Share

Part 6

Pisah Terindah

#6

Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar.

Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak.

Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur.

Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam.

Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai.

Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depanku. Terlihat wajahku menyiratkan rasa yang tengah berkecamuk di dalam hati. Kusut!

Selang beberapa detik pandangan kualihkan pada foto pernikahan kami yang dipasang di dinding di sebelah kiri. Aku tersenyum hambar ke arah foto yang menampilkan senyum bahagia aku dan Mas Danar.

Terlintas lagi dalam bayangan, bagaimana perjuanganku meyakinkan hati untuk percaya pada pernikahan. Hingga akhirnya aku berani melangkah.

Sedari awal, aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri bahwa setiap penikahan pasti ada cobaannya dan aku menanamkan tekat akan bertahan pada pernikahanku sepelik apa pun masalah yang mendera. Aku mendambakan keluarga yang utuh, keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Yang tidak pernah kurasakan di kehidupanku sebelumnya. Aku pun tidak mau anak-anakku akan mengalami hidup seperti aku. Namun, tak pernah terpikir sama sekali olehku jika cobaannya akan seperti ini.

"Dara."

Aku tersentak ketika menyadari Mas Danar sudah ada di dekatku. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan sehingga sama sekali tidak mendengar suara pintu kamar dibuka. Tanpa banyak membuang waktu aku langsung berdiri dan hendak meninggalkan kamar.

Mas Danar langsung menggeser posisi berdiri persis di hadapanku.

"Dara, tolong, jangan lagi menghindar! Kita harus bicara. Kita harus mencari penyelesaian untuk masalah kita ini."

Aku menatap sekilas pada Mas Danar lalu berkata setengah berbisik, "Kamu yang bermasalah, Mas. Bukan Aku!"

Mas Danar menarik napas berat. "Ya, Okey, ini masalah aku. Tapi, ini berkaitan dengan kamu. Kamu tolong ngertiin aku juga, dong! Kamu butuh waktu, okey, aku sudah beri kamu ruang dan waktu beberapa hari ini. Sekarang kita bicarakan solusinya. Tolong ngertiin posisi aku, Dara!"

Kali ini aku menatap tajam pada Mas Danar. "Mas? Kamu minta aku ngertiin kamu? Kamu sadar nggak,sih, yang tersakiti di sini adalah aku! Penyebabnya itu kamu dan bisa-bisanya kamu berkata seolah-olah kamu yang korban, kamu yang paling menderita. Playing victim banget kamu!"

Mas Danar mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi dia mengembuskan napas kasar.

"Permasalahan ini tidak bisa dibiarkan ngambang berlama-lama, Dara. Cepat atau lambat harus diselesaikan! Nggak mungkin selamanya kita akan menjalani hari-hari seperti ini."

Aku tersenyum sinis pada Mas Danar. Entah di mana hatinya saat ini. Lelaki yang selama ini kukenal selalu berusaha menjaga perasaan orang lain, tidak enakan, serta tidak tegaan. Sekarang dia seakan telah menjelma menjadi orang lain yang tidak kukenal wataknya.

Walaupun di hatiku telah bertumpuk kata-kata yang hendak diluapkan tetapi mulutku seakan sangat berat untuk mengucapkannya. Rasanya hanya akan buang-buang energi saja. Toh, tidak akan merubah apa-apa lagi.

Di satu sisi aku pun setuju seperti kata Mas Danar, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus ada penyelesaian dari masalah ini. Akan tetapi penyelesaiannya apa? Tentu saja penyelesaiannya adalah permintaan yang diajukan Mas Danar padaku. Apa lagi selain dari itu?

"Lalu, mau Mas apa?" tanyaku lirih.

"Seperti pertama kubilang," jawab Mas Danar datar.

Kali ini kutatap dalam-dalam kedua mata mas Danar. Dengan suara yang masih lirih aku bertanya, "Kalau aku tidak mau, apa kamu akan meninggalkan dia?"

Lagi-lagi Mas Danar menghela napas berat sambil satu tangannya mengusap wajah. Selang hitungan detik, Mas Danar pun membalas tatapanku dengan sorot mata yang sendu. Kedua tangannya memegang pundakku.

"Aku mencintai kamu Dara. Sangat mencintai kamu, sekarang dan sampai kapan pun. Aku minta maaf sebesar-sebesarnya, aku tidak mungkin melakukan itu sekarang. Kondisinya tidak memungkinkan untuk itu. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf, Dara."

Seketika itu juga tetes demi tetes air mataku berjatuhan. Kembali dadaku dikuasai sesak. Tulang benulangku seakan tak mampu lagi menopang raga. Lemas dan remuk hingga ke hati.

"Jadi?"

Mas Danar mengusap air mata yang menetes di pipiku.

"Semua akan baik-baik saja, Sayang. Aku akan tetap dan selalu mencintai kamu dan Shahna."

"Tidak Mas. Kalau kamu mencintai kami, ini tidak akan pernah terjadi."

"Dara ... semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku --"

"Aku akan siapkan gugatan cerai," potongku sembari menepis tangan Mas Danar dariku.

"Dara, jangan egois. Ini bukan hanya antara kita berdua. Ada Shahna di antara kita."

Aku berdecak. Mas Danar benar-benar tidak berkaca sama sekali. Entah siapa yang sebenarnya egois.

"Kamu bilang aku egois, lalu kamu apa namanya, Mas?"

"Tidak akan pernah ada perceraian di antara kita, Dara. Aku hanya minta sedikit pengertian dari kamu."

"Kalau aku tetap mau?"

"Apa kamu tega jika Shahna tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh?"

Aku menggeleng dengan senyuman pilu. Bisa-bisanya Mas Danar memutar balikkan kenyataan. Malah aku yang diposisikan sebagai sosok yang egois. Benar-benar tidak sadar diri. Namun, aku sudah tidak berminat untuk berdebat. Hanya akan menghasilkan lelah yang sia-sia.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh Windi. Kalau memang aku dan Shahna berharga bagi Mas Danar, tidak akan pernah ada perempuan itu hadir di antara kami. Dan Mas Danar tidak akan meninggalkan perempuan itu demi aku dan Shahna.

"Dara, tolong, aku benar-benar minta pengertian kamu. Kamu dan Shahna tetap akan menjadi prioritas aku."

Sejujurnya, aku muak mendengar Mas Danar selalu membawa-bawa Shahna dalam masalah ini. Sekarang dia menjadikan Shahna sebagai tameng. Kemarin-kemarin, ketika dia menceburkan diri dalam pengkhianatan ini, Shahna dikemanakannya?

"Kamu tidak mau kita bercerai dan juga tidak mau meninggalkan perempuan itu?" Aku menatap nanar pada Mas Danar. "Okey, Mas."

Aku bergeser ke samping untuk mengambil kertas yang ada di laci meja rias.

"Ini." Aku menyodorkan HVS yang sudah berisi tulisan pada Mas Danar.

"Apa ini?"

"Kamu bisa baca, kan?"

Mata Mas Danar pun tertuju pada kertas itu. Terlihat beberapa kali ia mengernyit.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahzuni
ayo ddonk lanjut seneng bgt bagus jgn cicil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status