Share

Part 4

last update Last Updated: 2023-01-22 22:19:26

Pisah Terindah

#4

Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku.

"Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu."

Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!"

"Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini."

Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela.

Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk.

Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku baru saja lulus SMA.

Sejak saat itu aku hidup sebatang kara. Ayah tidak pernah lagi muncul semenjak dia bercerai dengan ibu. Bahkan ketika ibu meninggal pun dia sama sekali tidak kutahu di mana keberadaannya.

Aku benar-benar merasakan hidup sendiri. Tanpa orang tua maupun sanak saudara. Saudara baik dari pihak ibu maupun ayah memang masih ada tetapi mereka tidak ada satu orang pun yang menawarkan aku untuk ikut bersama mereka.

Di usia yang masih belia, aku sudah mulai berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Dengan hanya mengandalkan ijazah sekolah menengah atas, aku bekerja seadanya. Hingga akhirnya aku bisa bekerja di anak perusahaan sebuah perusahaan properti yang sudah cukup mumpuni. Hingga di suatu momen akhirnya bertemu dengan Mas Danar.

"Jujur, otakku belum mampu mencerna sama sekali. Aku benar-benar nggak nyangka Mas Danar sampai bisa melakukan semua itu. Kok bisa? Aduh, aku ... aku benar-benar speechless." Windi beberapa kali menggeleng.

"Aku pun begitu, Win. Aku bahkan sangat berharap ini hanyalah lelucon. Aku pun tidak ingin mempercayainya. Akan tetapi kenyataannya, semua itu keluar dari mulut Mas Danar sendiri. Semua itu telah dilakoninya. Telah terjadi!" Aku berbicara dengan penuh penekanan dan sedikit emosional. Nyaris saja kehilangan kontrol. Aku memejam dan mencoba mengatur pernapasan. Aku lupa kalau aku sedang berada di rumah orang.

"Lalu kamu langsung mau cerai, gitu?"

"Aku nggak bisa mentolerir pengkhianatan. Aku nggak mau diduakan. Berbagi suami dengan wanita lain? Aku tak bisa. Melihat dia saja aku sudah muak apalagi akan tetap hidup bersama dengan dia lebih lama lagi. Tidak! Aku tidak akan mempertahankan pernikahan ini."

Air mataku kembali mengalir tanpa bisa dicegah. Sama seperti semua orang, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Jika pun berpisah, hanya karena maut. Bukan perceraian karena pengkhianatan. Namun sayangnya, kenyataan tidak berkata demikian.

Memang ini adalah keputusan pahit yang harus kutelan dan bisa dibilang terlalu terburu-buru. Namun, kurasa lebih baik begitu. Jika ujung-ujungnya sudah jelas akan terjadi perpisahan juga, kenapa harus membiarkan berlarut-larut. Bersama hanya akan saling menyakiti. Untuk apa?

Apalagi yang harus ditunggu? Mas Danar akan meninggalkan wanita itu? Ah, mimpi! Karena kenyataannya sekarang dia keluar dari persembunyian untuk meminta persetujuanku untuk merekatkan hubungan secara resmi. Lalu apa lagi yang kutunggu? Apa lagi yang kuharapkan?

"Bodoh kamu! Kamu mau memberikan kemenangan secara cuma-cuma pada wanita itu? Memang itu yang dia harapkan. Memiliki Mas Danar seutuhnya dan kamu akan memberikan dengan mudahnya kepada dia? Kamu mau menyenangkan dia? Benar-benar bego! Real bego!"

Aku menatap tajam pada Windi. Seenaknya saja dia berkata kasar padaku. Bahkan ini untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun kami bersahabat.

"Kamu waras nggak, sih? Seenaknya aja ngebego-begoin aku! Aku yang dibohongi! Aku yang disakiti! Seharusnya kamu memberi dukungan padaku! Sahabat macam apa, sih, kamu?"

Aku pun menumpahkan kekesalan pada Windi. Sepertinya nasib tidak baik memang tengah berpihak padaku. Tak hanya akan kehilangan suami, sepertinya aku juga akan kehilangan satu-satunya sahabat yang kupunya.

"Sekarang, buka pikiran kamu lebar-lebar. Apa yang akan kamu harapkan dari sebuah perceraian? Mas Danar akan menyesal seumur hidup karena kehilangan kamu dan Shahna? Aku sangsi akan hal itu, Ra."

