Share

Part 4

Pisah Terindah

#4

Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku.

"Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu."

Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!"

"Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini."

Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela.

Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk.

Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku baru saja lulus SMA.

Sejak saat itu aku hidup sebatang kara. Ayah tidak pernah lagi muncul semenjak dia bercerai dengan ibu. Bahkan ketika ibu meninggal pun dia sama sekali tidak kutahu di mana keberadaannya.

Aku benar-benar merasakan hidup sendiri. Tanpa orang tua maupun sanak saudara. Saudara baik dari pihak ibu maupun ayah memang masih ada tetapi mereka tidak ada satu orang pun yang menawarkan aku untuk ikut bersama mereka.

Di usia yang masih belia, aku sudah mulai berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Dengan hanya mengandalkan ijazah sekolah menengah atas, aku bekerja seadanya. Hingga akhirnya aku bisa bekerja di anak perusahaan sebuah perusahaan properti yang sudah cukup mumpuni. Hingga di suatu momen akhirnya bertemu dengan Mas Danar.

"Jujur, otakku belum mampu mencerna sama sekali. Aku benar-benar nggak nyangka Mas Danar sampai bisa melakukan semua itu. Kok bisa? Aduh, aku ... aku benar-benar speechless." Windi beberapa kali menggeleng.

"Aku pun begitu, Win. Aku bahkan sangat berharap ini hanyalah lelucon. Aku pun tidak ingin mempercayainya. Akan tetapi kenyataannya, semua itu keluar dari mulut Mas Danar sendiri. Semua itu telah dilakoninya. Telah terjadi!" Aku berbicara dengan penuh penekanan dan sedikit emosional. Nyaris saja kehilangan kontrol. Aku memejam dan mencoba mengatur pernapasan. Aku lupa kalau aku sedang berada di rumah orang.

"Lalu kamu langsung mau cerai, gitu?"

"Aku nggak bisa mentolerir pengkhianatan. Aku nggak mau diduakan. Berbagi suami dengan wanita lain? Aku tak bisa. Melihat dia saja aku sudah muak apalagi akan tetap hidup bersama dengan dia lebih lama lagi. Tidak! Aku tidak akan mempertahankan pernikahan ini."

Air mataku kembali mengalir tanpa bisa dicegah. Sama seperti semua orang, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Jika pun berpisah, hanya karena maut. Bukan perceraian karena pengkhianatan. Namun sayangnya, kenyataan tidak berkata demikian.

Memang ini adalah keputusan pahit yang harus kutelan dan bisa dibilang terlalu terburu-buru. Namun, kurasa lebih baik begitu. Jika ujung-ujungnya sudah jelas akan terjadi perpisahan juga, kenapa harus membiarkan berlarut-larut. Bersama hanya akan saling menyakiti. Untuk apa?

Apalagi yang harus ditunggu? Mas Danar akan meninggalkan wanita itu? Ah, mimpi! Karena kenyataannya sekarang dia keluar dari persembunyian untuk meminta persetujuanku untuk merekatkan hubungan secara resmi. Lalu apa lagi yang kutunggu? Apa lagi yang kuharapkan?

"Bodoh kamu! Kamu mau memberikan kemenangan secara cuma-cuma pada wanita itu? Memang itu yang dia harapkan. Memiliki Mas Danar seutuhnya dan kamu akan memberikan dengan mudahnya kepada dia? Kamu mau menyenangkan dia? Benar-benar bego! Real bego!"

Aku menatap tajam pada Windi. Seenaknya saja dia berkata kasar padaku. Bahkan ini untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun kami bersahabat.

"Kamu waras nggak, sih? Seenaknya aja ngebego-begoin aku! Aku yang dibohongi! Aku yang disakiti! Seharusnya kamu memberi dukungan padaku! Sahabat macam apa, sih, kamu?"

Aku pun menumpahkan kekesalan pada Windi. Sepertinya nasib tidak baik memang tengah berpihak padaku. Tak hanya akan kehilangan suami, sepertinya aku juga akan kehilangan satu-satunya sahabat yang kupunya.

"Sekarang, buka pikiran kamu lebar-lebar. Apa yang akan kamu harapkan dari sebuah perceraian? Mas Danar akan menyesal seumur hidup karena kehilangan kamu dan Shahna? Aku sangsi akan hal itu, Ra."

"Seberharga apa sih kamu bagi dia? Toh, nyatanya dia mampu berbuat curang di belakang kamu. Dia tega menduakan kamu. Kalau memang kamu dan Shahna sangat berharga bagi Mas Danar, nggak bakalan dia berpaling ke pelukan wanita lain."

"Terus kamu pikir setelah kalian berpisah dia akan terburuk dan larut dalam penyesalan dalam lalu menjelma menjadi seseorang yang sangat menderita dan menyedihkan. Begitu? Atau dia akan hidup menderita karena mendapat karma? Lalu dia akan memohon-mohon, bersujud meminta maaf pada kamu? Ah, kamu terlalu terbawa kisah fiksi, Dara."

Windi terus saja nyerocos tanpa semau dia. Dadaku kembang kempis lebih cepat karena makin kesal padanya. Meskipun begitu, telingaku masih menangkap tiap kata yang keluar dari mulut bawel Windi.

"Itu nggak banget, deh. Aku sama sekali tidak mendukung kamu untuk buru-buru bercerai."

"Terus kamu maunya aku bertahan? Tetap menjadi istri yang sangat manis dan welcome sama si wanita itu? Atau sekalian tinggal satu atap? Begitu?" Aku pun membalas tidak kalah sengit dari Windi.

"Nggak, Win! Itu nggak akan terjadi. Lagi pula aku tidak meminta persetujuan kamu. Aku hanya butuh bantuan pengacara untuk mempercepat semua prosesnya."

"Nggak, Dara! Aku nggak bakal membiarkan itu terjadi. Kalau sampai kamu cerai sama Mas Danar, aku nggak mau kenal kamu lagi. Aku nggak bakal mau tahu apa-apa lagi tentang kamu."

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status