ikut jungkir balik mengumpulkan data, fakta, alat bukti, saksi, dan sebagainya yang nantinya akan dibutuhkan sebagai senjata dalam menghadapi pertempuran di pengadilan. Kemarin sudah cukup panjang dan lebar kami menganalisa. Sekarang saatnya menindaklanjuti dan menentukan strategi. Aku serta Pak Beni telah menyepakati janji untuk bertemu dengan pihak Joan Persada. Mereka mengundang kami ke sebuah restoran yang menyediakan 'meeting room'. Aku mempersiapkan diri sebaik-baik mungkin. Bagaimana cara bersikap, bertutur kata, menyanggah pendapat orang, serta yang paling penting bagaimana menjadikan diri sebagai magnet. Kemampuan berbicara dan penampilan adalah modal utama seorang pengacara. "Kita harus menampilkan diri sesempurna m

  • Pisah Terindah   Part 59

    Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh

  • Pisah Terindah   Part 58

    Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s

  • Pisah Terindah   Part 57

    Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status