"Seberharga apa sih kamu bagi dia? Toh, nyatanya dia mampu berbuat curang di belakang kamu. Dia tega menduakan kamu. Kalau memang kamu dan Shahna sangat berharga bagi Mas Danar, nggak bakalan dia berpaling ke pelukan wanita lain."

"Terus kamu pikir setelah kalian berpisah dia akan terburuk dan larut dalam penyesalan dalam lalu menjelma menjadi seseorang yang sangat menderita dan menyedihkan. Begitu? Atau dia akan hidup menderita karena mendapat karma? Lalu dia akan memohon-mohon, bersujud meminta maaf pada kamu? Ah, kamu terlalu terbawa kisah fiksi, Dara."

Windi terus saja nyerocos tanpa semau dia. Dadaku kembang kempis lebih cepat karena makin kesal padanya. Meskipun begitu, telingaku masih menangkap tiap kata yang keluar dari mulut bawel Windi.

"Itu nggak banget, deh. Aku sama sekali tidak mendukung kamu untuk buru-buru bercerai."

"Terus kamu maunya aku bertahan? Tetap menjadi istri yang sangat manis dan welcome sama si wanita itu? Atau sekalian tinggal satu atap? Begitu?" Aku pun membalas tidak kalah sengit dari Windi.

"Nggak, Win! Itu nggak akan terjadi. Lagi pula aku tidak meminta persetujuan kamu. Aku hanya butuh bantuan pengacara untuk mempercepat semua prosesnya."

"Nggak, Dara! Aku nggak bakal membiarkan itu terjadi. Kalau sampai kamu cerai sama Mas Danar, aku nggak mau kenal kamu lagi. Aku nggak bakal mau tahu apa-apa lagi tentang kamu."

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pisah Terindah   Part 59

    Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh

  • Pisah Terindah   Part 58

    Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s

  • Pisah Terindah   Part 57

    Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai

  • Pisah Terindah   Part 56

    Pisah Terindah #56 "Ada Mas Danar di sini? Lagi apa dia?" Pernyataan itu meluncur begitu saja tanpa di awali basa-basi. Wajah diselimuti amarah dan keangkuhan terpampang di depan mataku. "Mas Danar." Aku yang masih diliputi kaget karena kehadiran tamu yang tak disangka-sangka itu mengucap ulang nama mantan suamiku itu. "Harus banget ya Mas Danar ada di sini sampai malam-malam begini?" lanjutnya lagi dengan tatapan sinis. Aku yang hendak menanggapi lontaran kata-kata sinis mantan maduku itu sudah kedahuluan oleh Windi yang sudah berada di belakangku. "Ada siapa, Ra?" "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Windi dengan tatapan penuh selidik. "Aku istri Mas Danar." Jawaban ketus terlontar begitu saja dari wanita yang telah berhasil membuat karam biduk rumah tanggaku. "Oh, nyari Mas Danar? Ada tuh, lagi sama anaknya? Kenapa emangnya?" tanya Windi dengan gaya menantangnya. Namun Lalisa tidak menghiraukan Windi. Tatapannya kembali tertuju padaku. "Sudah kuduga." Sebuah senyuman sinis

  • Pisah Terindah   Part 55

    Pisah Terindah #55"Apa kabar, Mas?" Seketika Windi melontarkan sapaan setelah sempat kikuk karena aku dan Mas Danar secara berbarengan menoleh padanya. "Baik, Win. Kamu di sini?" balas Mas Danar. "Iya, tadi kebetulan ada ketemu klien nggak jauh dari sini. Ya, udah, sekalian mampir." Bisaan saja Windi beralasan. "Aku ke belakang dulu, ya. Tak bikinin minum dulu, ya." Windi segera berlalu tanpa menunggu persetujuan apa pun. "Shahna sekolahnya kamu pindahin ke mana? Kenapa dipindah?" Nada Mas Danar bertanya terdengar kurang bersahabat di telingaku. Kentara sekali ada ketidaksukaan darinya. "Aku berencana untuk memindahkan Shahna ke sekolah yang full day." "Rencana? Rencana bagaimana? Aku datang ke sekolahan, gurunya bilang Shahna sudah pindah sekolah. Tidak di sana lagi?" Sesaat aku menghela napas panjang. Aku butuh banyak asupan oksigen agar tetap bisa mengontrol emosi menghadapi Mas Danar. "Memang hari ini Shahna tidak ke sekolah biasa. Tadi masa uji coba dulu. Kalau Shahn

  • Pisah Terindah   Part 54

    Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status