Share

Malam Panjang

"Astaga dragon!"

Erick terlonjak kaget, setibanya di rumah dan melihat kakeknya tengah duduk di ruang tamu dengan bertumpang kaki.

Ekspresi sama Lani tunjukan. Padahal tadi ia hanya bergurau bahwa kakek Erick akan datang. Namun, apa yang ia lihat kini, pria dengan rambut yang sudah memutih sepenuhnya itu tengah menunggu kepulangan mereka.

"Sejak kapan ntu kakek peyot ke sini?" Erick bergumam yang masih bisa terdengar oleh Lani.

Bergegas Lani menghampiri Sultan Wardhana, kemudian mencium punggung tangannya.

"Maaf buat kakek nunggu, tadi kita ada urusan sebentar." Lani merasa bersalah, gadis itu tersenyum kecil.

"Nggak apa-apa, Sayang. Duduk sini, Lan!" Sultan menepuk sofa di sampingnya, meminta untuk Lani duduki. "Kakek malah bersyukur kalian bisa keluar bareng. Walau bagaimana pun kamu dan anak kurang ajar itu memang harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Biar mata Si Erick nggak perlu jelalatan lagi."

Lani hanya mampu menanggapi ucapan Sultan dengan senyuman tipis. Masih teringat jelas kejadian di rumah sakit tadi saat Erick menggoda para perawat yang berlalu-lalang.

Toh, ada dia di sisinya pun sifat lelaki itu sama sekali tak berubah.

"Hey, sini kamu. Kenapa malah berdiri di situ!" Sultan memanggil Erick yang berdiri di ambang pintu.

Erick memutar bola mata. Namun, pada akhirnya pria itu menurut juga dan duduk di hadapan kakeknya. Dia meraih botol air mineral yang tersedia di meja, lalu mulai menegaknya sekaligus.

"Kakek mau nginep sehari ini!"

"Uhuk ...." Seketika Erick tersedak, dia tampak memukul-mukul dadanya, lalu membelalak setelahnya. "Mau ngapain?" Respleks, kalimat itu terlontar.

"Kenapa? Nggak boleh?"

"Bukan gitu ... kakek 'kan punya rumah sendiri. Gede banget lagi, bahkan bisa dipake konser sekecamatan. Jadi, ngapa malah pengen numpang di rumah Erick!"

TAK!

Sekali lagi, kepalanya jadi sasaran tongkat.

"Bukannya bersyukur karena kakek sudi singgah di rumahmu, bukan malah nyari-nyari alesan. Lagian tujuan kakek cuma ingin mengawasimu. Mungkin saja tanpa sepengetahuan, kamu nyakitin Lani lagi!"

Lagi-- Erick menghela napas panjang.

"Erick 'kan udah bilang, Kek. Erick nggak akan nyakitin gadis polos kayak dia!"

"Iya, kakek yakin kamu nggak akan nyakitin dia pake tangan. Tapi pakai mulut dan perilakumu itu, Bodoh. Kamu sadar, Rick? Perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus jarum. Apa kamu yakin tidak menyakiti Lani dengan ucapanmu yang sembarangan itu!"

Seketika Erick membisu, ia tahu pasti apa yang dimaksud kakeknya. Lelaki itu mulai berpikir.

Apa Lani tersakiti dengan ucapannya? Atau perilakunya selama pernikahan mereka?

Lalu, kalau Lani tersakiti kenapa dia harus peduli? Yang terpenting bagi Erick adalah dia tak melakukan apa yang dilakukan pria-pria pengecut di luar sana. Dia tentu bertanggung jawab sepenuhnya atas diri Lani.

Meskipun tak ada cinta di antara keduanya. Namun, Erick menghargai Lani sebagai istrinya. Itu yang terpenting saat ini, bukan?

"Iya, iya, Kakek!" Pria itu tampak mulai malas menanggapi ucapan Sultan.

"Bukan iya, iya, aja kamu!"

"Terus Erick kudu gimana, Kek?"

"Mulai ubah sikap dan perilakumu. Jadikan dirimu layak untuk Lani. Mulailah lakukan ibadah rutin yang sejak lama kamu tinggalkan. Jadilah seorang muslim yang baik sebagaimana kamu dilahirkan dulu!" imbuh Sultan tegas.

"Ibadah itu untuk diri sendiri. Tak perlu ada orang yang tahu terus dipamer-pamerin, 'gue udah sholat nih', 'gue udah shodaqoh dan bla-bla kayak gitu. Erick pernah denger dari ceramah pak Ustadzt waktu si Lani setel radio ... orang cuma perlu mengingatkan saja, bukan untuk memaksa. Pan kakek juga tahu surga neraka itu ada di tangan kita sendiri!"

"Alah ngeles aja kamu. Kebetulan aja mau denger ceramah biar bisa ngeles. Kapan mau tobat, Rick. Dunia udah tua, gimana kalau kamu masih kayak gini, terus mati!"

"Astaga kakek! Nggak baek nyumpahin orang mati. Erick masih muda, pasti kakek duluan, 'lah."

"Kematian itu datang sewaktu-waktu anak bodoh. Kalau kamu nggak diingatkan sekarang kapan lagi? Pas udah dikubur aja nanti nyesel dapet azab dari Allah!"

"Iya, iya, Kek ... nanti Erick shalat-- kalau inget!" ucapnya kemudian berlalu. Kepalanya seolah berasap mendengar ocehan kakeknya.

Sultan menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Lani yang sejak tadi duduk diam memperhatikan perdebatan mereka.

"Tolong maafkan sikap Erick, ya, Nak. Kakek juga nggak tahu harus berbuat apa untuk membuat dia sadar. Kadang kakek bingung, kenapa dia dan Opick begitu jauh berbeda. Padahal mereka mempunyai Ayah dan Ibu yang sama."

Lani menggenggam tangan Sultan, ia tersenyum hangat, "Kakek nggak usah banyak pikiran. Insya Allah seiring berjalannya waktu Mas Erick bisa berubah. Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah sudah berkehendak, Kek. Kita hanya perlu bersabar!"

Sultan tersenyum, ia begitu kagum dengan Lani. Dielusnya kepala perempuan itu yang dilapisi jilbab panjang berwarna hitam. Tak salah memang memilihnya menjadi menantu. Gadis ini benar-benar berhati bersih.

* * *

Malam ini hujan turun, hawa terasa begitu dingin menusuk kulit. Di kamar yang hening dengan cahaya temaram itu Erick memperhatikan Lani yang tengah duduk beralaskan sajadah. Kedua tangannya menadah. Gadis itu terlihat begitu khusuk memanjatkan do'a pada sang Khalik agar Erick segera diberikan hidayah.

"Lo nggak cape do'a terus, Lan? Apa lo yakin dengan kekuatan do'a bisa menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kayak mengubah perasaan seseorang misalnya!" Erick bertanya setelah Lani melipat mukena dan sajadahnya. Gadis itu menatap Erick dengan senyum.

"Kun Fayakun ...."

"Apaan itu?"

"Tak ada yang tidak mungkin bila Allah sudah berkehendak, Mas. Kun ... jadilah, Fayakun ... maka terjadilah ia!"

"Oh, begitu!" Erick mangut-mangut.

"Ya udah duduk sini!" Erick menepuk ranjang di sebelahnya. Meminta Lani untuk duduk di sana.

Gadis itu menurut, dengan malu-malu ia berjalan menghampiri suaminya.

Sejenak Erick tertegun. Ditatapnya perempuan itu lekat. Setiap inci dari paras ayunya. Kulit putih yang bersih, mata bulat kecokelatan, hidung kecil yang bangir, juga bibirnya yang mungil. Entah kenapa gadis ini terlihat lebih cantik daripada sebelumnya.

"Gue tahu ini pengalaman pertama buat lo. Tenang aja. Gue nggak akan nyakitin lo, Lan. Perempuan kayak elo itu memang patut dimuliakan dan diperlakukan dengan baik!" Mereka bersitatap, tangan Erick mulai terulur menyentuh bahu Lani, lalu turun menggenggam jemari perempuan itu. "Malam ini ... jadilah milik gue seutuhnya!"

Seketika mata Lani terpejam, saat Erick mengelus lembut wajahnya, tanpa bisa dikendalikan, darahnya mulai berdesir cepat.

Sejenak ia terpaku pada mata hitam pekat itu. Bukan sekadar kabut gairah yang ia lihat di sana. Namun, tatapan dalam yang menyiratkan sisi lain dalam diri Erick, hingga akhirnya ... ia mulai pasrah dengan apa yang akan terjadi.

Tanpa Lani sadari, ia tak bisa lagi menutupi rasa itu. Rasa yang sudah sangat lama bersemayam di hatinya. Perasaan yang seringkali membuatnya lemah, hingga menutup mata tentang fakta bahwa Erick adalah seorang lelaki buaya darat.

Dalam hening, di tengah cahaya temaram itu. Sebulir cairan bening jatuh dari sudut matanya.

"Aku mencintaimu, Mas!" gumamnya begitu pelan, hingga nyaris teredam gemericik air yang turun dari langit.

Seolah menjadi saksi bisu malam panjang yang akan mereka lewati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status